Honest or honestly

314 32 1
                                    

"Kau sangat mirip dengannya,"

"Siapa?"

"Ibuku,"

Kedua lelaki itu tengah duduk santai di sisian jendela, menikmati semilir angin desa Suna. Langit telah berubah warna menjadi gelap, namun salah seorang lelaki terlihat enggan meninggalkan lelaki satunya yang kini menerawang menatap langit. Entah apa yang ia pikirkan, entah apa yang ia 'lihat', atau bagaimana ia me'lihat'nya. Apakah langit senja kekuningan, langit malam yang kelam, ataukah langit biru cerah? Hingga kini Naruto masih belum bisa membaca lelaki bersurai malam itu. Itulah mengapa ia masih ada disitu, Di ruangan bernuansa putih itu walau sebenarnya jam kepulangannya sudah lewat sejam lalu. Hari demi hari mereka lewati dengan keheningan. Dan ketika sang Uchiha bungsu mulai terbuka dengannya walau hanya sedikit, Naruto tak akan melewatkan kesempatan itu.

"Wajahnya?" kedua tangan putih itu meraba kalung berbentuk lingkaran, yang menggantung di leher lelaki di depannya. Di dalam kalung itu terdapat foto sebuah wanita paruh baya dengan rambut panjang merah tengah tersenyum ke arah kamera.

"Bukan, begitu," jawab Naruto dengan tawa tertahan. Bibirnya tak kuasa menahan senyum melihat pemuda di depannya mengamati kalung yang tengah dipakainya walau ia sendiri tahu bahwa Sasuke tak dapat melihatnya, "Hanya saja keadaan kalian sama," lanjutnya.

"Ibumu tidak bisa melihat?" tanya Sasuke berusaha sehalus mungkin. Sepasang kelopak mata itu menutup ketika jari telunjuk Naruto mengoleskan obat yang terasa dingin di kulitnya

"Dia bisa. Namun memilih untuk tidak melihat," ucapnya pelan. Kedua mata biru jernihnya menatap pahatan indah yang terpajang begitu dekat di depan wajahnya. Nafas beraroma mint segar menerpa kulit tan nya setiap kali hidung bangir itu bernafas, membuat Naruto nyaris lepas kendali.

Sasuke diam. Kalimat ambigu Naruto membuatnya penasaran, namun di lain pihak ia juga tidak ingin melewati batas privasi orang lain. Terutama orang yang belum lama dikenalnya.

Naruto tersenyum melihat kernyitan di antara kedua alis Sasuke, "Dia menjahit kedua matanya," jawaban Naruto membuat tubuh Sasuke menegang. Air mukanya tak kuasa menahan ekspresi ngeri membayangkan rasa sakit yang dirasakan Ibu Naruto, "Kaa-san bilang , tidak ada hal bagus di dunia ini yang bisa ia lihat,"

"Dia bisa melihatmu,"

Naruto menggelengkan kepalanya lemah, "Aku bukan bagian dari dunia sempurna yang ia harapkan,"

"Dunia sempurna?" tanya Sasuke bingung.

"Ayahku adalah seorang pemabuk. Pulang ke rumah hanya untuk melampiaskan emosi atas kegagalannya, namun pada orang yang salah. Sampai akhirnya laki-laki itu tidak pernah pulang. Kaa-san melihatnya pergi, bersama wanita lain. Wanita muda dengan segala pesona mereka," tangan kasar Naruto menggenggam lengan dingin lelaki didepannya, meremasnya pelan namun tak menyakiti.

"Bukankah itu bagus? Ibumu tak akan disakiti lagi,"

"Ya, awalnya itu yang kupikirkan. Namun saat aku melihat Kaa-san dengan mata yang hancur, aku tahu bahwa laki-laki itu adalah dunianya-" mata biru itu terpejam beberapa saat sebelum terbuka kembali. Seandainya Sasuke dapat melihat tatapan penuh tekad didepannya, "-jika aku bukan bagian dari dunianya. Maka aku sendiri yang akan menciptakan dunia itu untuknya,"

...

"Sasu!" baru saja ia masuk, namun pemandangan tak mengenakkan langsung menyapa kedua matanya. Naruto dengan sigap menopang tubuh yang terduduk lemas di lantai itu dan menuntunnya untuk duduk di atas sofa. Ia menatap miris kedua telapak tangan Sasuke yang berdarah akibat luka terbuka. Surai kelamnya terlihat acak-acakan dan kedua matanya terlihat sembab.

Red FlagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang