"Ya, Bu, kerjaan tiba-tiba numpuk dan aku nggak bisa pulang. Malam ini aku langsung pulang ke kontrakan aja. Iya. Enggak, aku nggak pa-pa kok. Nggak capek. Emang lagi rame aja di Primrose. Iya. Aku nggak lupa makan. Oke. Dah, Ibu."
Hubungan telepon dimatikan, begitu pun senyuman Dani. Didekapnya ponsel itu dengan lamunan penuh rasa bersalah. Entah sudah berapa kali ia harus mengarang seperti ini hanya untuk menghindari pulang ke rumah—tempat yang dulu selalu menjadi oasenya.
Ia membenci dirinya seperti ini. Ia benci membayangkan Ibu membereskan piring-piring makan karena dirinya tidak pulang. Tapi ia juga benci, pada perasaan sakit yang selalu mengerogotinya setiap kali singgah di tempat itu. Pada setiap benda dan sudut yang hanya mengingatkannya pada arti sebuah kehilangan.
"Dani?" Pintu VIP ruang karaoke terbuka, Firda melongokkan kepala menemukannya. "Ngapain sih? Lama bener."
Dani segera menyimpan ponselnya.
Sekitar delapan staf Primrose tengah beradu nyanyi di ruang VIP karaoke saat itu. Suara fals ditemani dentuman musik dan tawa kencang menyambut Dani saat ia kembali bergabung dengan mereka.
Dani duduk di sofa panjang yang kosong, satu tangannya menggosok tengkuk. Belakangan hari ini tubuhnya merasa lelah luar biasa.
Risjad langsung meletakkan micnya untuk duduk di samping Dani. "Dan, jadi nggak nih? Singapur, Dan, Singapuuuurrr. Ayolah, nggak ada lo nggak rame."
"Biasanya juga enggak ada gue." Dani membuka kaleng Coca Cola-nya sambil memandangi semua orang yang masih bernyanyi di depan layar TV besar.
"GO EEEEEEEEE~ASY ON ME, BEIBIII~ I WAS STILL A CHILD, DIDN'T A GET CHANCE TO FEEEEEEEEEEEEL~ THE WORLD AROUND ME."
"Jarang-jarang Bu Retno kasih kita trip gratis kayak gini. Yuk, Dan. Tenang aja. Gue traktir lo belanja di sana. Semua gue bayarin." Risjad memasang semringah lebar.
Dani menoleh padanya. "Kayaknya gue belom sekere itu."
"Ngerti, Dan, cuma kan gue mau banget bayar lo shopping. Belanjain lo macem-macem. Itu mah kecil."
"Habis itu, gue harus balas budi dengan apa?"
Senyuman Risjad merekah canggung. Tentu saja jawabannya sudah jelas. "Dan, kenapa sih dari dulu elo betah banget ngejomblo? Milih-milih, ya?" Lalu terkekeh.
"Enggak, sih. Gue murahan banget, malah."
"Jadian aja sama gue. Dijamin bahagia lahir batin," Risjad menepuk punggungnya sok akrab. "Ngejomblo itu nggak enak, Dan. Apa-apa sendiri. Nggak ada yang belanjain elo, nggak ada bilang good night—"
"Gue bisa bilang good night ke diri gue sendiri."
"Bukan itu maksud gue. Sendiri itu nggak enak, Dan, elo harus buka diri untuk orang lain. Kalau lo minat, gue siap banget jadi pacar lo. Jangan kelamaan mikir, nanti nyesel."
Dani tidak menjawab, dan untungnya pria itu juga tidak melanjutkan karena salah satu teman mereka sudah memanggilnya untuk kembali bernyanyi.
Risjad segera berhambur ke depan.
"GO EEEEEEEEE~ASY ON ME, BEIBEEE~"
Dani menyambar kaleng bir Risjad yang belum dibuka. Dikocoknya benda itu dengan santai berulang kali, berlama-lama, lalu meletakkannya kembali ke atas meja.
Sebuah pesan masuk ke ponsel. Dani membuka layarnya dan mengerut kening bingung. Nomornya tidak dikenal.
Ardi, surat2 Ibu Ratih besok jangan lupa dikirim untuk diminta tanda tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog (lanjutan I Don't Love You Anymore)
Romance"Paham, kan? Kamu cuma alat yang aku pakai untuk lari dari kenyataan. Untuk melupakan."