Hal pertama yang dilakukan Dani begitu membuka matanya, adalah melirik jam dinding di depan sana. Sinar terik matahari menembus gorden jendelanya, menyorot pada jarum jam satu siang. Kemarin ia ingat ia berbaring sebelum pukul delapan malam ... jadi ia tidur hampir tujuh belas jam?!
Dani menggerakkan kepalanya yang terasa berat, lalu sadar ada yang salah. Tubuhnya terbaring rapi model terlentang, bukan tengkurap. Ada selimut menutupi setengah badannya. Kemudian saat ia menoleh ke samping, ada sebaskom air yang diletakkan di atas bangku pinggir tempat tidur. Tak lupa, segulung handuk basah menempel di keningnya.
Ia menyingkirkan handuk itu, dan segera turun dari tempat tidur sambil tak lupa mengenakan sendal rumahannya.
Aroma aneh menyeruak begitu ia membuka pintu kamar. Dugaannya benar, seseorang sedang memasak sesuatu di dapur, dan seseorang itu sudah pasti Sergi.
Dani menyeret kedua kakinya menuju dapur yang tak jauh dari kamar tidur. Sergi yang tidak menyadari kedatangannya, masih sibuk memunggunginya memasak entah apa di belakang kompor.
Sambil menyeret kursi meja makan dan duduk di sana, Dani melayangkan tatapannya ke sofa di samping pintu masuk, ada setelan jas rapi dan dasi yang disampirkan di lengan sofa.
"Kamu tidur di sini dari kemarin?"
Sergi menoleh kaget. Dani lebih kaget. Ia tidak pernah melihat si Adikara ini berantakan setengah mampus. Lengan kemeja digulung hingga siku, lipatan kemeja yang kusut, rambut wavy awut-awutan, serta noda-noda cipratan entah apa yang mengotori bagian depan kemejanya.
Selama kebersamaan mereka yang singkat dan cukup absurd itu, Dani tidak ingat kapan Sergi pernah terlihat sekacau ini.
"Kamu tidur di sini dari kemarin?" tanyanya ulang. Ingin rasanya ia menepis semua rasa janggal ini, menolak keinginan dirinya untuk tersenyum saat membayangkan semuanya.
"Kamu nggak kunci pintu, jadi aku masuk." Sergi menurunkan spatula. "Udah merasa lebih enak? Yang di atas meja itu obat kamu. Habis makan bubur, minum obat dan istirahat lagi."
Dani melirik sebungkus obat racik yang sudah disiapkan di atas meja.
"Aku juga sudah telepon ke Primrose—"
"Buat apa?"
"Izin sakit buat kamu." Sergi kembali mengaduk sesuatu di panci. Bahasa tubuhnya yang serba canggung menunjukkan ia sendiri tidak tahu apa yang ia lakukan. Barangkali pengalaman pertamanya di dapur.
"Maksud pertanyaan aku, buat apa kamu melakukan semua ini?"
Sergi mematikan kompor, tidak menjawab. Kemudian mengambil mangkuk dan menuangkan sesuatu seperti adonan atau muntahan ke atas sana. Asap mengepul, begitu pria itu berbalik dan meletakkan mangkuk bubur masakannya ke atas meja.
Dani belum pernah melihat bubur semeriah ini. Mungkin Sergi memasukkan segala macam bahan-bahan ke sana: hijau dari brokoli, merah dari wortel, kuning dari jagung, dan oranye dari telur, untung saja tidak ada biru.
"Aku nggak pernah masak." Sergi berdiri di depan meja dengan sekujur tubuh berantakan dan wajah khawatir. "Semoga enak."
"Ada teknologi canggih di zaman kita, namanya aplikasi pesan makanan online."
"Tapi aku baca dari Google, orang sakit nggak boleh makan yang ber-MSG."
Mata Dani menyapu penampakan bubur pelangi tidak mengandung MSG itu, tanpa repot-repot mengambil sendok yang telah disiapkan Sergi. Ia ingin bertahan pada tekadnya, bahwa kenyamanan yang ditawarkan pria itu terlalu berbahaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epilog (lanjutan I Don't Love You Anymore)
Romansa"Paham, kan? Kamu cuma alat yang aku pakai untuk lari dari kenyataan. Untuk melupakan."