5

369 61 8
                                    

Datang ke ibukota adalah sebuah kesalahan.

Alih-alih membaur di tengah kawanan bangsawan, Hinata memilih menepi di sudut ruangan. Ia bisa jadi telah lama berkawan dengan rasa bosan dan tidak keberatan dengan keramaian, namun adalah dusta jika kini ia merasa nyaman berada di antara sekelompok manusia-manusia arogan yang hanya peduli dengan tetek-bengek perihal harga diri dan kehormatan.

Dengan segelas anggur yang terselip di tangan, sang jelita menyelinap ke luar aula. Ia memilih balkon yang menghadap langsung ke perbatasan hutan sebagai pelabuhan, kemudian menambatkan diri dengan bersandar pada arkan. Sapa semilir beku udara musim gugur bermain dengan legam rambutnya yang bebas, seakan tengah merayu agar hati tak lagi terganggu. Kendati demikian, pikirnya tetap berlarian.

"Aku turut berduka cita atas kematian mantan tunanganmu," ujar seorang wanita beberapa waktu silam, tak bisa ia enyahkan. Wanita itu berusaha membuka percakapan di tengah kekikukan lepas kehadirannya sebagai matriark Uchiha diumumkan. Dengan bibir yang dipulas pemerah, wanita itu menyunggingkan senyuman. Ia jelas tak melupakan tata krama meski lidah membasut bisa—"atau kini harus kusebut ia sebagai... kakak iparmu?"

Mendengkus geli, Hinata menyesap isi gelasnya kemudian. Ia berupaya menyingkirkan memori supaya tidak larut berkecimpung dalam kubangan dan terseok mengasihani diri sendiri. Hal tersebut tidak cukup untuk membuatnya berkecil hati. Toh, tidak ada yang patut dibanggakan juga dari tindak-tanduk para bangsawan. Berdasarkan pengalaman, kehormatan yang mereka sombongkan bahkan seringkali tak lebih dari sebatas gagasan yang digaungkan dengan berlebihan. Tidak terlalu bermakna dan tidak bisa dijadikan acuan.

Pada satu waktu, oleh orang-orang yang kini mencemoohnya dari balik lantun basa-basi merdu, pernah ada ujar cemburu yang dihaturkan kepadanya lantaran nasib yang konon kelewat mujur. Hinata bisa jadi aristokrat lama, tetapi dalam hierarki, klannya tak lebih dari bangsawan kelas dua. Meski punya kursi dalam dewan, akan tetapi klannya tidak duduk pada jabatan vital dan krusial. Pun juga mereka tidak bergelimang harta, jelas tidak punya taring di ibukota. Dan orang-orang bilang, beruntungnya Hinata berhasil menarik perhatian pewaris utama Uchiha serta mengamankan hubungan dengan sepasang cincin dan pertunangan.

Menjadi matriark klan Uchiha di masa depan adalah kehormatan yang jelas tidak tergantikan, katanya. Betapa kehormatan adalah sesuatu yang tidak pasti dan dengan mudah berubah menjadi satu yang mengundang cibiran lantaran dilaku tak sesuai kriteria orang banyak.

Meneguk sisa anggurnya hingga tandas, ia kemudian melempar pandang jauh ke depan. Mentari laun kembali ke peraduan, tetapi sejauh mata memandang, masih belum ada tanda-tanda dari kaum pria untuk kembali dari perburuan. Maka dalam upaya untuk menghiraukan seluruh gemerisik isu yang berputar di balik punggungnya, Hinata memutuskan untuk larut dalam lamunan saja.

Samar, bayangan Itachi kembali menghantui. Konversasi tentang mimpi dan janji-janji mati yang tidak ditepati. Atraksi yang berat di satu sisi tetapi diamini tanpa antisipasi. Lalu selembar surat di kaki merpati—alih-alih membawa kabar yang dinanti, justru berita tentang orang mati.

Pada saat seperti ini, Hinata berusaha mengingat kembali bagaimana rupa Itachi. Namun kemiripan pria itu dengan Sasuke membuatnya ketakutan. Dengan surai legam yang sama dan manik jelaga yang tak beda, agaknya Hinata telah lupa bagaimana memisahkan satu dari yang lain. Sebab kemanapun kini ia mencari, bayang Sasuke lebih pekat ketimbang memori orang mati.

Tidak ada gurat senyum atau cara jelaga Itachi memandang ke dalam maniknya di sudut memori. Tidak pula bagaimana jemari ramping pria itu pada satu waktu pernah menyentuh tubuhnya dengan malu-malu. Hanya ada sorot dalam jelaga Sasuke—yang sekalipun identik, namun mengirim sengat berbeda. Dan taut lembut deriji pria itu, yang kaku dan ragu-ragu, pada pinggangnya, punggungnya, sisi wajahnya, seluruh tubuhnya.

Lucu rasanya melihat bagaimana impresi lampau tumpang tindih di balik tempurung kepalanya. Dalam badai yang memporak-porandakan acuan bakti dimana pernikahannya kali ini bisa berdiri dan buai kebebasan dari kekangan yang ia gantungkan pada pernikahan laksana mimpi untuk bisa terbang di antara gulungan awan, kini ia kewalahan sendirian.

Sebab jikalau cinta mustahil hinggap dalam genggam tangannya, dan hati tak lebih dari tempat duka dan luka bersemayam dalam bisu, maka kepala adalah peraduan logika yang tergupuh dalam saru.

Survivor (SH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang