1

652 75 2
                                    

Satu-satunya hal yang berubah usai pembicaraan terkait tanggal pernikahan dan nilai mahar berhasil mencapai kesepakatan hanyalah nama mempelai pria. Sebab bahkan ketika sigil dua klan dibubuhkan pada surat perjanjian, semuanya tetap sama.

Ayahnya masih berada dalam upaya terbaiknya untuk berpura-pura menjadi pria terhormat, sedangkan Sasuke Uchiha masih terlihat tidak berminat. Bahkan ketika mereka bersalaman dan ayahnya dengan pongah kedapatan sulit menahan kedut geli di sudut bibir, tidak ada yang berubah dari air muka si tunggal Uchiha. Rupanya persis seperti sebelum-sebelumnya. Tidak ada gurat bahagia, binar lega, atau bahkan secuil rasa kecewa. Rasanya hampir seperti karena ia datang tanpa ekspektasi, pun juga kini ia akan pulang tanpa rasa rugi. Kendati di satu sisi, pada sepasang jelaga yang menyorot pasi, ada kejanggalan yang tak pelak mengundang simpati.

Sementara lantaran tak punya kuasa perihal pernikahannya sendiri, Hinata hanya bisa mengamati jalannya perundingan dari sisi ruangan. Opininya tidak diperlukan dan kehadirannya tak lebih dari sekadar hiasan. Namun ia tidak keberatan, karena dengan begini setidaknya ia diberikan kesempatan untuk mengobservasi perangai calon suaminya di muka pertemuan.

Sebelum ini, ia hanya pernah melihat sang calon suami satu kali. Pria itu jelas memiliki daya tarik yang sulit untuk ditampik. Akan tetapi ketika pertama kali manik cerahnya mendaratkan pandangan pada rupa sang Uchiha, bukan perawakan tak bercela itu yang mengundang perhatiannya.

Ketika mentari siang bersinar terik tepat di atas kepala dan Sasuke Uchiha membelah jalan utama yang penuh sesak oleh warga dengan pasukannya, gelombang sukacita menghujam massa. Pria itu berkuda dengan iringan panji-panji kebesaran klannya, hitam dan merah dengan lambang kipas yang megah, membawa serta kabar bahagia dalam rupa kemenangan. Lautan manusia laun menggaungkan namanya dalam nyanyian. Dan sebagaimana kisah para pendahulunya diabadikan dalam epos-epos yang tak lekang zaman, pun juga ia dinobatkan akan memiliki pencapaian serupa. Namun dalam semarak yang memekakan dimana seorang pahlawan dielukan, Hinata justru menangkap hal yang berbeda―sepasang mata yang telah kehilangan cahaya kehidupan.

Dan sekarang, ketika pria yang sama bertandang sejenak ke hadapannya untuk lantas mengecup punggung tangannya sebagai salam perpisahan guna memenuhi norma kesopanan, matang sudah sebuah kesimpulan.

Hinata tidak akan menikahi seorang pahlawan—hanya seorang pria yang menanggung beban; seorang korban.

Survivor (SH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang