Bertemu Lagi

12 1 0
                                    

Aku tersenyum ceria ketika mendapati dirinya sedang menungguku didepan gerbang rumahku. Reza yang baru sadar akan kehadiranku, balas tersenyum sambil membukakan pintu mobil untukku. Aku duduk di kursi samping kemudinya. Suasana hening menyelimuti mobil ini. Tak sampai lima belas menit, kami sudah sampai di pelataran kampusku. Aku melepaskan sabuk pengamanku, "Jangan telat lagi jemput aku." Peringatku. Ia hanya tersenyum. Aku melangkah keluar, menatap mobilnya yang semakin jauh dari pandanganku. Aku membalikkan badanku, berjalan menuju kelasku.

Aku mengambil novel dari tasku, lalu membacanya sambil menunggu mata kuliah dimulai. Suara gebrakan tangan di meja ku, membuatku mau tak mau mendongak. Seorang gadis dengan gigi berbehel tertawa, aku mendengus. Dia duduk di bangku sampingku. Namanya Della, dia sahabat baikku di kampus ini. Aku dan dia sudah bersahabat sejak kami berdua duduk di bangku SMP. Sebenarnya, dulu aku bersahabat dengan dua orang, Della dan Rena. Tapi, saat kelulusan, kami berbeda SMA. Rena pindah ke luar kota bersama keluarganya. Sedangkan Della masuk ke SMA lain. Dan, syukurlah, saat kuliah, aku dan Della bertemu kembali. Sampai sekarang aku masih belum bertemu Rena. Aku berharap bisa bertemu dengannya secepatnya, agar kami bisa bersahabat bertiga seperti semula.

Della mengambil sisir dan cermin kecil dari tasnya, lalu merapikan rambutnya yang berantakan. Suara riuh terdengar dari luar kelasku. Aku masih berkonsentrasi membaca novelku, tanpa sedikitpun menggubris keriuhan itu. Della bangkit, berusaha mencari tahu ada apa. Ia tersentak sedikit.

"Lisa, lihatlah!" Dia menggoyang-goyangkan lenganku. Aku berdecak kesal, sama sekali tidak peduli. Aku meringis pelan ketika Della mencubit lenganku. Dengan sangat terpaksa, aku mendongak, menatap lelaki yang berjalan santai menuju bangku di pojok belakang sana. Astaga. Nafasku tercekat. Aku sungguh terkejut. Bukan karena ketampanan lelaki itu apa, tetapi, lelaki itu yang kulihat kemarin di rumah sakit! Dia menoleh, menatapku datar. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku sedetikpun darinya. Ia memutus kontak mata terlebih dahulu, duduk lalu mengeluarkan headsetnya dan mulai mendengarkan musik. Ia menyenderkan punggungnya, melipat kedua tangannya di dada, lalu memejamkan mata. Aku masih terkejut.

"Sudah aku tebak. Kau pasti tertarik dengannya!" Sebuah celetukan menyadarkanku dari lelaki itu. Aku menoleh, menatap Della sebal, yang hanya dibalas Della dengan cengiran. Aku mengambil selembar kertas, lalu menggulungnya, dan bersiap-siap untuk memukul Della dengan itu. Miss Lia, dosen mata kuliah hari ini masuk ke kelas, membuatku membatalkan niatanku untuk memukul Della dengan gulungan kertas.

Mata kuliah Miss Lia sudah berakhir lima menit yang lalu. Kelas sudah sepi, menyisakanku dan lelaki misterius itu. Della sudah pergi ke kantin. Aku melirik lelaki misterius itu, dia masih asyik mendengarkan musik. Aku menelan ludah, berharap bisa menggerakkan kakiku untuk menghampirinya dan bertanya siapa sebenarnya dirinya. Mengapa ia terasa sangat familiar bagiku. Aku menggeleng sendiri. Mungkin benar kata Reza, dia hanya mirip dengan teman lamaku. Aku menghela nafas pelan, lalu memejamkan mata. Rasa kantuk melanda diriku.

"Mau ke kantin?" Sebuah suara hampir saja membuat jantungku lepas. Sontak, aku membuka mata, lelaki misterius itu berdiri dihadapanku dengan tatapan datar. Aku tercengang, gugup. Ia mengangkat sebelah alisnya, aku mengangguk samar.

* * *

Semua pandangan sekarang menuju meja kami. Beberapa gadis berbisik iri, kecewa dan sebagainya. Aku menyesal telah menerima ajakannya untuk makan siang bersama di kantin. Aku menunduk, menyuap nasi goreng pedas yang baru aku pesan ke mulutku.

"Hiraukan saja mereka." Dia berkata, yang lagi-lagi hampir membuat jantungku lepas. Aku mengangguk pelan.

Para gadis penggosip itu sudah pergi. Nasi goreng pedasku sudah habis. Dia meneguk jeruk hangatnya sampai habis, meninggalkan beberapa butir gula pasir di ujung gelas. Dia bangkit, pergi meninggalkanku tanpa sepatah katapun. Sial. Semudah itu ia pergi? Aku ikut bangkit, berusaha mengejarnya yang melangkah jauh didepanku. Aku memanggilnya, membuatnya menghentikan langkah. Ia menatapku bingung.

"Apa?" Tanyanya singkat. Aku menggigit bibirku, menggeleng perlahan. Ia melengos pergi, meninggalkanku. Aku mengutuk kebodohan diriku sendiri. Apa yang harus ku lakukan? Dia berjalan menuju parkiran kampus. Aku berlari menghampirinya yang sedang berjalan menuju mobil sedan hitam.

"Ada apa?" Dia menghentikan gerakannya membuka pintu mobil ketika melihatku berdiri disampingnya. Aku menarik nafas, berusaha mengumpulkan keberanianku untuk berbicara padanya.

"Apa kita pernah b-bertemu s-sebelumnya? Maksudku, selain di rumah sakit itu!" Aku bingung sendiri dengan perkataan yang baru saja keluar dari mulutku. Semoga saja dia mengerti apa yang kukatakan. Dia hanya menggeleng. Raut wajahnya masih datar. Ia masuk ke mobilnya, lalu perlahan mobil itu bergerak menjauh dari pelataran kampus. Aku tercengang. Rasa penasaran, kecewa, kesal bercampur menjadi satu menggerogoti diriku. Aku masih penasaran, siapa dia sebenarnya? Aku tidak mengenalnya. Tetapi rasanya dia sangat familiar bagiku.

Aku berjalan gontai menuju ruang kelasku.

* * *

Aku berdiri di seberang jalan, menunggu angkot lewat. Aku tidak yakin apa masih ada angkot yang lewat semalam ini, mengingat jam sudah hampir pukul sembilan malam. Aku beruntung Mama dan Kak Aldo masih di rumah sakit, jadi tidak ada yang akan memarahiku setiba di rumah. Angin malam berhembus kencang, menerbangkan beberapa helai rambutku. Aku memeluk diriku sendiri. Reza sialan. Dia tidak bisa menjemputku karena stroke ibunya kambuh. Aku memeluk diriku sendiri.

Sebuah mobil sedan hitam yang sepertinya pernah kulihat, berhenti tepat dihadapanku. Orang itu keluar dari mobilnya, membuatku mundur beberapa langkah. Aku menyipitkan mataku. Itu dia. Dia, dengan wajah datar, menatapku.

"Kenapa masih diam? Masuklah." Ia berkata dingin sebelum akhirnya kembali masuk ke mobilnya. Aku masih terdiam. Mempertimbangkan apa keputusan yang akan ku ambil. Masuk ke mobilnya lalu aku pulang dengan selamat (aku berharap begitu) atau tetap diam mematung menunggu ia pergi? Aku hanya bisa memilih pilihan pertama.

Ia menjalankan mobilnya dengan kecepatan normal. Keheningan menyelimuti kami berdua. Rasanya aneh menyebut "aku dan dia" menjadi "kami". Sepanjang perjalanan, dia tidak berbicara, begitupun aku. Dia juga tidak menanyakan dimana alamat rumahku. Mobilnya berhenti tepat didepan rumah bertingkat dengan cat putih, itu rumahku. Setelah aku mengucapkan terima kasih dengan canggung, mobilnya melesat pergi dari hadapanku. Darimana dia tahu alamat rumahku? Aku jadi berpikir, apa dia seorang peramal? Atau penguntit? Aku jadi bergidik sendiri.

Getaran singkat dari saku celana jeansku membuatku tersentak. Ada sebuah pesan singkat dari Reza. Dia hanya menanyakan apakah aku sudah sampai rumah dengan selamat atau belum. Dan aku hanya membalas apa adanya. Aku sama sekali tidak menceritakan perihal aku diantar pulang oleh lelaki lain yang tidak kuketahui identitasnya. Karena menurutku itu sama sekali tidak penting baginya. Angin malam berhembus pelan, aku melangkah pergi.

* * *

Keadaan Papa sudah membaik dan sudah boleh pulang. Begitulah yang dikatakan dokter yang menangani Papa tadi. Tamara mendorong kursi roda Papa (untuk sementara Papa menggunakan kursi roda dahulu), sementara aku, Mama dan Kak Aldo berjalan dibelakangnya.

"Sayang, kita langsung pulang ke Jerman, ya?" Ucapan Tamara untuk Papa sontak membuatku kaget, tidak percaya.

"Tidak bisa! Tujuan awal Papa adalah berkunjung ke rumah kami terlebih dahulu!" Aku mengutarakan protesku, yang dibalas Mama dengan lirikan tajam. Sementara Kak Aldo ikut mengangguk setuju atas protesku. Tamara tersenyum lembut. Baru saja ia ingin membalas perkataanku, tapi Papa dengan cepat mengangkat telapak tangan kanannya; menyuruh kami semua diam.

"Sudahlah, Tamara. Kalau kau mau pulang ke Jerman terlebih dahulu, silahkan. Aku akan menyusul. Aku ingin menetap di Jakarta sekitarnya selama satu minggu bersama anak-anakku, dan mantan isteriku (Papa sengaja menekankan suaranya ketika mengucapkan kata "mantan isteriku") Lagipula, aku masih rindu dengan mereka semua." Papa tersenyum lebar, yang membuatku kali ini merasa satu skor lebih unggul darinya. "Tapi, kau juga bisa menetap di Jakarta sementara bersamaku. Dan, dengan itu, kau bisa lebih mengenal Farah (nama Mama), Lisa, dan Aldo. Kalian belum terlalu dekat, kan?" Ucapan Papa dengan senyum tulusnya, membuat semua rasa kemenangan dan kebahagiaanku pupus. Bagaimana bisa Papa mengajak Tamara untuk tinggal bersama kami? Aku tidak setuju. Tapi baru saja aku mau mengutarakan protesku, Mama memotong terlebih dahulu.

"Ide bagus. Aku akan membuat hubungan Tamara dengan Lisa dan Aldo menjadi lebih dekat. Dan, Tamara, kau cerdas, ramah dan menyukai anak-anak. Kau bisa menjadi teman yang baik untuk Lisa, mengingat dia sangat kesepian dan hanya ditemani novel-novel tebalnya itu." Mama mengulas senyum tipis. Yang dibalas Tamara dengan anggukan setuju.

Aku mendengus kesal.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang