SIAPA GADIS KECIL ITU?

19 2 0
                                    

Cuaca di Kota Bandung akhir-akhir ini kurang bersahabat. Sudah hampir satu minggu hujan belum juga menyapa kota ini. Apalagi saat masuk tengah hari, panasnya terasa begitu menyengat seolah menusuk pori-pori tubuh. Namun, teriknya mentari di siang ini tidak menyurutkan langkah seorang gadis kecil. Peluh keringat membasahi wajah dan tubuh mungilnya. Dia menyusuri jalanan dari satu tempat ke tempat lainnya.

Gadis kecil itu duduk di trotoar tepat di seberang rumah sakit. Di sebelahnya ada seorang pedagang minuman. Netranya melirik ke arah bapak yang berjualan itu, dia tidak bisa membeli minuman padahal tenggorokannya sudah sangat kering. Berkali-kali dia hanya mampu menelan air liurnya sendiri. Rara—gadis kecil yang hidup sebatang kara di jalanan tidak kuasa menahan rasa dahaga yang menyiksa tubuh.

“Dek, kamu haus?” tanya bapak bertubuh gempal itu menatap iba kepada gadis yang duduk di sebelahnya.

Rara hanya menggangguk saja tanpa berbicara sepatah kata pun.

“Ini buat kamu, Dek.” Bapak dengan topi hitam di kepalanya memberi air mineral untuk gadis kecil itu.

Belum sampai lima menit, air mineral itu telah tandas diminum oleh Rara. Gadis kecil bertubuh kurus dengan pakaian yang terlihat lusuh itu melirik ke arah bapak yang baru saja memberinya minuman.

“Ma-makasih, Pak.”

“Iya, sama-sama, Dek. Bapak kira kamu nggak bisa ngomong. Kamu dari mana, Dek?” tanya bapak penjual minuman sambil tersenyum.

“Saya dari pasar, Pak. Ingin istirahat dulu di sini, baru lanjut lagi,” jawab Rara.

Dari kejauhan beberapa perawat di rumah sakit itu berjalan ke arah Rara dan bapak penjual minuman. Sebagian dari mereka memberi uang receh kepada Rara. Gadis kecil itu terlihat senang karena akhirnya setelah perjalanan jauh ada juga rezeki untuk dia makan hari ini.

“Dek, nama kamu siapa?” tanya salah seorang perawat dengan senyum yang memperlihatkan deretan gigi yang rapi.

“A-aku Rara.”

“Kamu dari mana asalnya?” tanya perawat berkulit putih itu.

Rara tidak menjawab, tiba-tiba wajahnya pucat pasi, seolah sedang merasakan kebingungan. Gadis kecil itu refleks memegangi kepalanya, sambil meringis kesakitan.

“Aduh! Aduh! Sakit, kepalaku sakit!” Rara setengah berteriak.

Risma—perawat yang sedang berbicara dengan Rara, spontan panik. Tubuhnya langsung memeluk gadis kecil itu.

“Dek, kamu kenapa? Sini, ikut Suster ke dalam, yuk! Kamu masih kuat jalan, ‘kan?”

Rara hanya mengangguk pelan. Wajah tirusnya masih terlihat pucat.
Risma meminta bantuan teman yang lain untuk memapah gadis kecil itu. Rara hanya pasrah, tubuh kecilnya mengikuti langkah beberapa perawat yang ikut membantunya berjalan.

Tidak lama kemudian, Risma dan kedua temannya yang lain membawa Rara ke ruang tunggu di rumah sakit itu. Risma meminta salah satu temannya untuk mengambil air putih dan kotak P3K. Dengan sigap, wanita itu menyuruh Rara untuk duduk dan menyandarkan kepalanya di kursi.

“Ini, diminum dulu airnya.” Risma menyodorkan air putih hangat kepada Rara.

Rara pun segera meminum air putih hangat itu. Rasa sakit di kepala sudah mulai berkurang. Hanya tangan gadis kecil itu masih terlihat gemetar.

“Ris, aku sama Dian balik ke ruangan, ya.”

“Iya,” jawab singkat Risma kepada kedua temannya.

Risma pun menggosok-gosokkan tangan gadis kecil itu dengan minyak kayu putih. Wanita itu berharap keadaan Rara semakin baik, tidak ada sakit yang dirasakan lagi.

“Kamu tadi bilang namanya Rara?”

“I-iya, Sus,” jawab Rara dengan terbata.

Rara memang pemalu, dia tidak bisa mengutarakan isi hatinya. Entah apa penyebabnya, rasa sakit di kepala terkadang tiba-tiba menyerang. Gadis kecil itu menanggung derita seorang diri. Dia tidak mengerti kenapa jalan hidupnya harus seperti ini. Tidak mempunyai orang tua dan sanak keluarga.

Risma pun mengajak berbicara, wanita itu menanyakan tempat tinggal Rara, apakah masih memiliki orang tua atau keluarga lainnya. Nihil. Rara tidak mau menjawab semua pertanyaannya. Dia pun tidak bisa memaksa jika gadis kecil itu tidak mau menceritakan kehidupannya.

“Kamu udah makan, Dek?” tanya Risma dengan suara lembut.

“Belum, Sus.”

Kali ini Rara mau menjawab pertanyaan perawat berwajah oriental itu. Risma pun segera beranjak dari ruang tunggu kemudian mengajak Rara menuju kantin rumah sakit.

“Boleh ya, Suster panggil kamu Rara?”

Rara kembali mengangguk. Terlihat wajahnya sudah tidak sepucat tadi. Gadis kecil itu mulai merasa nyaman dengan sosok perawat yang baik hati itu. Walaupun dari gestur tubuhnya, dia masih sedikit agak malu.

“Ra, kamu bebas mau ambil apa aja yang kamu suka. Ini piringnya.” Risma memberikan piring kepada Rara.

Rara mengambil piring itu dan mulai memilih makanan yang ada di etalase. Gadis kecil itu terlihat sedikit bingung karena begitu banyak makanan di hadapannya. Bahkan ada beberapa yang dia tidak tahu apa nama jenis makanan itu.

Di kantin rumah sakit, makanan dengan berbagai menu sudah tersedia di etalase. Etalase yang kacanya bisa terbuka dan tertutup langsung oleh orang yang mau mengambil makanan. Hidangan menu memang dibuat seperti meja prasmanan. Tujuannya agar pembeli bisa langsung memilih makanan yang dipesan.

“Ra, kok bengong?” tanya Risma.
“Aku bingung, Sus. Aku nggak tau mau ngambil apa. Banyak banget soalnya.”

Risma tersenyum simpul mendengar jawaban Rara. Wanita itu pun akhirnya berinisiatif mengambilkan makanan untuknya. Dia memilih ayam goreng, sayur sop, dan perkedel kentang. Tentu saja sudah ada nasi di piring. Sementara untuk dirinya hanya mengambil soto ayam bening tanpa nasi.

Risma dan Rara memilih tempat paling pojok di sudut kantin yang luas itu. Mereka menikmati makan siang tanpa ada suara. Dalam benak Risma, dia merasa prihatin dengan gadis kecil yang duduk di hadapannya. Dari cara makan anak itu, dia bisa menebak kalau siang ini, dia baru makan sekali. Sepertinya tadi pagi tidak ada makanan yang masuk ke perutnya.

Ya Allah, kasihan anak ini. Apakah dia masih punya orang tua? Jika ada, sungguh tega sekali memperlakukannya menjadi pengemis di jalanan. Hati kecil Risma berbicara.

Selang beberapa menit, baik Risma maupun gadis kecil itu sudah menghabiskan makanan yang dipesan. Wanita itu pun memberikan sedikit uang untuk Rara. Awalnya dia menolak, tetapi karena Risma membujuknya, akhirnya gadis berambut sedikit bergelombang itu mau menerima uang pemberian Risma.

“Rara tinggal di mana? Nanti Suster boleh ‘kan main ke rumah Rara?”

Hening. Tidak ada jawaban. Gadis kecil itu seperti berpikir keras, hatinya sedikit ragu untuk memberitahu di mana dia tinggal.

“Suster nggak boleh tau di mana rumah Rara?” selidik Risma.

“Ehmm ... bukan, Sus. Bukan itu, Rara sebenernya nggak punya rumah.” Wajah Rara tertunduk malu.

“Terus, kamu tinggal di mana?” tanya Risma dengan sorot mata penasaran.

“A-aku tinggal di Pasar Soreang, di toko klontong milik sahabatku, Nada.”

Risma menasihati Rara agar nanti ketika pulang dia harus hati-hati. Jangan berbicara dengan sembarang orang, apalagi jika diajak pergi.

Wanita itu lalu mengantar Rara menuju halaman parkir rumah sakit.
Rara pun berpamitan pulang, lalu berjalan keluar area rumah sakit. Terlihat gadis kecil itu melambaikan tangan dari kejauhan.

Langit sore begitu cerah. Perpaduan warna jingga keemasan sungguh indah bagi siapa pun yang memandanginya. Terlihat beberapa burung merpati terbang ke sana ke mari di atas cakrawala menambah pesona di senja hari.

Berbanding terbalik dengan keadaan siang yang panas, kini angin sejuk menerpa wajah gadis kecil yang duduk di kolong jembatan. Rara dan sahabatnya sedang menikmati pemandangan sore itu. Sesekali terdengar gelak tawa riang, seolah tidak ada beban hidup yang mereka jalani.

IDENTITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang