6

291 56 5
                                    

Sasuke selalu menganggap dirinya sebagai pribadi yang perseptif. Seseorang yang punya cukup kemampuan observasi hingga seringkali mudah beradaptasi dalam beragam situasi. Dan dengan demikian, ia tidak pernah menyangka akan berulang kali kesulitan dalam kontemplasi yang dicari sendiri. Satu yang berputar di sekitaran perangai sang istri, lagi dan lagi.

Hari telah lama berganti sejak kali terakhir ia tergagap di muka orang banyak lantaran sentuhan Hinata yang membuatnya kalap. Mentari dan rembulan berulang kali tukar posisi. Akan tetapi alih-alih bisa meraih kekang kendali diri, ia malah agaknya bertransformasi jadi cengkedi sekalipun tidak mati.

Memori hari perburuan berputar kembali di balik ingatan. Samar-samar dan tidak terlalu menyenangkan.

Perjalanan yang membosankan.

Bising percakapan.

Tingkah arogan para bangsawan.

Perburuan yang menjemukan.

Kecelakaan di tengah hutan.

Kejadian demi kejadian berlarian dan berjejalan. Tumpang tindih tanpa sempat dipilah. Ia ingat bagaimana rusa buruannya melarikan diri lantaran suara jeritan. Para aristokrat berhamburan karena seekor kuda tak bisa dikendalikan. Seorang pria terjatuh dari pelana ketika yang lainnya sibuk berteriak memanggil pengawal yang alpa.

Kekacauan, murni kekacauan.

Anak panahnya kemudian melesat, bersarang pada paha seekor kuda yang mengamuk alih-alih rusa yang gemuk. Sekalipun cukup meredam kegemparan, namun tidak cukup untuk mengendalikan kekacauan. Mendengkus gerah, busurnya lalu terlupakan. Toh, panahan tidak pernah jadi kesukaannya. Itu adalah keahlian Itachi. Sasuke tidak pernah punya cukup kesabaran dan keahlian untuk membidik tepat sasaran. Namun dengan pedang yang terhunus nyaman bak perpanjangan tangan, ia tidak punya ketakutan dan hutan berubah jadi tempat penjagalan.

Ketika pengawal datang, ringkikan yang semula menggantung di udara telah berubah jadi anyir darah yang menyebar kemana-mana.

Kasak-kusuk terjadi lagi, kali ini akibat rintihan si pria yang terjatuh dari kudanya. Ia tersungkur dalam posisi janggal, bersusah payah menarik perhatian. Sembari menyeka pedangnya, Sasuke cuma menggedikkan kepala ke arah para pengawal. Untungnya meski tanpa instruksi apalagi penjelasan terperinci, setidaknya para pengawal itu cukup sadar diri.

Pesan dikirimkan ke kastil di perbatasan dan perburuan dihentikan. Seluruh rombongan ditarik mundur kendati perburuan tak terselesaikan dan perayaan tak bisa diselenggarakan.

Dan adalah momen berikutnya yang terpatri di balik memori Sasuke tanpa bisa ditepikan berhari-hari: Hinata berlari dari pintu kastil—benar-benar berlari, dengan gaun yang di angkat rendah di satu sisi. Rambutnya yang terurai diembus angin dan bergoyang liar seiring hentak kaki. Lalu seakan tak peduli dengan situasi, wanita itu menubruknya. Tangannya bersarang pada kedua pipi Sasuke dengan posesif, memaksanya untuk membungkuk. Sementara pada wajahnya, yang kini memerah dan berpeluh, kecemasan tertoreh menyata. Jemari itu terasa panas, merambat dari pipi ke ceruk leher, bahu, hingga lengannya—menginspeksi tiap inci tubuhnya dalam naung kegilaan yang tak bisa Sasuke beri nama. Lalu pada saat yang sama, dari bibir ranum Hinata yang bergetar dan menguarkan aroma anggur dengan samar, terucap kata-kata yang lama tak ia dengar dan terus berputar tanpa bisa ditawar:

"Apa kau baik-baik saja?"

Sasuke mengetahui dan memahami banyak hal, tetapi ekspresi yang Hinata tampilkan sore itu adalah satu-satunya eksepsi. Sebuah kecuali dalam tiap-tiap hal pasti. Perkara yang mengingatkannya kepada Itachi, sesuatu yang asing namun juga akrab hingga mampu membuatnya bergeming.

Aksi Hinata bisa jadi bukan yang pertama, tetapi tetap saja tak berarti ia terbiasa. Baik itu pasukannya di medan perang, koleganya di akademi, atau bahkan kedua orang tuanya, tidak pernah ada yang menampilkan kecemasan apalagi ketakutan serupa. Hanya Itachi yang mau repot-repot peduli. Sebab bagi kebanyakan orang, siapalah ia jika bukan sebatas simbol dan sebuah nama. Putra kedua yang tidak cukup berharga—sekadar bayangan dari kakaknya yang kelewat sempurna. Tidak berarti apa-apa dan sebuah kesia-siaan belaka.

Maka dalam bisunya, mau tak mau Sasuke bertanya-tanya tentang apa yang dipikirkan sang jelita dan bagaimana kepala manis itu sesungguhnya bekerja. Seluruh kecemasan, kekhawatiran, dan ketakutan yang ia tampilkan—apakah itu perasaan spontan atau justru semata-mata kepalsuan saja?

Menghela napas dengan berat hati, Sasuke memijat pelipisnya yang kembali berdenyut nyeri. Bahkan setelah berhari-hari, tidak ada jawaban apalagi kesimpulan yang dapat ia tarik dari seluruh kontemplasi ini. Hanya gema keganjilan di dalam dada yang tak bisa tuturkan. Rasa bersalah dan kepasrahan yang tak bisa diseparasi. Secercah harapan yang tak ingin ia amini. Dan resonansi kalimat orang mati yang tak bisa ia antisipasi, "Jangan menahan diri karena orang matijika aku telah mati; sebab yang hiduplah yang harus diberi simpati."

Sosok Hinata dari sore itu kembali lagi, menghujamnya dengan kebimbangan tak terperi. Dan tahu-tahu saja Sasuke berdiri pada seutas tali—batas samar antara keyakinan dan penantian, masing-masingnya membabi buta dalam cara yang tak sama.

Survivor (SH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang