LANGKAH PERTAMA

3 1 0
                                    

Keindahan langit malam mampu melupakan sejenak pahitnya kehidupan yang dijalani oleh seorang gadis kecil bernama Rara. Di usianya yang baru sepuluh tahun, dia harus menghadapi kerasnya dunia. Langkah kecilnya menyusuri tempat-tempat di mana dia bisa mendapatkan uang untuk sesuap nasi.

Terkadang gadis kecil itu menangis sendiri menahan lapar dan haus. Dalam benaknya ada seribu tanya sebenarnya siapakah orang tuanya, dari mana dia berasal, mengapa harus menjalani kehidupan seperti ini. Namun, semua tanda tanya itu hanya seperti angin lalu yang akan menghilang tanpa menemukan jawaban.

“Ra, pulang, yuk!” ajak Nada.

“Yuk!” Rara berdiri mengikuti Nada.

Kedua gadis kecil itu kemudian berjalan meninggalkan Alun-Alun Soreang menuju rumah Nada. Ya ... selama ini Rara memang tinggal di sana, pasalnya dia tidak tahu di mana rumahnya. Beruntung orang tua Nada mau menerima anak yang awalnya tidak diketahui namanya itu. Walaupun sebenarnya kehidupan mereka sangat sederhana, bahkan tergolong hidup dalam keadaan pas-pasan.

Sekitar tiga tahun yang lalu, Pak Galih—ayah Nada melihat gadis kecil yang tertidur di depan toko kelontong miliknya. Saat itu Pak Galih baru membuka toko di waktu subuh. Betapa terkejut melihat ada seorang anak di sana. Gadis kecil itu terlihat sangat menyedihkan.

Hatinya terenyuh melihat penampilan gadis kecil itu. Ketika bangun, Pak Galih pun menanyakan namanya. Sang anak yang ditanya hanya menggeleng, wajahnya pucat dan tidak berkata apa-apa. Melihat kondisi anak itu dan sepertinya dia memang tidak tahu apa pun tentang dirinya, maka Pak Galih dan sang istri memberikan nama untuknya. Ya ... Rara, nama yang diberikan oleh mereka.

Pak Galih dan sang istri pun saat itu akhirnya menyuruh Rara untuk tinggal bersama keluarga kecil mereka, menjadi teman untuk Nada. Sejak saat itulah Rara bersama keluarga Nada, yang kini menjadi sahabatnya. Karena kondisi ekonomi mereka yang tidak cukup untuk membiayai Rara sekolah, maka gadis kecil itu pun tidak dimasukkan sekolah.

🌷🌷🌷

Suasana pagi hari ini agak mendung, terlihat awan gelap menggulung di langit. Jika cuaca begitu, Risma dan suaminya memilih untuk menggunakan mobil menuju tempat mereka bekerja. Sebelum berangkat, Risma tengah mempersiapkan bekal untuk makan siang. Rutinitas membuat makanan untuk bekal ini tidak setiap hari dilakukan wanita itu, hanya jika Risma sedang tidak terburu-buru atau jika dia mendapatkan jadwal kerja agak siang.

“Mas, ini udah siap bekalnya. Yuk berangkat!” Risma memanggil suaminya yang masih di kamar.

“Iya, sebentar lagi, Sayang.”

Anwar mengenakan kemeja berwarna biru tua dengan celana hitam, terlihat sangat cocok di tubuhnya. Dia pun segera menyalakan mobil, sementara Risma mengunci pintu rumah. Selang beberapa menit kemudian mobil berwarna putih itu pun membelah kemacetan di jalan.

Sepanjang perjalanan, Risma dan suaminya membahas rencana untuk mencari informasi tentang Rara. Sepulang kerja, mereka akan pergi ke Pasar Soreang, tempat tinggal yang diceritakan gadis kecil itu.

“Mas, kamu pulang jam berapa? Jangan lupa, nanti kita mampir ke Pasar Soreang, ya!” Risma melirik suaminya.

“Iya, Sayang. Nanti aku kabari lagi kalau udah mau jemput kamu.” Anwar tetap fokus menyetir tanpa menoleh sedikit pun.

Risma pun tiba di rumah sakit. Sebelum turun dari mobil, wanita itu mencium punggung tangan suaminya sambil mengucapkan salam. Sementara Anwar mendaratkan kecupan lembut di kening istrinya. Sungguh pemandangan romantis.

Tidak lama kemudian Anwar melanjutkan perjalanan menuju klinik laboratoirum tempat dia bekerja. Jaraknya kurang lebih sekitar 2,4 km dari RSUD Soreang, membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam, jika kondisi lancar. Laki-laki itu masih memikirkan permintaan istrinya untuk mengadopsi seorang anak. Hati kecilnya ingin menyetujui keinginan itu. Namun, melihat bagaimana watak sang ibu, dia menjadi khawatir. Ada rasa takut jika nanti rencana mereka ditentang oleh ibunya.

IDENTITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang