"Idih?! Leher lo kenapa, Dan?" Vina memekik ngeri melihat plester besar yang menempel di sisi kiri leher Dani.
Wajah Nia dan Felis langsung mendekati layar untuk ikut-ikutan mengamati leher Dani.
"Lah iya, Dan, leher lo kenapa?" selidik Nia.
"Cuma kena piso," jawab Dani asal. "Nggak hati-hati waktu motong buah."
Vina mengernyit. "Jadi kamsud lo, lo motong buah, misalnya semangka, dan leher lo dipakai sebagai talenan? Gitu?"
Giliran Felis angkat suara dengan bibir mencibir. "Palingan juga diisep sama Temen Baik."
"Ahaiii," Vina menyeringai. "Best friend."
"Temen kimpoi."
"Temen icip-icip."
"Temen becek-becekkan."
"Aaakhhh~ nikmat ...."
"Jangan berhenti, Sayaaaang~"
"Harder, baby ... I'm coming." Vina membuat gerakan menyeruduk.
"Kamu sudah sangat basah, sayaaaangg~" Felis menambahkan.
"Kue, kali. Basah," Nia menggeleng-geleng dengan semburan tawa keras. "Sial! Gue ngakak kenceng sampe bayi gue kebangun."
"Untung bukan tongkatnya Adam yang kebangun."
Semua peserta video call massal itu tertawa kecuali Dani. Sedari tadi ia hanya diam membiarkan ketiga sahabatnya berhalusinasi.
"Tapi gue seneng, Dan, liat lo begini," ujar Nia sambil menggendong bayinya yang menangis.
"Begini gimana?"
"Lebih seger aja kayaknya. Lebih—"
"Jadi biasanya gue kuyu?" Dani pura-pura kesal.
"Enggak. Tapi lebih ...." Nia kesulitan mencari kata.
Felis langsung menyambar. "Lebih keliatan nggak berusaha keras pura-pura ceria padahal sebenernya nyimpen banyak pikiran."
"Ho oh. Felis bener. Kelihatan kok, Dan, dari mata lo," sambung Nia. "Meskipun penyakit bengong lo itu masih sama, masih suka melamun nggak tau ke mana, tapi kali ini lamunan lo kayak ... kayak nggak terlalu awan mendung lagi."
"Kayak melamun happy gitu ya, Ni?"
"Ck! Intinya, sahabat kita ini terlihat beda karena lagi horny." Vina tertawa mengikik.
Jarum jam menunjukkan pukul enam kurang sepuluh menit, saat Dani yakin seyakin-yakinnya bahwa ia mendengar deru halus mesin mobil dari luar rumah. Ya. Setajam itu telinganya, padahal ia mendekam di dalam kamar tidur. Atau mungkin karena ia memang sengaja memasang telinga dan membuka sedikit pintu.
Dani beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju ruang tamu. Dugaannya benar. Mobil SUV itu baru saja diparkir di depan pagar.
"Semuanya, gue cabut dulu ya. Bye."
"Heh! Mau ke mana lo!"
"Hmmmm. Mau motong buah lagi dia."
"Ahaiiii!"
"Aseeekkk~"Begitu mematikan ponsel, kedua kaki Dani bergegas meninggalkan ruang tamu untuk berlari menyongsong Sergi.
Astaga, dugaannya benar, sambil tersengal-sengal membuka kunci gembok rumah, Dani memandang ngeri pada penampilan serta barang bawaan Sergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog (lanjutan I Don't Love You Anymore)
Romance"Paham, kan? Kamu cuma alat yang aku pakai untuk lari dari kenyataan. Untuk melupakan."