Mata

288 30 7
                                    

Author Notes:

Btw-btw kalau ada yang mau tau ini cerita berasal (alias nge jiplak wkwk) dengan cuma sedikiiiiit banget perubahan, dari film judulnya Sightless. Jadi kalau ada yang mau nonton tanpa kena spoiler silahkan tonton dulu sebelum baca. kalau gapeduli spoiler atau nggak niat nonton, ya...silahkan lanjut. Akhir kata selamat membaca :)

---

Mata

Mata. Semua berasal dari mata. Orang tidak akan menginginkan sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Entah melihatnya secara langsung, maupun melalui presepsi.

Kaki jenjang wanita itu berhenti ketika ia sampai di dalam sebuah kamar. Kamar yang ia huni selama bertahun-tahun. Ia membenci tempat itu, ia muak, tapi di sisi lain ia tidak bisa lari. Tidak bisa atau tidak ingin? Entahlah ia sendiri juga tidak paham. Yang ia tahu, dirinya akan selalu kembali ke tenpat ini. Rumah.

Satu demi satu wanita itu melepaskan tampilan glamor yang melekat di tubuhnya. Ia hapus semua makeup yang menempel di wajahnya dan menggantinya dengan jubah tidur usang yang sudah tidak layak pakai. Seakan sudah terbiasa, ia membawa tubuhnya untuk duduk diatas ranjang. Ia menajamkan telinganya sembari menatap pintu kayu yang saat ini tengah tertutup. Begitu ia mendengar suara langkah kaki mendekat, dengan sigap wanita itu mematikan lampu dan menutup kedua matanya dengan sehelai kain.

Tok- tok-

"Masuk," ucap wanita itu dengan nada lembut.

"Apa yang kau katakan pada Sasuke?" nada itu terdengar marah.

"Tidak ada-"

"Bohong!" gertaknya. Tangan kekar berbalut kulit tan itu mencengkeram kerah dari gaun tidur sang wanita.

Wanita itu tercekik. Namun ia sudah terbiasa. Dengan suara tercekat ia berbicara "Apa begitu caramu berbicara dengan ibumu?"

...

Plak

Tamparan keras itu membuat tubuh sang gadis kecil gemetar ketakutan. Ia menatap wajah dingin di depannya, ekspresi bocah lelaki itu mengeras diiringi suara tamparan lain yang tak kalah nyaring.

"Maaf..." lirihnya.

Tangan kanan si bocah lelaki terulur, mencengkeram dagu gadis kecil didepannya dengan cukup kuat. Membuat sang gadis merintih kesakitan, "Kau tahu? Aku sangat membenci kedua matamu," ucapnya dingin.

Dengan tenaga yang tersisa, tangan mungil sang gadis meraba-raba tembok. Begitu telapak tangannya merasakan benda berbentuk kotak yang menempel pada tembok, ia langsung menekannya. Lampu padam, seiring dengan cengkeraman di dagunya yang kian melemah. Dengan cepat gadis itu mengambil kain yang tergeletak tak jauh dari tubuhnya dan mengikatnya di kepala, menutupi kedua matanya.

"Kaa-san?" seakan dua orang yang berbeda, bocah lelaki itu kini menuntun tubuh mungilnya dengan lembut, "Kenapa kau ada di lantai? Tou-san memukulmu lagi?" rintihnya dengan nada sedih.

"Tidak apa-apa," ia sudah terlatih. Ibunya seorang wanita yang penuh kepura-puraan, dan sepertinya hal itu mengalir di dalam darahnya. Menirukan suara wanita dewasa, lemah, dan sakit-sakitan bukanlah hal yang sulit baginya.

Kedua tangan itu menuntun sang gadis kecil untuk kembali berbaring diatas tempat tidur. Kedua matanya tak dapat melihat dengan jelas. Namun samar-samar, dibalik kain putih yang membalut kedua matanya, ia melihat senyum tulus yang bocah itu arahkan padanya. Senyum penuh sayang, penuh empati, dan bodohnya ia merasa terlindungi. Setidaknya untuk saat itu.

"Ah- aku membawakanmu ini," ucapnya seraya meletakkan sebuah benda berbentuk bulat di atas pangkuan sang gadis. Dibalik kain gadis itu mengernyitkan dahinya. Tangan-tangan kecilnya menelusuri benda di pangkuannya dengan perasaan heran. Bulat, kaca...air? Namun tangannya langsung ia tarik kembali ketika merasakan pergerakkan di dalam air tersebut, "Kau tahu? Aku merasa tidak tega meninggalkanmu sendirian saat aku harus bekerja," ucapnya penuh perhatian.

Red FlagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang