Alat Melupakan

16.6K 3.4K 927
                                    

Mama mendorong pintu kamar tamu dengan hati-hati, lalu terkejut melihat anak semata wayangnya sudah berada di sana menghadap tempat tidur dengan setelan pakaian tidur. Bik Ijah baru saja selesai memasang seprai baru, dan Sergi tak lupa mengucapkan terima kasih kepadanya.

"Ada angin apa, anak Mama tahu-tahu pajamas party di sini?"

Sergi menoleh dengan penuh rasa bersalah. Sudah pukul sebelas malam, dan ia masih saja membangunkan ibunya dengan suara-suara berisik. "Aku boleh nginep di sini, Ma?"

"Tentu. Ini memang kamar kamu." Mama menutup pintu kamar setelah Bik Ijah pergi, lalu mendatangi Sergi dan duduk di tepi tempat tidur bersamanya.

Melihat Sergi dewasa menempati kamar ini rasanya sedikit aneh. Kamar ini seakan tersulap jadi kecil akibat keberadaan figurnya yang tinggi besar. Sudah sejak kuliah di Sydney, Sergi meninggalkan rumah ini, kemudian sejak lulus kuliah Sergi memutuskan untuk hidup mandiri di apartemennya sendiri.

Setelah itu Mama merenovasi kamar ini dan menjadikan ruang baca. Itulah sebabnya yang tersisa hanya tempat tidur, sementara meja belajar dan lemari pakaian bekas Sergi sudah tidak ada.

"Anak Mama kenapa?" Mama berbaring di sebelah Sergi dan meletakkan kepalanya di dada bidang itu. "Moses kenapa?"

Moses adalah nama pemberian Mama untuk bayi kecil yang dikandungnya saat duduk di bangku kelas 12. Pria brengsek yang menghamilinya adalah teman sekelasnya yang menolak untuk bertanggung jawab. Kehamilan di luar rencana ini membuat hidupnya terombang-ambing; kedua orang tua Mama bertengkar hebat lalu bercerai, dan Mama terpaksa meninggalkan sekolah.

Nama Moses berarti penyelamat—sebagaimana Mama berharap sang bayi akan menyelamatkannya dari keterpurukan mentalnya sendiri. Dan harapannya menjadi nyata, bayi itu memang penyelamat kecilnya.

Mama tidak bisa lebih bahagia lagi begitu Moses terlahir dalam hidupnya. Anak itu sangat baik, kalem, dan terkadang memiliki pemikiran yang jauh lebih dewasa dari anak seumurannya. Moses tidak pernah menuntut apa-apa, dia seakan mengerti kesulitan Mama sebagai orang tua tunggal, dan jarang menyusahkannya. Moses bahkan tidak pernah merengek manja setiap kali Mama terpaksa menitipkannya pada Eyang demi melanjutkan kuliah.

Semua orang bertanya-tanya apa rahasianya memiliki anak sebaik itu. Mama sendiri tidak tahu. Moses hanya ... ya, Moses.

Setelah penyelamat kecil hadir, hidup seakan tidak berhenti memberikan kebaikan kepada Mama, kali itu berupa penyelamat lain bernama Abdi Adikara. Pria yang lebih tua sebelas tahun darinya itu ditemuinya saat bekerja sebagai asisten suster di klinik. Si tua-tua keladi—demikian Mama memanggilnya dulu—saat itu menderita patah kaki sehabis bermain tenis, dan memiliki phobia akut terhadap jarum suntik. Abdi Adikara dengan sikap kekanak-kanakan yang tidak sesuai umur itu, harus memeluk tubuhnya erat-erat sambil menangis saat dimasuki jarum infus.

Abdi Adikara mulai mendekatinya selama tiga hari masa rawat. Dan tidak sulit bagi Mama untuk jatuh cinta kepadanya, terlebih karena kehadiran laki-laki itu memberi makna tersendiri dalam hidup Moses yang mendambakan figur ayah.

Setelah menikah, Mama memberi kehormatan kepada sang suami untuk memberi nama depan bagi Moses di kartu keluarga mereka. Jadilah Sergio Moses Adikara. Hidup memang teramat baik padanya, ia bukan hanya diberi kesempatan untuk bangkit dari keterpurukan masa lalunya, tapi juga diberi kesempatan untuk merasakan cinta yang melengkapi ruang-ruang kosong dalam hidupnya.

"Masalah Lana, ya?" Mama meninggalkan tubuh Sergi dan menahan satu sisi kepalanya dengan tangan, dipandanginya sang putra semata wayang. "Kamu tahu-tahu menginap di sini, pasti bukan karena ada Om Brama di apartemen kamu, kan? Kamu dan Om Brama kan bestie."

Epilog (lanjutan I Don't Love You Anymore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang