Yamanaka

266 31 0
                                    

Rambut kuning yang sama, hanya saja lebih pucat. Mata biru yang sama, dan lagi-lagi miliknya lebih pucat. Serupa namun tak sama. Itulah hal pertama yang muncul di pikiran gadis cilik itu ketika melihat seorang lelaki dewasa yang kian hari makin sering muncul di rumahnya setiap malam. Ibunya yang membawanya, wanita yang bahkan tak ingin ia sebut namanya. Lelaki itu tersenyum ke arahnya lalu langsung masuk ke dalam kamar ibunya, tak pernah ada percakapan diantara mereka. Aneh, itulah yang ia pikirkan. Biasanya sang ibu pulang membawa lelaki yang berbeda tiap malam, lalu esoknya ia mendapati hidangan lezat yang tersaji di atas meja. Namun tidak dengan paman ini. Setiap kunjungannya tidak pernah menghasilkan apapun baginya. Tubuh mereka semakin kurus setiap harinya, namun entah bagaimana lengkungan di bibir ibunya semakin lebar. Dan Ino memiliki firasat buruk tentang ini.

Bagaikan déjà vu, samar-samar Ino mendengar suara dari lantai bawah. Suara ibunya dan yang tengah berbicara dengan seseorang. Gadis cilik itu mengintip dari tikungan tangga lantai kamarnya dan melihat paman dengan rambut kuning cerah tengah tersenyum menatap sang ibu. Wanita itu menggenggam sebuah koper besar yang entah mengapa dapat ia tebak apa isinya. Ya, déjà vu. Kejadian ini pernah terjadi. Malam dimana ibunya membangunkannya pada tengah malam dan berencana kabur dari rumah ayahnya. Namun tampaknya sang ibu tak berniat untuk membangunkannya kali ini. Ia tidak ada dalam rencana ibunya.

Ino menangis. Bulir-bulir air menetes semakin deras ketika sang ibu menolak untuk menggenggam tangannya. Ia berteriak, berjanji untuk menuruti kemauan ibunya, berjanji untuk tidak nakal. Namun semua sia-sia. Teriakan seraknya di malam yang dingin itu bahkan tak di gurbisnya. Para tetangga mendengarnya, mereka melihat kejadian itu lewat jendela rumah. Hanya ada bisikan-bisikan bernada kasihan yang berdengung di jalanan sepi desa Suna tersebut. Namun tak ada satupun yang muncul untuk menolongnya. Dengan langkah yang semakin menjauh, untuk pertama kalinya gadis kecil itu mendengar ibunya menyebut nama lelaki yang telah menghancurkan hidupnya.

"Ayo pergi Minato-san,"

...

"Yamanaka-san?" pupil kelam itu melebar ketika mendengar suara familiar yang tengah tertawa bahagia di depannya. Kedua tangannya otomatis menyisir surai-surai rambutnya agar terlihat lebih rapi. Sejujurnya Sasuke adalah penggemar berat penyanyi terkenal didepannya. Tentu saja ia merasa grogi jika harus berhadapan langsung seperti ini. Entah ia harus bersyukur atau mengutuk Naruto karena tidak memberitahu siapa yang akan bertamu hari ini. Ngomong-ngomong soal Naruto, dimana perawat cerewetnya itu?

"Kau tidak harus merasa canggung seperti itu Sasuke-kun. Ini bukan pertama kalinya kita bertemu," ucap perempuan itu tertawa kecil melihat kecanggungan lelaki didepannya, "Bagaimana? Kau betah berada disini?"

Senyum Sasuke memudar mendengar pertanyaan wanita itu, "Kau tahu tempat apa ini?" tanyanya.

"Rumah," jawabnya Ino. Yang entah mengapa terdengar lebih sendu dari pada sebelumnya.

"Lebih mirip kurungan bagiku," bisik Sasuke. Entah mengapa suara menenangkan wanita didepannya membuatnya dapat lebih terbuka daripada ketika ia bersama Naruto. Lagipula Naruto pernah berbohong padanya kan? "Entah apa yang kulakukan sehingga mereka harus mengurungku seperti ini?" ucapnya sinis lebih kepada diri sendiri.

"Mereka?" wanita berambut pucat itu menatap Sasuke dalam, "Mereka mencintaimu,"

Sasuke mendongakkan kepalanya cepat. Terkejut bukan main dengan jawaban sang selebriti, "Kau membuatku kaget Yamanaka-san," memilih untuk menganggap bahwa yang dikatakannya hanyalah lelucon, Sasuke memilih untuk tertawa kecil.

"Kau salah satu pemain musik favoritku Sasuke-kun," ucap Ino. Kedua tangannya menuntun Sasuke untuk duduk di atas sofa semetara dirinya berlutut di hadapannya.

Red FlagTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang