Setiap hari, tiap rasa sakit itu menyergap, aku berkali-kali meyakinkan diri bahwa aku tak apa. Tak apa, aku pasti bisa melalui ini semua. Tak apa, aku pasti itu bisa untuk berdamai dengan segalanya. Tak apa, suatu hari pasti luka ini akan sembuh sepenuhnya.
Kalimat-kalimat itu terus aku rapalkan berulang, meski aku tahu jauh dalam diriku ada keraguan. Meski aku paham, bahwa mungkin saja do'a yang terus aku rapalkan hanya omong kosong belaka. Hanya sebatas kalimat penenang yang membuatku bertahan hidup lebih lama.
Aku tahu, bahwa mungkin selamanya, luka ini tidak akan pernah sembuh. Bahwa mungkin selamanya, aku akan tetap sama. Maka aku terus mencari opsi-opsi yang dapat memberi aku kesempatan lebih lama. Karena aku butuh kesempatan, bukan lagi alasan untuk bertahan. Sebab alasan-alasan mengapa aku bertahan itu juga membuatmu ragu, benarkah aku tetap bertahan karena mereka?
Jari-jariku terus menari di papan ketik, mencari-cari apa saja yang dapat membuatku kokoh. Gotcha! Aku menemukannya. Aku butuh sesuatu bernama Serotonin, atau orang-orang menyebutnya sebagai anti-depresan.
Lantas sebelum aku menjemputnya, aku kembali bertanya-tanya. Dapatkah ia benar-benar membuatku kembali bahagia? Atau hanya kebahagiaan semu semata? Kesenangan sementara?
Maka kemudian aku urungkan niatku. Ku sumpahi diriku sendiri mengapa berpikiran begitu pendek untuk sekadar mengais kebahagiaan semu. Aku akan berusaha berdamai, kataku. Aku ingin sembuh. Tapi rupa-rupanya, kesakitan itu masih belum pula usai. Ia terus mematahkan diriku yang tengah berusaha berdiri tegak. Sehingga aku terus terpatahkan menjadi kepingan berserak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Stay Alive
De Todo[continuation of stay alone] Bahkan setelah berpisah dan menyakitimu, aku turut patah hati. Kemudian aku melakukan kamuflase bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Itu semua kulakukan demi harga diriku yang tersisa. Karena tanpa itu, aku akan turu...