Risma terus memperhatikan lembaran berisi hasil pemeriksaan CT Scan Rara, dirinya pun masih memikirkan semua perkataan Dokter Isryad.
Setelah pemeriksaan melalui CT Scan di bagian kepala, betapa terkejut ternyata di bagian otak ada luka bekas cedera. Beruntung tidak terlalu parah, dokter menjelaskan nanti setelah diberi obat dan rutin melakukan cek up maka perlahan akan sembuh. Namun, ada hal yang membuat Raisa khawatir yaitu cedera di kepala itu membuat Rara hilang ingatan.
Sungguh membuat hati Risma menjadi sedih dengan kondisi putri angkatnya. Dokter menyarankan agar dibawa ke dokter psikologi untuk mengobati penyakitnya.
Sebelum meninggalkan rumah sakit, dokter juga memberitahu cara menangani amnesia yaitu yang utama adalah melalui terapi. Dua jenis terapi yang bisa dilakukan untuk pengidap amnesia adalah terapi okupasi dan terapi kognitif. Terapi okupasi bertujuan untuk mengajarkan pengidap cara mengenal informasi baru. Sementara terapi kognitif dilakukan untuk menguatkan daya ingat. Selain melalui terapi, orang yang amnesia juga bisa mengonsumsi vitamin dan suplemen untuk mencegah kerusakan otak lebih parah akibat amnesia.
Salah satu kondisi yang bisa menyebabkan amnesia adalah cedera kepala. Ini karena saat kepala terbentur dengan sangat keras, maka ada saraf yang menjadi rusak atau terganggu, sehingga menyebabkan seseorang kehilangan ingatan. Inilah yang terjadi dengan Rara.
“Mas, bisa jemput? Aku sama Rara udah di lobi.”
“Iya, Sayang, lima belas menit lagi, insyaAllah aku sampai di sana.”
Risma memasukkan ponselnya ke dalam tas.
“Ra, kamu nanti terapi ya, semua ini untuk memulihkan ingatanmu.”
Risma kembali teringat cerita Pak Galih yang dulu memberitahu kondisi pertama kali saat bertemu Rara tiga tahun lalu. Saat dia ditanya nama, bahkan dia tidak bisa menjawab namanya sendiri. Gadis kecil itu bahkan tidak mengerti kenapa bisa hidup di jalanan, lalu dia sama sekali tidak tau kedua orang tuanya, dan selama ini tinggal di mana. Begitu banyak rahasia yang tersimpan dalam kehidupan Rara.
Jam di tangan menunjukkan pukul 16.45. Anwar memberitahu kalau dia sudah ada di halaman parkir rumah sakit. Risma dan Rara segera menuju ke sana. Terlihat mobil berwarna putih itu di barisan paling belakang, mereka pun masuk ke dalam mobil, setelah sebelumnya mengucapkan salam.
“Gimana, Sayang? Rara baik-baik aja.” Anwar menoleh ke istrinya yang duduk di sebelah pengemudi.
“Nanti aku ceritain di rumah. Yuk, kita jalan sekarang!”
“Oke.”
Di sepanjang perjalanan, Risma terlihat merenung, pikirannya melayang, dia tidak mampu menutupi kegelisahannya. Sementara Rara tertidur di kursi belakang.
“Sayang, kamu laper nggak?” tanya Anwar sambil melirik istrinya.
Hening. Tidak ada jawaban.
“Sayang ....” Anwar menyenggol lengan Risma.
“I-iya, ada apa, Mas?” Risma malah balik bertanya.
“Kamu lagi ngelamun, ya. Mikirin apa sih? Kayaknya penyakit Rara serius banget. Mas tadi nanya kamu mau makan nggak? Sekalian kita ajak Rara makan di luar, ‘kan di rumah juga belum ada makanan. Kalau kamu masak, kasian, keliatannya kamu capek banget.”
“Oh, iya, Mas. Aku ngikut aja. Mas mau makan di mana, aku pasti suka.”
“Ya udah kalau gitu kita makan di warung makan langganan kita aja, ya.”
Risma mengangguk sambil tersenyum.
Tidak lama kemudian, mereka sampai di Warung Makan Kacarita, warung dengan konsep menu masakan khas Sunda. Di warung makan ini, selain makanan yang lezat, juga terdapat fasilitas musala yang ada di pojok warung. Itulah kenapa Anwar memilih warung makan itu.Risma membangunkan Rara, mereka pun turun dari mobil. Sementara Anwar sudah lebih dulu memilih tempat dan menu masakan. Selang beberapa menit, datang makanan pesanan mereka. Terlihat Rara sangat senang, dia begitu lahap menyantap makanan itu. Begitu pun Risma dan suaminya.
