Chapter 11

439 49 0
                                    

Beberapa minggu lalu para murid sibuk mempersiapkan diri untuk menghadapi Penilaian Tengah Semester yang akan dilaksanakan dua minggu mendatang. Beberapa di antara mereka mengikuti bimbingan belajar, ada juga yang fokus belajar mandiri di rumah.

Sementara itu, Altea dan Tezza, dua remaja yang akan tampil di acara pentas seni yang diselenggarakan setelah PTS memanfaatkan waktu berlatih mereka dengan ditambah belajar bersama. Walaupun berbeda jurusan, di mata pelajaran yang keduanya pelajari, mereka akan membantu satu sama lain. Lebih tepatnya Altea yang merasa diuntungkan dengan adanya Tezza, si jenius.

Lalu, pekan ini adalah waktu dimana mereka tampil. Altea dan Tezza sudah menghubungi panitia mengenai lagu yang akan ditampilkan sekaligus berdiskusi tentang tata panggung dan busana yang akan dipakai. Busana yang akan dipakai untuk tampil bisa menyewa dari stylist yang dipanggil panitia atau memakai pakaian pribadi. Tentu saja mereka milih opsi kedua.

Pentas seni tahun ini sangatlah meriah. Meskipun sibuk belajar untuk menghadapi Penilaian Tengah Semester, para panitia dan siswa-siswi SMA Andromeda tetap bersemangat dalam mempersiapkan serta memeriahkan pentas seni yang sudah ditunggu-tunggu ini.

Altea duduk di sofa sambil membaca lirik lagu, sementara Tezza duduk disamping Altea dengan gitar dipangkuannya, sesekali ia memetik senar gitar guna mengingat apa yang dia latih selama dua minggu lalu. Kini mereka sedang berada di ruang kelas di belakang panggung untuk menunggu giliran tampil.

Altea melirik sejenak ke arah Tezza. “Gimana? Udah siap tampil nanti?”

“Sebenarnya gue masih merasa ada yang kurang, tapi udah cukup, kok.”

“Kalau kata gue sih udah perfect, ya. Kemampuan lo main gitar juga udah tambah kece.” Altea meletakkan lembar lirik kemudian berjalan menuju pintu kelas, memerhatikan sekitar sebelum melanjutkan perkataannya. “Jujur, gue nggak nyangka banget bakal duet sama lo. Awalnya gue berniat bakal tetap nolak permintaan lo, walau lo mohon-mohon sekalipun. Tapi, ya, akhirnya begini juga.”

Tezza terkekeh ringan, “Entahlah, gue juga nggak ngerti dengan pikiran gue sendiri. Kenapa, ya, gue mau duet sama lo? Mungkin karena gue kangen kampung halaman, cuma itu yang terpikirkan di kepala gue.”

Tezza beranjak menghampiri Altea, “Tapi ada untungnya juga, gue jadi belajar hal baru. Gitar. Makasih, ya.”

“Ih, apaan, sih? Nggak kayak lo banget. Merinding gue.” Altea bergedik ngeri, tak biasanya Tezza begini. Tezza yang ia kenal itu menyebalkan, oleh karena itu Altea cukup malas berurusan dengan laki-laki satu ini.

Sementara Tezza hanya tertawa mendengar ucapan Altea.

Setelahnya mereka kembali diam, hanya ada suara-suara dari panggung yang terdengar sampai ruang kelas tempat mereka berdua berada. Di keheningan itu, Altea memberanikan diri untuk bertanya. “Lo… suka musik, Za?”

“Ya, gue suka musik. Meskipun kehidupan gue bertolak belakang sama musik, tapi gue tetap cinta musik.”

“Bertolak belakang gimana maksudnya?”
Tezza diam.

Altea yang merasa pertanyaannya salah pun terburu-buru berkata, “Nggak usah dijawab. Anggap aja gue nggak pernah nanya hal itu. Sorry.”

Tezza tersenyum kecil. Altea sempat tertegun beberapa detik melihat senyumannya.

“Nggak apa-apa.” Jeda beberapa detik, Tezza pun melanjutkan ucapannya. “Desa tempat tinggal gue dulu, di sana musik adalah hal tabu yang nggak boleh dipelajari siapapun. Tapi karena suatu hal gue pun mulai mencintai musik. Dulu gue cuma bisa nyanyi dengan suara kecil dan di tempat sepi. Sedangkan di sini, gue bahkan bisa tampil di depan orang banyak.”

TAURUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang