🔞
***
Mungkin datang ke lelang amal ini sama sekali bukan ide buruk. Masih lebih baik ketimbang harus mendekam di rumah dan melihat kedua orang tuanya bermesraan setiap saat—bayangan Papa dengan boxer polkadot gambar wajah Mama masih sangat menghantuinya. Jadi, keputusannya untuk memenuhi permintaan Oma datang ke acara ini sudah sangat tepat.
Sergi berusaha bersikap setenang mungkin saat melepaskan kancing jas dan mengambil kursi di samping Dani. Ia tahu sepasang mata indah itu tengah melekatkan pandangan pada setiap gerakannya.
"Sayangnya, malam ini mereka nggak menyajikan makanan," bisik Sergi. "Makanan dianggap menganggu konsentrasi peserta lelang. Mereka menghindari kemungkinan pelelang sakit perut dan ke toilet selama acara berlangsung."
"Serius?" Kedua mata Dani menyipit dengan gestur pura-pura kaget. Lalu kepalanya mengedar mengamati sekeliling. "Semua orang di sini mengenakan dress code putih. Cuma aku yang pakai hitam. Oma Ratih nakal."
Sergi menahan senyum. Karena hitam adalah warna kesukaannya. Tapi bukan hanya karena itu ia tersenyum. Fakta bahwa Dani tahu Oma sudah sengaja merancang pertemuan mereka dan ia masih saja memenuhi keinginan Oma, bahkan repot-repot memikirkan dress code, membuat hati Sergi berbunga-bunga dengan cara yang sangat kurang ajar.
Udah. Jangan kesenengan dulu. Pinta hatinya yang masih waras. Mungkin dia cuma lagi suntuk di rumah. Mata dijaga. Sergi segera mengalihkan matanya ke tempat lain selain Dani.
"Cersa."
"Hmm?" Sergi menoleh lagi.
Dani menyentuh anting drop earring dengan tiga bandul permata kecil yang menjuntai di telinganya. "Cersa." Senyuman itu merebak.
"Oh." Napas Sergi menghela panjang tanpa dikomandoi. Senyuman Dani kali ini membuatnya enggan untuk berpaling.
"Aku beli anting ini waktu kuliah. Mahal banget, waktu itu aku inget lagi jalan-jalan ke mal sama Nia, sahabat aku, dan ngeliat ini di toko Cersa terus langsung naksir. Aku bilang sama Nia, aku bakal nabung dan rela nggak beli skin care lagi buat dapetin ini."
Sergi mengerjap pelan. "Cantik." Dan juga wangi. Biasanya Dani beraroma lembut seperti sabun mandi, tapi malam ini ia beraroma parfum sensual yang membuatnya makin sulit bersikap normal.
Ia tahu dirinya bukan satu-satunya yang mengagumi penampilan Dani. Ekor matanya menangkap beberapa kepala di meja seberang sana yang menoleh terang-terangan ke meja mereka, mengamati Dani dengan tatapan lapar.
Mungkin pada wajah cantiknya yang segar, atau dress code hitamnya yang beda sendiri di tengah lautan manusia berbusana putih, atau potongan gaun backless-nya yang mempertontonkan kemulusan kulit punggungnya hingga ke pinggang—sialan, atau belahan dadanya yang terlampau rendah, atau potongan samping gaunnya yang terbuka di bagian paha, atau heels hitam tingginya yang pas di kaki jenjang itu—
Sergi mengambil gelas wine dan menyesap sedikit untuk membersihkan tenggorokannya yang tercekat.
"Kamu yakin nggak ada zuppa soup di sini?"
"Ya." Sergi berdeham. "Nanti aku cariin tempat yang jualan zuppa soup."
"Bagus. Hari ini hari Sabtu, pasti banyak wedding yang bisa kita masuki."
Sergi berancang-ancang melepaskan jasnya. "Kamu mau pakai jas aku?"
"Enggak. Thanks." Dani menggeleng dengan satu kibasan tangan. "Aku lebih suka buka-bukaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog (lanjutan I Don't Love You Anymore)
Romance"Paham, kan? Kamu cuma alat yang aku pakai untuk lari dari kenyataan. Untuk melupakan."