Dress Code

15.6K 3.5K 1K
                                    

Semua wajah berpaling dan semua mata memandang, ketika Brama membantu Oma duduk di kursi kebesarannya dengan sedikit kesusahan. Suasana di ruang rapat seketika itu menegang, sunyi senyap bagai jamuan makan bersama malaikat maut.

"Tentunya kalian sudah tahu, alasan Ibu mengumpulkan kalian semua di sini." Oma memandangi semua anak serta menantu. Abdi dengan Iris di sisi kanannya, Surya dan Amel di sisi kiri, serta Putra dan Anisa di depan sana. "Sengaja, Ibu nggak meminta anak-anak hadir, karena ini hanya pertemuan untuk orang dewasa—atau setidaknya itulah pandangan Ibu tentang kalian: orang dewasa."

Anisa, istri Putera, diam-diam mengembus napas kesal. Sial. Ini urusan Iris dan Amel, kenapa dia ikut diseret-seret? Padahal sejam lagi dia harus pergi arisan.

"Jadi, mari kita selesaikan saja semua permasalahan ini dengan dewasa." Oma memutar kepalanya menghadap Iris. "Iris, ada yang mau kamu sampaikan?"

Amel memandang tidak senang. Mentang-mentang Iris istri putra sulung Adikara, dia duluan yang diminta bicara. Padahal secara umur, ia jauh lebih senior dibanding Iris.

"Banyak." Iris mengangkat dagu menantang meja seberang, tempat Surya dan Amel. "Saya nggak senang kalau setiap kali Francis bikin ulah, selalu Moses yang harus minta maaf."

"Loh, loh, loh?" Intonasi Amel meninggi. "Nggak denger penjelasan Francis kemaren? Jelas-jelas si Sergi duluan yang bikin masalah. Dia yang mempermalukan Cersa di depan Felipe Huang."

"Mempermalukan gimana?! Felipe Huang merendahkan Cersa dan wajar aja kalau Sergi marah!"

"Intinya, Sergi itu nggak bisa profesional, nggak ngerti cara negosiasi, makanya semua kerja keras Francis hancur berantakan. Ya toh, Bu?" Amel memandangi Oma.

Oma masih duduk mematung.

"Terserah elo mau ngebacot apa—" tukas Iris.

"Heh! Yang sopan ya kalau ngomong! Aku ini lebih tua dari kamu loh!" Amel mulai menuding dengan jari.

"Aku kakak ipar kamu!" Iris menghentakkan meja dengan telapak tangannya, membuat Brama meloncat kaget di belakang kursi Oma. "Jangan potong ucapan aku!"

"Emangnya situ mau ngomong apa, hah?!"

"Dari dulu aku selalu bertanya-tanya sebenarnya seperti apa cara kalian mendidik Francis. Anak kalian sombong, tukang bully, nggak tau sopan santun, nggak tahu hormat—"

"Eh eeeh, situ jangan ngomong sembarangan ya!" Amel naik pitam. "Ngaca dong! Sendirinya putus sekolah gara-gara hamil—"

"Nggak ada hubungannya, Goblok!"

"Heh! Elo panggil gue apa?!"

Anisa, di ujung meja sana, diam-diam menggigit bibir menahan tawa. Bagus. Ayo ribut lagi. Aku cinta keributan. Siapa bilang arisan lebih seru?

"Jangan kalian pikir aku sudah lupa kejadian delapan belas tahun lalu!" teriak Iris tak terkendali. "Sampai detik ini aku masih nunggu Francis minta maaf ke Moses. Terus, mana, hmm? Mana? Anak itu bahkan nggak punya rasa bersalah sedikit pun. Ngeliat dari orang tuanya yang model setan begini, aku nggak heran!"

"Jadi ini judulnya Mengungkit Masa Lalu? Heh, Iris! Mau sampe kapan kamu nyalahin Francis? Udah dibilang berkali-kali kalau Francis nggak terlibat dalam kejadian itu. Dia sibuk belajar di perpustakaan, dia punya alibi kuat, dan terbukti, kan? Sergilah yang bikin kebakaran itu!"

"Kalau bukan karena Francis yang menghasut anak-anak brengsek itu, mereka nggak akan merudung Moses!"

"Kok Francis lagi, sih? Bilang aja kamu sirik sama anak aku."

Epilog (lanjutan I Don't Love You Anymore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang