Kisah ini dimulai ketika gelap menyelimuti bumi. Sang baskara agung telah lengser dari takhta langitnya digantikan oleh lembut cahaya emas purnama. Ditemani sorot-sorot lampu jalanan dan gedung tinggi, klakson kendaraan saling menyaut satu sama lain membuat ramai. Juga alunan musik jazz dari kafe di sudut kota menambah syahdu suasana angin malam yang kian menusuk sampai tulang.
Wanita itu bersandar pada bangku panjang. Mengepul asap dari batangan tembakau dibibir ranumnya yang sesekali ia hisap. Lama ia meniti satu per satu mobil di lampu merah sebelum netranya tertutup, khidmat membiarkan sepoi angin malam menampar lembut pipinya yang kemerahan.
Malam ini masih sama seperti berjuta malam sebelum-sebelumnya. Tidak berubah, juga tidak spesial. Meskipun jalanan hampir penuh dengan ornamen penyambut natal dan lampu-lampu berkilau tertambat melingkari batang pohon maple, bagi gadis dengan coat coklat brunette itu, setiap malam selalu sama. Malam yang selalu ia benci.
(First name) (Name), gadis itu meringis. Netranya ia buka perlahan guna menilik jam besar di tengah perlimaan jalan. Dua menit menuju tengah malam. Kota ini masih belum tidur. Para budak korporat itu masih betah duduk didepan komputer mereka. Berkutat dengan tumpukan laporan atau apalah. Satu-dua yang telah menyelesaikan pekerjaan biasanya saling rangkul menuju bar terdekat untuk bersulang beberapa gelas, dan pulang dalam keadaan wajah merah dan mabuk.
Dua menit merangkak cepat. Denting jam tengah malam berbunyi. Suaranya memenuhi lorong-lorong gang sempit, tak kalah oleh bising perkotaan. (Name) bangkit. Membuang putung rokok yang hampir habis terbakar ke sembarang arah, lantas mengikuti langkahnya berjalan. Membawanya ke tempat paling kotor di kota.
Menyenandungkan Für Elise karya Beethoven adalah favoritnya. Tidak seperti lagunya yang memiliki makna dalam tentang Beethoven dan cintanya yang tak terbalas, (Name) sama sekali tidak pernah merasakan apa yang orang-orang sebut dengan cinta. Menyedihkan, gadis malang itu tak pernah mendapatkannya, lantas bagaimana ia tau rasanya kasih sayang? Kelahirannya saja membawa kebencian bagi orang tuanya—fakta bahwa (Name) adalah anak dari hubungan di luar nikah.
Sekitar tujuh belas menit dari bangku panjang tadi, (Name) telah berdiri di mulut pintu masuk sebuah klub malam. Tempat paling kotor di kota. Perlahan menuruni tangga dan menuju ruang belakang. Beberapa wanita yang sedang bersolek menyapanya. Baju baju yang mereka kenakan sangat terbuka, bisa dikatakan percuma memakainya.
"Wah, pelacur paling muda kita sudah datang rupanya." Wanita dua puluh lima tahun itu menyeletuk setelah berpapasan dengan (Name) yang baru saja memakai kostumnya. Hanya wajah datar yang (Name) suguhkan sebagai respon. Wanita tadi terkekeh ringan, "Memang benar paras dingin yang menjadi daya tarik darimu, (First name) (Name). Sekarang aku mengerti mengapa para lelaki hidung belang itu banyak yang tertarik padamu."
(Name) tertunduk dalam. Inilah mengapa ia selalu membenci malam. Di tempat ini, gadis itu menjadi perempuan jalang pemuas laki-laki brengsek. Paras ayu-nya sangat menguntungkan, hanya dengan lima bulan bekerja ia bisa melunasi tagihan apartemen—yang membuatnya tidak harus lagi mendengar teriakan pemilik gedung yang memakinya, mengancam mengusir.
"(Name), ada pelanggan untukmu!" Seru bos pemilik. Sang empu nama mengangguk pelan, menunduk pada Iris—wanita dua puluh lima tahun tadi—berpamitan, lantas melenggang pergi untuk melaksanakan pekerjaannya.
"Selamat malam, tuan." (Name) dengan intonasi datar menyapa.
"(Name) ku malam ini pun masih terlihat sangat cantik. Mari kita bersenang-senang, sayang."
•••
Pukul empat dini hari. Penguasa malam belum beranjak dari tempat singgahnya. Jalanan lenggang, sunyi, hanya menyisakan desiran sepoi angin.
Surai (h/c) indah (First name) (Name) berkibar pelan, berantakan. Sang puan dengan langkah tertatih memaksa kakinya melangkah. Sungguh, ia tidak pernah terbiasa dengan rasa sakit yang menjalar keseluruh tubuhnya setelah semalaman melayani para pria hidung belang itu.
Pikirnya kosong, sorot matanya pun begitu, bak orang mati.
Dua puluh menit berlalu. Dengan sisa tenaga, (Name) sampai di gedung apartemennya. Namun maniknya menangkap siulet lelaki jangkung yang terlihat sedang menunggu seseorang didepan pintu unitnya. Siapa?
"Nona (First name) (Name)?" Pria blonde itu membuka suara setelah (Name) berdiri tak jauh darinya. Ia bisa melihat sosok lelaki itu tersenyum tipis dibawah temaram lampu. Bukan, bukan salah satu dari pelanggannya.
"Selamat pagi, nona."
(Name) tidak membalas. Matanya awas menatap—berjaga jaga jika laki laki itu akan memaksanya bekerja diluar jam kerja.
"Maafkan saya, anda pasti bingung dengan—"
"Tolong katakan saja siapa dan apa mau anda."
Si tuan terdiam sebentar, memasang wajah datar. "Nanami Kento, tetangga anda persis disebelah pintu ini. Saya ingin membeli Nona." Jelasnya kemudian. Singkat, namun meninggalkan tanda tanya besar di kepala (Name).
"Anda ini bicara apa?"
"Saya ingin menyewa jasa nona untuk seumur hidup. Singkatnya saya membeli anda."
(First name) (Name) menelan salivanya kasar. Lelucon apa ini?
To be continued,
748 words.
22 Desember 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
OLDER : N. Kento x Reader[✔]
Fiksi Remaja"Pantaskah wanita kotor sepertiku bersanding denganmu, Tuanku?" Ini kisah tentang dia yang bertemu dengan penyelamat hidupnya, rumahnya. Namun, bolehkah ia memiliki Si Sempurna, Nanami Kento? Bolehkah (Full Name) mencintainya? ꒰‧⁺ ⌨︎ DISCLAIMER ˀ ⚠...