Tiap kali bersitatap denganmu, kau masih tetap sama. Kau masih menatapku dengan senyum lebarmu. Kata mereka, sorot matamu masih menyisakan rasamu yang masih saja tersisa untukku. Aku tahu. Aku sepenuhnya tahu. Tapi aku juga tahu bahwa di balik sorot mata itu, kau diam-diam meredam luka.
Kemudian aku bertanya-tanya. Bagiamana bisa? Bagaimana bisa kau masih tetap menyimpan rasa kepada seorang perempuan yang telah melukaimu? Bagiamana bisa kau masih bisa tersenyum sedemikian lebar kala memanggil namaku?
Lagi dan lagi. Rasa bersalah itu kemudian menghantuiku kala menatap dirimu yang bertingkah seolah baik-baik saja. Diam-diam, aku memikirkan satu hal. Sebuah permintaan maaf.
Aku telah meminta maaf kepadanya, namun hanya sebatas dalam ketikan dari sebuah pesan. Berkali-kali. Karena aku tahu, satu kali kalimat maaf tidak akan pernah cukup menebus rasa bersalahku. Tapi, aku ketakutan. Aku takut bahwa kau tidak bisa melihat ketulusanku dalam mengatakan permintaan maaf.
Maka, pikiranku mulai berkecamuk. Aku ingin menyuarakan maaf itu secara langsung. Satu kali saja, sembari menatapmu bahwa kata maaf ini aku ucapkan dengan sungguh. Tapi keraguan itu menelusup dalam diriku. Tidak katanya, rasa maafki tidak perlu untuk disuarakan.
Aku tetap sibuk berperang. Tapi rupanya, aku tetap tidak bisa mengalahkan rasa egoku yang terlampau tinggi. Hingga pada akhirnya, sebuah kalimat maaf itu tidak pernah berhasil disuarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Alive
Rastgele[continuation of stay alone] Bahkan setelah berpisah dan menyakitimu, aku turut patah hati. Kemudian aku melakukan kamuflase bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Itu semua kulakukan demi harga diriku yang tersisa. Karena tanpa itu, aku akan turu...