Chapter 8

692 96 37
                                    


 
 
 
Luhan terdiam, selepas terbangun dari tidur akibat pengaruh obat. Kedua tangannya saling bertaut di atas perutnya yang besar, sesekali memberi usapan. Pandangannya terpaku pada langit-langit kamar bersama imajinasinya yang berkelana dimana terdapat ranjang bayi berwarna biru muda di kamar suaminya. Sudut bibirnya tak sadar melengkung begitu saja tatkala membayangkan sang bayi dengan pipi gembil berwarna kemerahan, hidung semancung milik suaminya , bibir merah dan cebikan manja ketika sang bayi hendak memberitakan sebuah dahaga.
 

Kemudian seolah-olah melihat Sehun tergopoh berlari menuju arah ranjang sang bayi dengan raut panik lalu segera mengambilnya sembari memberi tepukan menenangkan bersama mata sayu khas bangun tidur di tengah malam.
 

Tangisan kuat sang bayi hingga wajahnya memerah. Timangan sabar dan lembut Sehun untuk menenangkan sang bayi dengan gerakan tubuh ke kanan ke kiri. Lalu betapa repotnya Sehun tatkala menakar susu untuk melepaskan dahaga sang bayi dengan mata yang terkantuk-kantuk karena suaminya tersebut pasti kelelahan selepas bekerja.
 

Semua khayalan tersebut membuat air matanya menetes tanpa sadar. Menggigit bibir guna meredam isakan. Bohong jika ia mengatakan tidak takut. Ia takut, sungguh sangat takut. Namun ini pilihannya. Pilihan yang telah ia sumpahkan akan perjuangkan hingga akhir. Tidak peduli meski semesta memintanya menukar dengan sisa waktunya.
 

“Sayang..”.
 

Luhan bergegas mengusap kasar lelehan air matanya ketika gendang telinga disuguhi suara lelah sang suami yang berada di ambang pintu ruang rawatnya.
 

“Hm..?”.
 

Menjawab dengan suara biasa yang ia usahakan baik-baik saja. Ia tidak ingin tampak lemah di depan suaminya menjelang siswa waktunya di dunia.
 

Tungkai kaki panjang Sehun melangkah mendekati ranjang dimana sang isteri terbaring, bersama raut wajah yang tak terbaca. Terlihat begitu kentara seolah tidak ada gairah kehidupan yang semesta berikan pada wajahnya.
 

Sampai di ranjang rawat isterinya berada, Sehun menarik Luhan ke dalam pelukan tanpa sepatah kata pun. Hal yang membuat Luhan bingung hingga tidak mampu bereaksi apapun selain diam.
 

Membiarkan beberapa detik hingga Luhan merasa jika pundaknya basah. Suaminya menangis. Luhan tahu karena lelehan tersebut bukan berasal dari air hujan yang disebabkan oleh atap rumah sakit yang bocor.
 

Satu tangan yang tidak dipasang jarum infus memberi tepukan pada punggung sang kepala rumah tangga. “Apa perkejaan hari ini terlalu berat..?”. Tanya Luhan dengan suaranya yang lemah.
 

Pertanyaan sederhana yang membuat hati Sehun mencolos begitu saja. Bagaimana mungkin ada manusia yang berhati lembut seperti isterinya? Bahkan Luhan tidak mengumandangkan kemarahan karena panggilannya diabaikan, dan tidak menyalahkannya karena telah membuat Luhan pergi seorang diri keluar rumah.
 

Sehun menggeleng dan masih tidak mampu menjawab dalam untaian kata. Dada dan tenggorokannya terlalu sesak.
 

“Sudah makan..?”.
 

Sehun tidak menjawab, hanya semakin mengeratkan pelukannya pada Luhan. Seolah-olah ia akan kehilangan wanita tersebut secara tiba-tiba jika sedikit saja mengendurkan pelukan.
 

Seiring itu tepukan di punggung Sehun semakin bertambah. Demi Tuhan, rasanya Sehun tidak ingin kehilangan kekuatan besar yang bersumber dari isterinya. Seorang wanita yang sejauh ini ia sia-siakan demi mengenyangkan egonya semata.
 

“Sehun-ah.. boleh aku minta tolong..?”.
 

Dan entah mengapa seruan permohonan itu datang bersama desiran menakutkan pada diri Sehun, Namun Sehun tidak memiliki pilihan selain mengangguk. Karena prioritasnya adalah mengabulkan semua hal yang diinginkan oleh sang wanita.
 

Goodbye Free (HunHan GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang