Dimas

9 1 0
                                    

Aku berjalan keluar rumah lewat pintu belakang dekat dapur yang langsung menuju halaman belakang rumahku. Insiden canggung semalam membuatku tidak ingin langsung bertemu dengan Papa. Aku tidak ingin jika nanti aku turun, aku akan diceramahi panjang lebar oleh Papa dan Mama (atau mungkin Tamara juga?). Aku yakin, saat ini, mereka pasti sudah menungguku di meja makan. Bersiap-siap mengeluarkan komentar mereka. Masa bodoh. Terserah saja mereka men-cap aku sebagai anak durhaka atau anak-yang-tak-tau-diuntung. Aku tidak peduli. Aku muak dengan semuanya. Andai saja Tamara tidak hadir di kehidupan Papa, pasti Papa dan Mama masih bersatu seperti dahulu.

Aku berjalan santai melawan angin pagi yang serasa menusuk sampai ke tulangku. Hari ini aku berangkat ke kampus dengan bersepeda saja, lagipula dengan bersepeda membuat suasana hatiku menjadi tenteram (walaupun jarak dari kampus ke rumahku tidaklah dekat). Aku sudah mengirim pesan singkat untuk Reza bahwa hari ini dia tidak usah mengantar dan menjemputku dari kampus karena aku berangkat bersama Kak Aldo. Ah, lagi-lagi aku berbohong.

Aku mengambil sepeda ontel berwarna biru tua yang tersimpan rapi di garasi rumahku. Warnanya sudah pudar ditutupi oleh debu, pertanda bahwa sudah lama sekali aku tidak memakai sepedaku. Aku mengambil tisu basah dari tasku, lalu me-lap seluruh permukaan sepedaku. Aku tersenyum kecil melihat sepedaku kini sudah bersih, warnanya terang dan berkilau. Langkah kaki terdengar menuju garasi, aku buru-buru mengayuh sepedaku menjauh dari sana. Suara Papa memanggil namaku dengan keras, aku sama sekali tidak menoleh ataupun memelankan gerakan ayuhanku. Yang aku inginkan hanya buru-buru pergi dari rumah menyedihkan itu.

Aku menatap kiri-kanan jalan. Sawah terhampar luas, kabut masih menyelimuti pagi ini, suara burung berkicauan riang. Beberapa orang sudah mulai memanaskan kendaraan mereka, memulai aktifitas di pagi hari yang ceria ini. Rasa kalut di hatiku hilang sudah. Beberapa orang yang mengenaliku, menyapaku ramah, yang hanya kubalas dengan senyum sopan dan anggukan kepala. Beberapa anak SD berlarian menyebrang jalan, membuatku mau tak mau memelankan laju sepedaku. Aku memejamkan mataku, tersenyum hangat. Pagi ini sangatlah damai.

“Hei, kau naik sepeda juga?” Sebuah suara datar membuatku membuka mata, menatap sebelah kananku. Aku terkejut sampai-sampai tidak menyadari bahwa ada batu besar didepan sana. Sepedaku oleng, hampir saja terjatuh. Untung saja sebuah lengan buru-buru menahan sepedaku, membuatku selamat dari jalan yang berbatu dan tertawaan orang-orang yang lewat. Aku menarik nafas lega.

“Hati-hati.” Suaranya masih datar, wajahnya sama sekali tanpa ekspresi. Aku kira dia akan menertawakanku. Aku jadi berpikir, apa dia tidak punya ekspresi wajah?

Aku menggeleng pelan, “Terima kasih.” Dia sama sekali tidak menghiraukanku, lalu sesegera mungkin menjalankan kembali sepeda ontelnya yang berwarna hitam. Aku juga ikut melajukan sepedaku, berusaha menyamai posisinya yang berada jauh didepanku. Dia sama sekali tidak berkata-kata. Aku menggigit bibirku. Aku ingin sekali bertanya siapa namanya.

“Kau naik sepeda juga ke kampus?” Hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulutku. Dia tidak menjawab. Aku mengutuk diriku sendiri. Itu pertanyaan bodoh. Untuk apa aku bertanya jika dengan jelas aku bisa melihat dengan mataku sendiri bahwa ia naik sepeda? Tapi, siapa tahu tujuannya naik sepeda bukan untuk ke kampus. Mungkin ke rumah temannya? Atau hanya sekedar bersepeda santai saja? Atau ia ingin menjemput pacarnya? Apa? Jadi dia sudah punya pacar? Aku menepuk dahiku sendiri. Untuk apa aku memikirkan hal tak penting semacam itu. Memang apa urusanku untuk mengetahui kehidupan pribadinya.

“Boleh aku tahu...” Kalimatku tersangkut ditenggorokanku. Aku jadi ragu untuk mengatakannya. Ia menoleh, menatapku penasaran. Dengan satu tarikan nafas panjang, “..siapa namamu?”

* * *

Aku memainkan bolpoin yang sedari tadi berada di genggaman tanganku, kertas kosong terbaring diatas mejaku, menungguku untuk menuliskan sesuatu diatasnya. Aku menulis namanya lamat-lamat, takut kalau aku lupa namanya. Namanya Dimas. Saat aku menanyakan namanya, ia tidak langsung menjawab, sepertinya dia memikirkan sesuatu terlebih dahulu. Setelah keheningan lama yang membuatku gugup (takut kalau ia tidak menjawab lalu pergi meninggalkanku dengan rasa malu), akhirnya ia menjawab. Tapi dia tidak menanyakan siapa namaku. Bukankah lebih sopan jika seseorang membalas pertanyaan seseorang yang sudah menanyakannya? Aku kembali menulis namanya. Aku membuang pandanganku ke arah depan, kali ini ia duduk jauh didepanku. Dia sedang sibuk berkutat dengan bolpoin dan buku tulisnya. Miss Fani didepan sana sedang menjelaskan sesuatu yang menurutku sangat menjenuhkan. Ingin bagiku untuk berlari keluar dari kelas ini, lalu memborong novel-novel terbaru yang dijual di toko buku sebelah kampusku.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang