Coagulation

428 29 20
                                    

Kyuhyun sedikit mengernyitkan dahinya saat mencoba membuka mata. Rasa pening itu masih ada, tetapi tidak seberapa dibandingkan sebelumnya.

"Hei, Nak. Kau bangun?"

Kyuhyun pun segera menegakkan tubuhnya saat suara lembut seorang wanita memanggilnya. Ia menatap wanita cantik berambut hitam di hadapannya. Wajah wanita itu terlihat cemas. Namun, Kyuhyun tidak ingin ambil pusing. Ia pun memaksakan diri untuk berdiri dari tempatnya tertidur semalam meski tubuhnya masih luar biasa lemas.

"Hei, jangan memaksakan diri," ujar wanita itu lagi. "Tubuhmu panas sekali. Kau pasti demam karena berada di sini semalaman."

"Saya tidak apa-apa." Kyuhyun berusaha berdiri meski sedikit terhuyung karena pening. "Maaf merepotkan Anda, Nyonya."

Kyuhyun membungkuk sembilan puluh derajat setelah mengucapkan permintaan maaf. Remaja tujuh belas tahun itu langsung beranjak, setelah mengambil ransel hitamnya yang tergeletak di samping kaki.

"Tunggu dulu, Nak." Wanita itu menghentikan langkah Kyuhyun. "Jika mau pergi sekarang, setidaknya isilah dulu perutmu dengan sesuatu. Udara begitu dingin dan kau juga demam. Sangat tidak bertanggung jawab jika aku membiarkanmu pergi begitu saja."

"Tidak perlu, Nyonya. Saya—"

Sebelum Kyuhyun melanjutkan kalimatnya, wanita cantik itu sudah menarik lengannya. Kyuhyun pun sudah tidak mengelak lagi. Ia hanya pasrah mengikuti wanita itu memasuki toko roti yang terasnya semalam ia gunakan sebagai tempat berteduh.

"Duduklah. Aku akan membuatkanmu cokelat hangat."

Kyuhyun melihat senyum tulus wanita itu dan tiba-tiba hatinya menghangat. Ia masih sangat kecil dan membutuhkan kasih sayang seorang ibu saat ibunya meninggal. Setelah beberapa tahun berjuang dengan kebekuan hati, akhir-akhir ini kebekuan itu sedikit mencair. Kyuhyun merasa Tuhan begitu baik kepadanya. Kehadiran Hyejin Oemma lumayan bisa membasuh dahaganya akan kasih sayang seorang ibu. Perhatian yang diberikan wanita cantik pemilik toko roti ini juga sanggup menyentuh hatinya yang terasa dingin.

"Minumlah agar kau sedikit hangat." Wanita itu menyodorkan secangkir cokelat hangat dan beberapa roti kismis kepada Kyuhyun.

Kyuhyun menyukainya hingga tanpa sadar menyunggingkan senyum tipis. "Terima kasih," ujarnya lirih, lantas meraih cangkir cokelat hangat itu dan menangkupnya.

"Sebentar lagi suamiku datang membawa obat demam. Kau bisa meminumnya agar demammu lekas turun."

"Tidak perlu repot-repot, Nyonya. Setelah meminum ini, saya akan segera pergi."

Wanita cantik itu menatap Kyuhyun. Jujur saja, saat melihat remaja bersurai madu itu, hatinya seolah tergerak ingin memeluknya. Ia tidak tahu apa yang membuat remaja itu begitu menarik perhatiannya.

"Jangan memanggilku seformal itu. Namaku Baek Chaerim. Anggap saja aku seperti bibimu." Wanita berambut hitam itu berusaha mencairkan suasana. "Siapa namamu, Haksaeng?"

"Saya Kim Kyuhyun," jawab Kyuhyun lirih. "Dan saya bukan seorang haksaeng. Rasanya aneh dipanggil seperti itu."

Chaerim mengerutkan dahinya. Ia tentu tidak salah menaksir usia remaja di hadapannya ini. Menurutnya, usia Kyuhyun berada di kisaran siswa sekolah menengah.

"Kau sudah lulus? Maaf karena salah menebak usiamu."

Kyuhyun menggelengkan kepala, kemudian tersenyum getir. "Bukan salah Anda, Nyonya. Saya memang sudah tidak sekolah."

Chaerim mengangguk tanda mengerti. "Wajahmu sangat awet muda, ya," ujarnya kagum. "Kalau begitu, berapa usiamu?"

Kyuhyun mengeratkan genggaman tangannya pada cangkir. Matanya benar-benar tidak berani menatap wanita cantik di hadapannya itu. "Tujuh belas tahun."

WHEN WE WERE USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang