Dilemma

35 1 0
                                    

Aku menatap antrean didepanku. Hari ini aku berada di bioskop. Tadi, Reza meneleponku. Dia bilang ingin mengajakku menonton bersama hari ini. Antrean didepanku semakin sedikit saja. Aku mengambil ponselku, berharap masih ada sedikit baterai yang tersisa. Kecerobohanku adalah lupa mengisi ponselku sebelum berpergian. Jika sudah begini, aku sendiri yang repot.

Kini sudah saatnya untukku membeli tiket dan menentukan tempat duduk. Setelah itu, aku berlalu meninggalkan antrean panjang ini dan mulai masuk ke ruangan gelap yang sudah dipenuhi banyak orang. Dengan langkah hati-hati (takut tersandung tangga), aku mencari tempat duduk dengan nomor yang sesuai dengan tiket bioskop ditanganku.

Film yang diputar dilayar besar dihadapanku sudah setengah berjalan. Aku belum melihat Reza sama sekali. Aku menghela nafas gusar. Bagaimana kalau tiba-tiba Reza membatalkan janjinya? Aku menguyah popcorn asin yang kubeli tadi dengan setengah hati. Para penonton tertawa. Tapi aku tidak. Aku menatap layar besar dihadapanku, tapi pikiranku tidak bisa berkonsentrasi sama sekali.

Sampai film selesai diputar pun, aku sama sekali tidak melihat Reza. Aku berlalu dengan perasaan kecewa, marah, dan kesal. Aku berdiri di pinggir jalan, ingin menyetop taksi. Aku tidak membawa mobil. Karena kupikir, aku akan pulang bersama Reza. Saat berangkat tadi aku juga menaiki taksi.

Sebuah taksi biru berhenti dihadapanku, aku membuka pintu mobil lalu duduk dibelakang. Setelah memberikan secarik kertas bertuliskan alamat rumahku, aku merenung lama, memikirkan semuanya. Semua perasaan menyatu menjadi satu dalam hatiku. Sedih, marah, kecewa, kesal. Aku ingin saat ini aku berteriak sekencang-kencangnya, melampiaskan semuanya.

Taksi yang kutumpangi berhenti tepat didepan rumahku. Setelah membayar ongkosnya, aku berjalan masuk ke kamarku. Papa, Mama, dan Kak Aldo sedang berkumpul di ruang tamu sambil menonton acara yang ditayangkan di televisi dihadapan mereka. Lalu serentak, mereka tertawa. Tanpa sadar, sebuah senyum terlukis di wajahku. Aku rindu masa-masa seperti ini. Tapi senyumku musnah seketika saat melihat Tamara datang dengan nampan yang berisi empat gelas jus alpukat dan beberapa camilan kecil. Kemudian ia duduk di sofa (disebelah Papa) dan ikut menonton televisi. Aku mendengus kesal. Tidak bisakah nenek sihir itu tidak muncul sehari saja?

Daripada aku menambah kekesalanku, aku berjalan menuju kamarku, buru-buru mencari charger ponselku. Tak lama, ponselku langsung menyala. Dan sekitar lima pesan menghias layar kecil ponselku. Aku membuka satu-satu pesan singkat itu.

Pesan pertama dari Reza. Pukul 14.17. Itu berarti sepuluh menit sesudah aku berangkat pergi menuju bioskop.

Hei. Maaf. Janji menonton hari ini kita batalkan dulu, ya? Aku harus merawat Fira karena beberapa akhir ini, dia terkena panas tinggi. Dia sama sekali tidak ingin kutinggal. Maaf, ya? Aku berjanji akan mengajakmu menonton lagi lain kali.

Seketika kekesalanku berguguran seketika. Jadi sebab itu dia tidak bisa menepati janjinya? Kalau aku jadi dia, aku juga akan melakukan hal yang sama. Tidak apa-apa lah. Setidaknya sekarang aku sudah tahu apa alasannya dia tidak datang ke bioskop hari ini.

Pesan kedua juga dari Reza. Pukul 14.20. Tiga menit setelah ia mengirim pesan singkat pertamanya—juga saat aku sedang mengantre untuk membeli tiket.

Mengapa ponselmu tidak aktif? Ah. Jangan bilang kau sekarang sudah berangkat ke bioskop dan ponselmu kehabisan baterai?

Pesan ketiga dan keempat dari Della. Pukul 14.40.

Lisa, kau sekarang dimana?!

Aku mengerutkan kening sejenak membaca pesan singkat dari Della. Aku bisa mendengar nada penuh keingintahuan dan kekhawatiran ditulisan itu. Aku beralih membaca pesannya yang keempat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang