2

382 65 0
                                    

Selain fakta bahwa prosesi pernikahannya berjalan kelewat singkat dan kejujuran dalam ikrar yang ia ucapkan di atas altar mengundang kegaduhan lantaran tak seperti sumpah perkawinan kebanyakan, satu-satunya yang bisa Sasuke ingat hanyalah bibir Hinata. Sebab ketika resmi sudah mereka dinobatkan sebagai suami-istri dan sebuah ciuman diperlukan untuk memakbulkan perkawinan, bibir wanita itu adalah satu yang memaksanya untuk kembali berpijak pada realita.

Memang hanya sekelebat, tetapi Sasuke ingat betul apa yang dicecap oleh kering bibirnya. Belah lembab yang hangat, kelembutan yang dijejaki asin air mata―sisa tangis yang diredam sang dara di sepanjang upacara. Satu yang bukan berasal dari sukacita apalagi rasa bahagia, bukan pula dari kesedihan yang mengundang lara. Melainkan rasa lega, yang membebaskan sayapnya sekalipun bukan pasung di kakinya.

Meski kabur, Sasuke ingat pula bagaimana kemudian ibu jarinya menyusuri bibir mungil yang separuh basah itu. Dan ketika atensinya lantas beralih pada sepasang netra sang jelita, ia menambahkan satu lagi ikrar dalam janji pernikahan mereka meski tanpa suara.

Kepada sepasang mata yang samar bergetar meski tak gentar kepunyaan istrinya, ia menjanjikan rasa aman. Sebab cinta bisa jadi tak relevan untuk manusia seperti mereka—yang disatukan atas dasar tanggung jawab semata. Cinta adalah ketidakpastian bertabur harapan yang belum tentu bisa ia wujudkan. Dan karena ia tak mau berdusta, maka wajar bila ia menanggalkan yang demikian dari sumpah pernikahan yang ia utarakan. Sementara rasa aman, adalah kepastian yang tak perlu diganggu gugat oleh segala rupa pengandaian, hal yang dengan yakin bisa dibuat nyata tanpa harus ditanya.

Sebuah ganjaran akmal dan balasan setimpal untuk manusia yang terjebak bersama dirinya dalam ikatan yang konon tak terpatahkan—si penanggung beban; seorang korban.

Survivor (SH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang