Demam

131 1 0
                                    

Aku menilik termometer yang kugenggam. Tiga puluh derajat celcius. Aku menghela nafas, mengkompres Reza dengan air hangat lagi. Sudah dua hari ini aku tidak masuk kuliah. Sudah dua hari juga aku tidak pulang ke rumah karena harus merawat Reza. Reza demam tinggi. Sejak kami berdua pulang dari pemakaman, kondisinya langsung drop. Untung saja Fira (adik perempuan Reza) cepat memberitahuku. Seharian penuh Kak Aldo berusaha meneleponku, menanyakan dimana keberadaanku, mengapa belum pulang juga. Aku hanya bisa menjawab bahwa aku menginap di rumah Della (aku bersyukur karena Della bisa diajak kerja sama mengenai hal ini), untungnya dia percaya. Yang aku harapkan adalah Kak Aldo tidak datang ke rumah Della dan ingin menjemputku.

Fira hanya bisa merawat Reza saat malam saja. Karena dari pagi sampai sore, ia sibuk dengan sekolahnya. Aku sudah berkali-kali ingin memanggil dokter, tapi Reza dengan cepat menolak. Bilang ia hanya terkena demam biasa saja, mungkin selepas minum obat, demamnya langsung turun. Tapi sekarang, lihatlah, bukannya sembuh, panas tubuhnya malah semakin naik. Aku mengaduk bubur ayam, yang ku yakini, sudah hampir dingin saat ini.

“Kau harus makan.” Peringatku tegas sambil membantu Reza untuk duduk. Reza mengangguk lesu. Aku menyuapkan sesendok bubur ayam ke mulutnya. Dia mengunyah perlahan. Baru saja aku ingin menyuapinya lagi, tapi dia menggeleng, berkata kalau dia sudah kenyang. Aku mendengus, tetap memaksanya membuka mulut.

“Aku sudah kenyang, Lisa.” Dia berkata pelan, mendorong sendok yang kuarahkan ke mulutnya dengan perlahan. Melihatnya seperti ini, membuatku sedih. Ingin sekali aku menyedot rasa sakitnya saat ini.

“Kau harus makan. Setelah itu kau harus minum obat.” Aku tetap menyuapkan bubur ayam ke mulut Reza. Lagi-lagi ia menggeleng lemah, “Obat itu? Aku tidak suka. Rasanya sangat pahit. Sudahlah, aku kenyang.” Gumamnya sambil kembali tidur.

Aku menghela nafas, menaruh dengan keras mangkuk bubur ayam yang masih penuh itu di atas nakas samping ranjang Reza. Aku menariknya dengan paksa, menyuruhnya duduk lagi. Reza menatapku lesu. Aku mengambil dua butir obat dari botol kecil di samping mangkuk bubur ayam itu.

“Dengar. Kau harus minum obat. Kalau tidak, aku akan memanggil dokter kesini. Sebentar, aku buatkan teh hangat dulu.” Aku berlalu menuju dapur di rumah Reza, lalu membuatkannya teh hangat. Dalam hati, aku berguman pelan, sayang sekali rumah sebesar ini tidak mempunyai pembantu rumah tangga. Tak lama, aku sudah kembali ke kamarnya dengan teh hangat di tangan kananku. Reza, dengan gerakan cepat, langsung meminum obatnya dan meneguk teh hangat buatanku sampai habis. Ia mengusap dahinya, mengenggam tanganku, “Kau boleh pulang. Aku tidak mau kau tertinggal mata kuliahmu.” Ucapnya dengan suara parau. Baru saja aku ingin memprotes, tapi dengan sigap ia memotong kalimatku, “Aku bisa menjaga diriku sendiri.”

Aku menghela nafas, mengaku kalah.

“Baiklah. Tapi jika ada apa-apa, langsung telepon aku, ya? Aku selalu ada untukmu.” Reza menarikku ke dalam pelukannya. Setelah itu, aku berjalan keluar dari kamar bercat abu-abu ini.

* * *

Aku masuk di mata kuliah yang kedua, dengan dosen Mr.Tio yang mengajarnya. Hari ini aku tidak melihat Dimas dimanapun. Padahal, aku ingin sekali menanyakan apa maksud kalimatnya saat itu. Mengapa tiba-tiba ia memelukku? Aku pura-pura mencoret kertas, menyiapkan beberapa pertanyaan yang akan aku berikan ketika melihatnya nanti. Tapi melihat lima pertanyaan yang berderet rapi itu, membuatku tiba-tiba menggeleng. Mengapa lima pertanyaan itu sepertinya hanya menyangkut satu hal; apa maksud dari kalimat ‘Jangan pergi lagi’.

Mata kuliah sudah berakhir. Aku berjalan dengan langkah cepat menuju bukit dibelakang kampus; tempat saat dia memberiku jepitan bunga ini. Aku menghela nafas kecewa ketika tidak melihatnya disana. Dengan gusar, aku melangkah menuju puncak bukit itu, meluruskan kakiku.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang