Malam itu, rasa bersalah itu kembali datang menyergap. Membuatku ketakutan setengah mati. Aku takut, bagaimana bila kelak tidak ada yang menerima gadis jahat ini?
Aku sibuk bergelut dengan diriku sendiri. Satu sisi aku berkata, tak apa, semua orang pernah membuat kesalahan. Tapi memori-memori kelam itu seakan mendorongku jauh ke dalam jurang. Katanya, aku tidak pantas untuk dimaafkan. Katanya, aku harus hidup bersama dengan rasa bersalah ini seumur hidupku. Perempuan antagonis sepertiku, tidak boleh hidup dengan tenang. Tidak boleh bahagia.
Namun, aku hanya terus diam sembari menatap tembok dingin di hadapanku. Kepalaku berkecamuk seperti akan meledak kapan saja. Dadaku sesak luar biasa. Tubuhku gemetar dan aku hampir tidak bisa bernapas selayaknya. Satu pertanyaannya, tidakkah semua rasa sakitku ini cukup?
Jawabannya memang tidak. Rasa sakitku tidak pernah cukup. Tidak akan pernah cukup. Hingga pemikiran semu itu datang ke kepalaku. Berbisik untuk mencukupkan rasa sakitku. Aku mulai tersenyum, mencari benda tajam apa saja untuk membentuk guratan pada tanganku. Aku mulai tertawa. Apabila begini, apakah rasa sakitku akan genap?
Tapi, tidak. Rupanya belum sempat aku menggoreskan benda tajam itu pada tanganku, seseorang datang kepadaku. Seseorang dari dunia maya yang bahkan tidak tahu siapa aku. Katanya, aku tidak boleh merusak diriku. Katanya, aku harus mencintai diriku sendiri.
Dengan tatapan kosong, aku urungkan niat melukai diriku. Dia benar, tidak seharusnya aku memiliki pemikiran pendek segila itu. Aku menangis diam-diam. Dalam tangisan itu, aku memohon dengan segenap rasa putus asa. Tuhan, dapatkah Engkau menggenapkan rasa sakit yang tidak pernah cukup ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Alive
Random[continuation of stay alone] Bahkan setelah berpisah dan menyakitimu, aku turut patah hati. Kemudian aku melakukan kamuflase bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Itu semua kulakukan demi harga diriku yang tersisa. Karena tanpa itu, aku akan turu...