Terdengar suara azan Magrib tepat ketika Risma, Anwar dan Rara telah menghabiskan makanan. Mereka pun bergantian untuk melakukan salat Magrib di musala warung makan itu. Setelah selesai salat, mereka kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.
Butuh waktu hampir satu jam untuk sampai ke rumah.Akhirnya mereka tiba juga tepat pukul delapan malam. Risma pun menyuruh Rara untuk membersihkan diri ke kamar mandi. Sementara Anwar mengajak istrinya ke kamar untuk membicarakan hasil pemeriksaan Rara. Laki-laki itu sangat penasaran dengan kondisi putri angkatnya.
“Jadi gitu, Mas. Rara harus diterapi untuk mengembalikan ingatannya. Selama ini sakit di kepala Rara itu karena ada bekas cedera di otak. Alhamdulillah tidak terlalu parah.”
“Ya Allah kasian banget anak itu.”
“Mas, tadi perasaan Mas ngasih tau tentang Siska. Emang dia kenapa?”
“Oh, iya, tadi dia nggak masuk, soalnya rumahnya kena korban tanah longsor. Sekeluarga diungsikan ke tempat yang lebih aman. Gimana kalau kita ke sana? Kita bisa bantu sedikit. Kebetulan tadi di klinik juga udah ngumpulin dana untuk bantu Siska dan keluarganya.”
“Boleh, Mas, kebetulan aku masuk shif sore. Paginya aku bisa nemenin Mas ke sana. Terus kita mau nyumbang apa?”
“Ehmm ... tadi Mas dapat informasi langsung dari Siska, kalau di tempat pengungsian membutuhkan bantal, selimut, baju layak pakai, obat-obatan, dan bahan sembako. Gimana kalau selain uang yang terkumpul, kita beli dulu beberapa barang yang diperlukan.”
“Iya, Mas. Aku setuju. Aku ke kamar Rara dulu, ya.”
Risma pun ke kamar Rara, rupanya gadis kecil itu sudah rapi mengenakan piyama tidur.
“Sayang, kamu minum obat dulu, ya.”
“Iya, Bunda.”
“Mudah-mudahan Rara cepat sembuh. Rara nanti cerita aja sama Bunda kalau ada yang Rara ingat atau apa pun yang Rara rasakan. Bunda selalu ada untuk Rara.”
“Makasih ya, Bun.” Rara memeluk tubuh Risma erat.
Rara menyimpan sejuta rahasia, dia sendiri tidak mengetahui nama aslinya, tinggal di mana, dan mengapa bisa hidup dan berada di kota Bandung ini. Sehari-hari sebelum dia bertemu dengan Risma dan mengangkatnya menjadi anak, gadis malang itu hanya hidup dari belas kasihan orang-orang.
“Nah, pintar minum obatnya. Sekarang Rara istirahat, ya.” Risma mencium kening Rara. Gadis kecil itu membalasnya dengan anggukan.
Perjalanan kisah seorang gadis kecil bernama Rara masih menyisakan tanda tanya bagi Risma dan suaminya. Bagaimana dia bisa mengalami cedera kepala yang menyebabkan dia hilang ingatan.
“Mas kondisi Rara apa perlu kita laporkan sama petugas dinas sosial?”
“Iya, Sayang. Kamu betul, kita harus sampaikan semua kondisi yang terjadi sama anak itu.”
Malam semakin larut, Risma dan suaminya pun kini sudah terbuai di alam mimpi.Keesokan harinya, Risma sudah terlihat lebih tegar, wajahnya tidak murung seperti hari kemarin. Bagi wanita itu, dia harus kuat menghadapi kenyataan. Pilihannya menjadi orang tua angkat Rara menjadi keputusan yang dia harus siap menerima semua konsekuensinya. Tidak ada celah untuk mengeluh dan menyesali keputusan yang sudah diambil.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
IDENTITY
RomanceRisma Herlina dan Anwar Riyadi hidup harmonis sebagai pasangan suami istri yang menjalani mahligai rumah tangga selama lima tahun. Walaupun begitu, kehidupan mereka masih belum lengkap karena belum juga dikaruniai anak hingga akhirnya memutuskan unt...