🌼🌼🌼
“KENAPA sih, Nya, muka lo kusut banget,” tegur Wiwit, saat mendapati sang sahabat sudah duduk di sampingnya.
Berada di semester lima prodi akuntansi, Anya memasuki salah satu universitas swasta yang ada di daerah Bandung, Baleendah. Biaya persemesternya cukup murah, tapi ilmu yang didapat sangat memuaskan. Meski Anya bukan seorang yang benar-benar ambis, tapi ia tak akan menyia-nyiakan kesempatannya ini. Bisa berkuliah bukanlah hal yang mudah, apalagi kehidupan Anya saat ini tengah sangat pas-pasan. Belum lagi, sang ibu sedang sakit.
Setidaknya, di masa depan, Anya harus menjadi seseorang yang sukses. Punya pekerjaan yang mapan dengan gaji yang lumayan besar. Anya selalu mempunyai mimpi sederhana. Saat lulus nanti ia bisa bekerja kantoran. Dengan rambutnya yang rapi, baju yang wangi, juga heels lima centi. Seperti wanita-wanita independen di kota metropolitan.
“Sumpah, barusan gue ketemu orang yang ngeselin banget!” curhat Anya sembari mengobrak-abrik isi tas, mengeluarkan seperangkat binder dan pulpen. “Baru pertama kali gue ketemu sama cowok yang nyebelin parah! Sampai gue pengen banget bejek-bejek mukannya. Najis deh. Mood gue anjlok!”
“Sabar dulu dong, Nya.” Wiwit terkekeh. “Coba ceritain pelan-pelan, kenapa lo bisa sebel banget sama itu cowok?”
“Pertama, dia masuk ke toko gue dengan gerak-gerik menjijikan.” Anya geleng-geleng kepala. Kejadian tadi sungguh merusak dan melenyapkan energi positif yang sempat ia dapat. “Lo bayangin ya, Wit. Dia pakai masker, pakai sarung tangan, terus kelakuannya kayak gimana gitu. Mau duduk aja kursi tunggu sampai disemprot handsinitizer terus dilap sama tisu. Pokoknya dia kayak jijik banget sama semua hal yang ada di toko gue.”
“Wah, parah banget sih, Nya. Padahal toko bunga lo kan selalu bersih cemerlang, wangi lagi. Masa dia ampe segitunya sih?”
Anye memukul meja. “Nah itu, Wit. Mana dia tuh sombongnya kebangetan tahu. Dia bilang bakal bikin toko gue sepi pembeli, katanya sih, mau nge-spill pelayanan dan kelakuan gue ke internet. Dan kayaknya dia juga bukan orang biasa deh, Wit. Mana tadi gue sempet marah-marah dan gak sopan lagi sama dia. Gimana nasib gue, Wit?"
“Dia bukan orang biasa gimana? Lo kenal?” tanya Wiwit penasaran.
“Gue gak kenal Wit, lagian gue juga enggak mungkin tiba-tiba kenalan dulu sama orangnya di saat kita lagi debat.”
“Ciri-cirinya gimana? Ganteng? Kelihatan banyak duit? Style bajunya mewah?”
Anya terdiam sesaat, mengingat. “Iya sih, pakaian dan gayanya kelihatan mahal, mukannya kinclong banget, ganteng. Dia juga bawa mobil bagus, kayaknya Tesla tree standard range plus deh, kelihatan mahal pokoknya.”
“Jangan-jangan dia artis?” seru Wiwit sembari memiringkan kepala dan menatap Anya serius.
“Enggak mungkinlah Wit, kalau dia beneran artis setidaknya gue kenal dong. Ya, meski gue udah lama sih gak nonton TV. Tapi ini asli, orangnya aneh! Bikin gue gampang emosian. Gimana ya Wit, kelakuan dia nyebelin banget. Bajunya kena tanah dikit aja marah-marah, padahal gue enggak sengaja. Udah minta maaf berulang kali, tapi dia tetep nyerocos. Ngehina-hina toko gue, inilah, itulah. ”
Wiwit menganggukan kepala dengan tatapan iba. “Gue bingung harus gimana Nya.”
“Gue juga bingung plus takut Wit.” Anya memelas. Merasa sangat menyesal, andai ia bisa pikir panjang. “Mana gue ngerasa laper. Tadi pas ke toko belum sempet sarapan.”
“Bentar lagi Bu Novitasari masuk kelas loh, Nya. Tahan dulu ye, rasa lapernya.” Wiwit mengingatkan.
“Ck, gue males banget, lagi bad mood!” Anya berujar lemas, kini ia memiliki kelas audit subtantif di tiga jam pertama. “Pokoknya nanti beres kelas gue bakalan langsung makan banyak-banyak.”
“Iya Nya, iya. Gue temenin.”
🌼🌼🌼
Anya melepas helm bogo berwarna cokelat. Lalu turun dari motor beat. Satu-satunya kendaraan yang gadis itu miliki, dibeli empat tahun lalu dengan keadaan bekas. Dan, motor inilah yang selalu menemani Anya ke mana-mana. Saat pergi ke kampus, saat harus mengurus re-stok bunga, saat mengantar ibunya ke rumah sakit. Saat Anya mengerjakan tugas kelompok di rumah temannya. Salah satu harta paling berguna dan berharga Anya.
Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam, Anya terbiasa pulang jam segini, karena seusai kuliah ia harus kembali ke toko lalu mengurusnya.
Mengembuskan napas, untuk melepas penat, Anya pun membuka pintu yang terhubung dengan garasi rumah.
Bila digambarkan, rumah Anya memang terlihat sangat mungil dan sederhana. Terdiri dari satu lantai, masih beratap genteng. Meski ada beberapa bagian yang dicor. Berkat renovasi tahun lalu, itu pun karena atapnya sudah terlalu sering bocor. Terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur dan ruang tamu yang merangkap jadi ruang santai. Hampir semua ruangan yang ada di rumah Anya berukuran sama, tiga kali tiga meter. Kecuali kamar mandi.
Halamannya pun tidak terlalu luas. Dan tidak memiliki banyak hiasan. Kecuali kolam ikan koi di depan. Dan rumput hijau yang menutupi tanah. Anya benar-benar hidup dalam kesederhanaan, berdua dengan Ibu. Yang memilih untuk setia kepada almarhum Ayah. Setelah beliau meninggal delapan tahun lalu.
Rumah dalam keadaan sepi, Anya langsung menuju ke kamar Ibu. Mengecek kondisinya.
“Ibu belum tidur?” tanya Anya sembari mendekat, duduk di tepian kasur dan memegang tangan Aina yang kini terasa sangat kecil dan rapuh.
“Belum, nungguin kamu pulang dulu. Udah makan?”
Anya mengangguk. “Udah kok, tadi dikasih bakso sama Wiwit. Kalau Ibu gimana? Bubur yang tadi Anya buat udah habis kan?”
“Habis kok.”
“Mau Anya masakin lagi enggak? Ibu lapar?”
Aina menggeleng, ia merasa kasihan kepada sang anak. Di usia muda begini, Anya harus banting tulang dan bekerja keras. Padahal, ia ingin melihat Anya bersenang-senang, bukan harus mengurusnya yang sakit-sakitan begini. Kadang, Aina berpikir, mungkin saja jika dirinya mati kehidupan Anya akan jauh lebih baik. Tapi di sisi lain, ia juga tak ingin meninggalkan Anya sendirian di sini. Keluarganya sudah tidak ada. Begitu pula dengan keluarga suaminya yang kini entah di mana.
“Enggak perlu, Sayang. Kamu istirahat aja ya? Ibu enggak lapar kok. Justru kamu loh, kalau lapar bisa Ibu masakin.”
Anya menggelengkan kepala, senyuman tipis muncul dibibirnya. Meski sangat merindukan masakan Ibu yang terasa sangat enak, ia tak akan memaksakan. Anya tak mau Aina jatuh sakit lebih parah. Tak apa jika ia harus berlelah-lelah mengurus semuanya. Asal, Aina bisa sehat dan berumur panjang.
“Ibu mending tidur, obatnya udah dimakan kan? Anya mau mandi, terus istirahat. Eh, lupa, tadi ada tugas. Nyambil ngerjain tugas juga biar cepet lulus.”
Aina terkekeh. “Maaf ya, Ibu enggak bisa bantu banyak. Kamu harus semangat.”
Anya menaikan sebelah tangannya yang terkepal. “Anya bakalan berusaha sekuat tenaga buat bisa semangat kok, Bu!”
🌼🌼🌼
Makasih yang udah mampir ya. Jangan lupa bantu share. Juga tinggalkan cerita ini jika membuat kalian lalai dalam beribadah.
Aku minta kesan pesan kalian setelah baca hingga bab 2 ini. Gimana, lanjut?
KAMU SEDANG MEMBACA
A MARRIAGE PROPOSAL (END)
Roman d'amourLENGKAP "Saya punya penawaran buat kamu." Arlan melirik Anya. "Jadi istri saya, dan saya akan membiayai semua kebutuhan kamu." Anya terkekeh. "Gue dibooking nih Om?" "Bisa dibilang begitu." Arlan menganggukan kepalanya. "Ogah! Gue bukan cewek muraha...