Bukan Seperti yang Ku Harapkan

29 1 0
                                    

Tamara menjejakkan kakinya yang mengenakan high heels hitam dengan riangnya di lantai rumah kami. Aku mendengus kesal menatapnya, tapi Mama memelototiku dengan tatapan seperti berkata (“Jangan menunjukkan sikap ketidaksukaanmu itu pada dia jika kau masih ingin mendapat uang sangu. Bersikaplah sopan dan ramah padanya.”). Bagaimana mungkin aku bisa bersikap ramah dan sopan pada tunangan Papa yang jelas-jelas telah merusak rumah tangga Papa dan Mama? Bagaimana bisa Mama bersikap begitu manis dan ramah pada Tamara sementara (menurutku) hatinya sakit? Mungkin Mama harus memeriksakan diri ke psikiater secepatnya.

Tamara dengan cekatan mengamati setiap sudut rumah, ia mengambil bingkai foto, lalu menatapnya lamat-lamat. Itu foto keluarga. Papa merangkulku, sementara Mama merangkul Kak Aldo. Kami tampak bahagia di foto itu. Foto itu diambil saat kami berempat sedang piknik di taman kota yang luas. Hak high heels nya menggema keras di ruang tamu. Aku mendengus lagi, berusaha mengatakan bahwa ia harus melepas sepatu terkutuknya itu. Memangnya dia pikir ini rumahnya? Membersihkan rumah sebesar ini tidaklah mudah. Tapi, lagi-lagi, Mama memelototiku dengan tatapan yang mengatakan (“Biarkan saja dia. Toh, dia hanya sementara disini. Buat dia nyaman dan terkesan.”). Papa menoleh ke Mama, menatapnya dengan tatapan penuh arti. Mama, yang sepertinya sudah mengerti arti tatapan itu, buru-buru mengambil alih kursi roda Papa dari Tamara.

“Ada apa?” Tamara bertanya padaku ketika melihat Mama mendorong kursi Papa menjauh dariku dan Tamara (Kak Aldo sudah naik ke atas, tepatnya ke kamarnya, dia bilang bahwa dia ingin beristirahat. Karena selama di rumah sakit ia kurang tidur). Aku mengangkat bahu, pura-pura tidak tahu. Padahal aku tahu bahwa ada hal penting yang ingin Papa sampaikan untuk Mama. Entah itu apa.

Tamara menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk rumah kami. Matanya masih meneliti tiap sudut rumah ini. Aku berjalan menaiki tangga, hendak menuju kamarku. Tapi panggilan Tamara membuatku menghentikan langkah ketika sudah sampai undakan tangga ke tiga. Aku membalikkan badan, menatapnya penuh tanya. Ia menunjuk kopernya, “Bisa bawakan koper ini ke kamarku?”

Aku melotot. Apa? Dia menyuruhku untuk membawakan tasnya kekamarnya? Memangnya dia pikir aku siapa? Asistennya? Tapi perkataan Mama terngiang dibenakku: buat dia nyaman dan terkesan. Aku menghela nafas, lalu kembali turun dan menggeret koper berwarna biru muda itu dengan setengah hati menuju lantai atas.

“Aku tidak mau koperku tergores sedikitpun! Berhati-hatilah! Itu hadiah dari Mammy ku. Dan dia membelinya saat sedang di Paris.” Perkataannya tidak kugubris sama sekali, karena kenyataannya, aku tetap menggeret kopernya dengan kasar menuju lantai atas. Beberapa kali koper itu terantuk tangga (yang sudah jelas sangat aku sengajakan). Tamara menghela nafas. Aku jadi punya pemikiran lain. Dengan sengaja, aku melepas pegangan tanganku pada koper itu, sehingga koper itu terbanting dan mengeluarkan suara gedebuk yang keras. Tamara memekik kaget. Raut wajahnya sangat panik, seperti baru saja kehilangan anaknya. Aku tertawa puas. Dan tanpa peduli lagi, aku meninggalkan koper itu dan Tamara yang sedang tergopoh-gopoh berlari menaiki tangga.

* * *

Makan malam kali ini berjalan sunyi senyap. Hanya terdengar denting garpu dan sendok pada piring masing-masing. Dulu, selalu ada celetuk canda yang riang keluar dari mulut Papa. Yang membuat kami semua tertawa. Aku ingat betul saat itu Papa bercerita tentang masa kecilnya yang nakal. Papa sejak kecil yatim piatu dan diurus oleh Bibi dan Pamannya. Ibu Papa meninggal saat melahirkan Papa, sementara Ayah Papa meninggal dalam kecelakaan saat sedang perjalanan menuju rumah sakit tempat ibu Papa akan melahirkan. Papa mengatakan bahwa kampung kelahirannya sangatlah indah. Papa bercerita bahwa dulu ia nakal, nilai pelajaran Papa selalu jelek, dan Papa pernah tidak naik kelas. Sampai pada saat SMA, Papa bertemu dengan Mama. Saat itu, Mama adalah murid tercantik dan terpandai di sekolah itu; berbeda drastis dengan Papa. Papa menyukai Mama, dia selalu saja mencari perhatian pada Mama. Akhirnya Papa belajar dengan rajin agar menjadi juara kelas, dan bisa membuat Mama bangga. Papa pun menjadi pandai dalam sekejap. Foto Papa dipajang di mading sekolah, sebagai predikat siswa paling pandai. Para siswi cantik memujanya, berharap bisa berkenalan dan dekat dengan Papa. Tapi perhatian Papa masih pada terpusat pada satu titik; yaitu Mama. Mama sama sekali tidak tertarik dengan semua itu. Papa lulus lebih cepat dari teman-temannya, yang membuatnya menjadi terpisah jauh dengan Mama. Saat kuliah, mereka bertemu lagi. Dengan keberanian yang sudah Papa kumpulkan sejak lama, akhirnya Papa berani berbicara dengan Mama. Papa mengatakan bahwa sejak lama ia menyukai Mama. Dan pada akhirnya, Mama berkata bahwa ia dulu juga menyukai Papa. Mama selalu melirik Papa dari sudut matanya. Sebenarnya ia sudah tahu bahwa Papa menyukai dirinya. Tapi ia tetap saja diam, berusaha tidak mengacuhkannya, ia ingin tahu sampai manakah Papa akan terus berusaha untuk mendapatkan cinta Mama. Dan, saat Papa mendapatkan predikat siswa terpandai, rasa bangga menyelimuti hati Mama. Tapi rasa bangga itu sirna seketika ketika ia tahu bahwa setelah itu akan ada banyak gadis cantik yang mendekati Papa. Pemikiran Mama itu membuat Mama merasa tersingkirkan. Karena pada akhirnya mereka tahu perasaan satu sama lain, Papa memutuskan melamar Mama. Sempat ditolak karena ternyata orang tua Mama sudah menjodohkan Mama dengan musuh bebuyutan Papa. Papa tidak pernah menyerah. Ia terus memperbaiki diri. Tapi lamaran Papa selalu ditolak oleh orang tua Mama. Pada lamaran terakhir, Papa menyerah. Begitu terkejutnya Papa ketika Ayah Mama menerima lamaran itu. Ayah Mama berkata: “Kau tahu, semua itu bohong. Aku tidak pernah menjodohkan anakku dengan lelaki lain. Aku ingin melihatmu sampai mana kau akan berusaha. Karena aku sudah mengajari anakku; jika kau ingin melihat apakah seseorang tulus mencintaimu, lihatlah seberapa keras ia berusaha memperjuangkan cintanya untukmu.”

Suara kursi berderit yang memekakkan telinga membuyarkan pikiranku. Kak Aldo bangkit, berjalan meninggalkan meja makan. Mama yang menyadari itu buru-buru memanggil namanya.

“Mau ke atas. Tak enak disini.” Begitu katanya. Walau ia berkata datar, tapi aku bisa mendengar nada sinis dari ucapannya. Jelas betul kalau ia tak menyukai kehadiran Tamara disini, sama sepertiku. Tamara menunduk, menghentikan aktifitas makannya. Papa menyentuh lengan Tamara lembut, menenangkannya. Lalu berkata tidak apa-apa dengan suara pelan. Mama menyuapkan suapan terakhir nasi di piringnya dengan perlahan, kemudian beliau bangkit meninggalkan meja makan. Kini hanya tersisa aku, Papa, dan Tamara. Suasana menjadi canggung lagi.

“Mereka tidak menyukaiku, ya.” Tamara menghela nafas sedih. Memang, jawabku dalam hati. Aku ingin sekali mengatakan itu langsung dengan nada sinis, tapi gerakan Papa mengenggam jemari Tamara erat, membuatku bungkam.

“Mereka hanya belum terbiasa. Tapi, percayalah, seiring berjalannya waktu, mereka akan menyukaimu.” Tidak akan. Seumur hidup, kami tidak akan pernah menyukaimu, Tamara! Teriakku dalam hati.

Tamara dan Papa berbincang-bincang kecil, sesekali tertawa kecil. Apa mereka tidak terlihat bagi mereka? Sebenarnya aku ini mereka anggap apa? Serangga? Aku mendengus kesal. Tamara bertanya pada Papa, kapan pernikahan mereka akan dilaksanakan, membuatku spontan membanting sendok dan garpu. Mereka semua menoleh ke arahku, terkejut.

“Ada apa, Lisa?” Tamara bertanya ramah. Tapi bagiku, suaranya tidak terdengar ramah, justru seperti lonceng kematian yang tidak pernah ingin kudengar. Aku tidak menjawab, tetap melanjutkan makanku. Papa buru-buru mengalihkan topik pembicaraan. Kali ini ia berbicara tentang liburan kami—atau hanya mereka?—selama di Jakarta.

”Nah, apakah kau punya usul kemana kita akan berlibur, Lisa?” Tanya Papa.

“Bagaimana kalau kalian cepat-cepat pulang ke Jerman saja?” Aku bangkit, meninggalkan meja makan. Lalu berlari ke lantai atas, sama sekali tidak memperdulikan Papa yang meneriakiku dengan keras. Dia memanggil namaku berkali-kali, mengeluarkan caci makinya.. Tamara menarik lengan Papa, menyuruhnya tenang. Didalam kamar, aku terdiam. Merenungkan semuanya.

Aku rindu dengan keluargaku yang dulu.

* * *

“Semangat. Tak usah malu. Kau kan sering bertemu mereka.” Dia berkata lembut, berusaha menyemangatiku.

Aku menghela nafas mendengar ucapannya, “Tidak akan bisa. Kau tahu kan aku ini orangnya mudah gugup.”

Dia diam sejenak, berusaha mempertimbangkan apa kata-kata yang akan ia ucapkan. Separuh teman-temanku sudah maju ke depan kelas untuk bernyanyi, tersisa satu nomor lagi untuk menuju nomor absenku: delapan belas. Murid dengan nomor absen tujuh belas sudah maju ke depan kelas, mulai bernyanyi. Aku memainkan jariku, gugup dan bingung. Sementara dia masih terdiam.

“Kalau begitu anggap saja kau sedang bernyanyi untuk orang yang kau cintai.” Ia berkata, membuatku menoleh. Tapi belum sempat aku berkata-kata, nomor absen ku sudah dipanggil. Aku melangkah gugup ke depan kelas, kakiku gemetar. Mereka semua menatapku datar, tanpa ekspresi. Bagaimana kalau suaraku jelek? Atau aku lupa dengan liriknya? Apa mereka akan menertawakanku? Tapi perkataan dirinya kembali terdengar di telingaku; anggap saja kau sedang bernyanyi untuk orang yang kau cintai.

Untuk orang yang ku cintai? Aku terdiam. Guru ku sudah memegang pena dan kertas kosong untuk menilaiku. Wajahnya tak sabaran. Aku memejamkan mata, mulai bernyanyi. Aku membayangkan ada dirinya sedang duduk di hadapanku, tersenyum menyemangatiku. Aku bernyanyi untuknya. Dia juga menyanyi pelan, mengikuti senandungku. Kami bernyanyi bersama. Lagu yang kunyanyikan sudah hampir selesai. Dirinya perlahan-lahan mulai menghilang dari pandanganku. Ia melangkah jauh. Aku berusaha mengejar, tapi kakiku tidak bisa digerakkan. Sontak aku membuka mataku, aku baru tersadar bahwa aku sudah selesai menyanyi lima menit yang lalu. Para murid tertawa—menertawai kebodohanku. Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal, berjalan kembali ke mejaku. Murid lain dengan nomor absen setelahku, maju ke depan kelas.

“Hebat. Kau tadi menghayati sekali menyanyinya. Sampai-sampai kau tidak sadar bahwa kau sudah selesai menyanyi. Apa yang kau pikirkan?” Dia bertanya geli, tertawa kecil. Aku tidak menjawab, tersenyum malu.

Kau-lah yang kupikirkan.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang