"Singkatnya, saya membeli anda."
Kalimat itu masih terekam jelas di kepala (First name) (Name). Kalimat terakhir yang didengarnya sebelum gadis itu melenggang masuk ke unit apartemennya, tak peduli dengan Nanami Kento yang masih berdiri diam di hadapannya.
Membeli dirinya ia bilang? Omong kosong. Lantas (Name) akan dijadikan budak untuk kepuasan hasrat seksualnya, begitu? Hidupnya sudah terlampau rusak—cukup untuk membuat orang orang bersimpati padanya.
(Name) mengusap wajah kasar. Tangan kanannya meraba nakas, meraih kotak penuh gulungan tembakau itu. Dihisapnya dalam. Satu menit, bau menyengat rokok sudah memenuhi sudut-sudut kamar tidur.
Ia merebahkan diri, menahan rasa kantuk yang mulai menyerang, tidak ingin terlelap. Tidur hanya membuatnya kembali menyaksikan mimpi-mimpi buruk itu. Kenangan masa lalu dan traumanya bak film yang diputar ulang selalu tersaksikan setiap jiwanya telah menelusuri alam mimpi.
"Kau adalah aib bagiku, kuharap kau mati. Kelahiranmu adalah malapetaka bagi semuanya. Kau tak diinginkan. Matilah, matilah (Name). Pergi kau menyusul ibumu!"
Kalimat ayahnya 14 tahun silam. Ketika usianya baru menginjak lima tahun hari itu, anak malang tersebut menerima kado ulang tahunnya dengan cekikan di leher. Masih ingat betul rasa sesak dan sakit cengkraman tangan ayah yang sedang mabuk. (Name) kecil meronta minta dilepaskan, menangis kencang.
"Dengan wajah itu beraninya kau meminta hadiah ulang tahunmu, hm? Hari ini, lima tahun lalu kau membunuh kekasihku! Kau anak tidak tahu terimakasih!"
Tubuh lemah (Name) dibanting, terjembab ke lantai kayu. Tangisnya semakin menjadi. Kalimat maaf tak henti terucap dari bibir mungilnya yang bergetar.
"Berhenti menangis, sialan! Sudah muak aku mendengarnya!"
Setelahnya pintu dibanting kuat-kuat. Menyisakan si gadis kecil yang meringkuk di sudut ruangan. Lebam sisa pukulan kemarin belum sembuh total, hari ini ditambah bekas kemerahan di leher.
"Ayah, aku minta maf."
•••
Manik (e/c) sang puan terbuka. Basah air mata. Gelap merajam seisi kamar. Elok purnama tertutup awan hitam, mendung. Lampu tidur kecil disamping ranjang ia hidupkan, nyala remang-remang. Pukul sebelas malam.
Dua kali (Name) tertidur hari ini, dan dua kali itulah ia melihat mimpi yang sama. Tenggorokannya kering, buru-buru menyambar air dingin di dapur.
Sialan, sialan, sialan. Seseorang tolong hentikan.
Tubuh lemas itu jatuh ke lantai. Sejauh apapun ia kabur dari sang ayah, bayang-bayangnya tak pernah hilang. Setia menghantui ingatan.
Pikirannya kacau, lagi. Sebatang rokok tak akan membuatnya kembali tenang, malam ini ingin dia habiskan dengan beberapa gelas whisky.
Ah, ia lupa. (Name) juga harus kembali ke tempat kotor itu lagi. Pelanggan mengantri. Pangkal hidungnya dipijatnya pelan, dan segera beranjak untuk bersiap.
•••
"Sudah kubilang, si tuan kaya raya itu membelimu, (Name). Kau adalah miliknya sekarang." Bos pemilik membuang muka tak peduli, sibuk menyesap wine dari gelas tinggi. Si gadis meringis, menatap galak. "Saya tidak pernah menyetujuinya!"
"Aku tak butuh persetujuanmu atau apalah. Bekerja padaku artinya kau asetku, namun sekarang tidak lagi (Name), orang itu membelimu."
(Name) tertunduk, "Berapa harga yang dikeluarkannya?"
"Lumayan banyak, empat puluh juta." Gelak tawa pria separuh baya itu menggantung di langit-langit. "Yah, walau sangat disayangkan aku melepasmu. Selamat menikmati hidup dengan tuan barumu."
(Name) merapatkan kepalan tangannya. Harga diriku hanya semurah itu.
Tanpa sepatah kata lagi, (Name) setengah berlari menuju arah rumahnya. Emosinya memuncak hingga ke ubun-ubun.
Nanami Kento. Pria yang semalam tiba-tiba berbicara omong kosong itu benar benar sudah melampaui batas.
•••
Belasan kali (Name) menekan bel apartemen Nanami Kento. Peduli setan dengan waktu yang sudah lewat tengah malam, urusannya lebih penting. Wajahnya galak, beringas. Siap melayangkan pukulan di rahang pria itu.
Pintu terbuka, menampakan perawakan tinggi persis seperti semalam lalu.
"Nona (Name)?—"
Bukh!
Satu tinjuan mentah mendarat di pipi kiri Nanami. Tubuhnya mundur dua langkah.
"BAJ*NG*N!" Teriak (Name) marah. Tangisnya ia tahan agar tidak tumpah.
"Saya tidak pernah menjual tubuh saya pada anda, Tuan. Tubuh saya bukan hak milik anda!"
"Tolong, tolong saya tidak ingin menderita lebih dari ini. Saya sudah terlampau menderita..."
Kali ini ia benar-benar tersedu. Yang lebih tua hanya diam, termakan senyap. Menyisakan isak tangis yang semakin kencang.
"Nona..." panggil Nanami pelan ketika emosi si gadis mulai mereda. Telapak tangannya lembut menyusuri pipi kemerahan (Name). Sempat ditepis oleh sang puan, namun sorot mata meyakinkan itu mengalahkannya. Manik cokelat Nanami menatap dalam, hangat.
"Saya tidak hanya membeli raga anda, tapi juga jiwa anda. Saya tidak akan menyentuh tubuh anda jika itu yang Nona inginkan. Semata-mata saya hanya ingin membebaskan Nona dari dunia kotor itu."
(Name) terdiam, memang apa alasan yang mendasari Nanami Kento ingin membebaskannya darisana? Sungguh, kemarin adalah pertemuan pertama mereka, (Name) sangat yakin. Ia tidak ada hutang budi atau apapun.
"Apa—apa anda hanya kasihan pada saya? Tidak ada gunanya menyelamatkan saya, saya sudah rusak, tuan..."
"Maka sebelum semakin rusak, saya akan membawa anda. Nona (Name) sekarang adalah milik saya. Anda paham?"
Diam sebentar. Entah atas dorongan apa, tapi hati nurani (Name) ingin percaya pada pria didepannya. Rasanya ia akan aman, jika itu Nanami Kento. Ia akan bahagia, jika itu Nanami Kento. Ia akan hidup jika itu Nanami Kento. Maka tanpa sadar anggukan menjadi jawaban dari si puan.
Malam itu ditutup dengan pelukan Nanami yang mendekap erat tubuh rampingnya.
"Good girl."
To be continued,
837 words.
23 Desmber 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
OLDER : N. Kento x Reader[✔]
Teen Fiction"Pantaskah wanita kotor sepertiku bersanding denganmu, Tuanku?" Ini kisah tentang dia yang bertemu dengan penyelamat hidupnya, rumahnya. Namun, bolehkah ia memiliki Si Sempurna, Nanami Kento? Bolehkah (Full Name) mencintainya? ꒰‧⁺ ⌨︎ DISCLAIMER ˀ ⚠...