Semenjak Papa meninggal, aku dan Mama kemudian pindah dari kota metropolitan ke desa tua, kampung halaman Mama. Mulai saat itu akupun harus bersekolah di sini, sebuah sekolahan Negeri yang terlihat biasa saja. Padahal sebelumnya aku bersekolah di sekolah swasta yang bagus. Aku melangkah gontai menuju sekolah. Aku sungguh tak bersemangat di minggu pertama sekolah, karena sampai sekarang tak ada satupun siswa yang mau menjadi temanku. Semua selalu menatapku dengan pandangan sinis.
Langkahku terhenti, lagi-lagi seorang kakek-kakek itu. Dia orang gila yang selalu berkeliaran di pagi dan sore hari. Rumahnya tak terlalu jauh dari sini. Tingkahnya aneh, dia selalu bergumam, “Ada rumah yang makan orang.” Namanya Kakek Yan, kata orang dulu dia pernah bekerja pada bangsawan Belanda. Namun kemudian dia berhenti karena semua keluarga si Bangsawan meninggal.
Aku bergidik ngeri dengan kakek yang penampilannya seram itu. Meski sudah tua sorot matanya masih tajam. Karena takut, kuputuskan untuk cari jalan memutar saja. Meskipun jarak sekolah jadi jauh, namun ini lebih baik. Jalanan memutar ini sepi sekali dan berbatu. Bahkan jarang sekali ada rumah yang terlihat hingga aku menemukan sebuah rumah yang besar bergaya Belanda.
Aku berhenti sejenak mengamati rumah itu. Besar namun tak terawat-seolah tak ada pemiliknya. Aku melihat sebuah jendela yang terbuka. Di sana ada seorang gadis yang cantik. Kelihatannya seusia denganku. Dia tersenyum padaku, lalu melambai ke arahku. Sungguh manis sekali hingga aku tak sadar telah membalas lambaian tangannya. Namun aku teringat, aku terlambat! Aku tergesa-gesa menuju sekolah, meninggalkan gadis itu dan rumah besarnya.
Benar saja aku sudah terlambat sepuluh menit. Aku dihukum berdiri di lapangan selama satu jam. Belum lagi ditertawakan oleh teman sekelas. Tidak selesai sampai di situ. Berbagai macam cobaan aku hadapi-mulai dari permen karet di kursi, rambut yang dilempar tepung, hingga kakiku diganjal saat aku berjalan hingga terjatuh.
Sungguh aku benci di sini. Aku pulang sekolah dengan sepatu yang hilang sebelah. Entah ke mana sepatuku itu, padahal aku menyimpannya di kelas, saat jam olahraga. Sekarang raib tanpa jejak. Tanpa sadar aku kembali lagi ke jalan memutar itu dan tepat di depan rumah besar itu. Aku memandang ke arah jendela tadi. Jendela itu tertutup, dia tak lagi di sana.
“Hei anak kota!” Si gendut yang terkenal badung di kelasku itu ternyata mengikutiku. Dia memegang sebuah sepatu yang ternyata sepatuku. Sementara dua temannya nampak tertawa mengejek.
“Balikin sepatu gue!”
“Atau apa?” Si gembul menantang. “Nih kubalikin.” Dia melempar jauh sepatuku hingga jatuh di halaman rumah besar yang tak terurus itu. Kemudian mereka bertiga berlari tertawa-tawa, berhasil mengerjaiku.
Aku mendengus kesal. Mau tak mau aku harus mencarinya di antara rerumputan yang tinggi ini. Sulit rasanya-tanganku sampai gatal-gatal menerobos rumput ilalang yang tinggi-tinggi. Aku mencarinya sambil menunduk, meneliti tiap inci.
Tiba-tiba aku merasa tidak sendirian di situ. Seperti ada seseorang di belakangku yang mengawasi. Suasana di sini memang sangat sepi. Bahkan tak ada orang yang berlalu-lalang di sini. Aku berbalik dan terkejut dengan apa yang kulihat. Rupanya gadis yang tadi pagi. Dia tersenyum padaku seraya menyerahkan sepatuku yang terlempar tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
°The Mystery Story°
Mystery / ThrillerWelcome to my world,Follow the rules if you want to come back to real life Don't forget to like,comment,add,and follow #19 di cerita rakyat [27/08/18] #17 di cerita rakyat [31/08/18]