#11, Hujan

36 10 0
                                    

sudut pandang Arganata ;






Gue bingung deh, sebenernya hari ini hari sabtu atau hari kebalikan. Gue bingung kenapa di saat gue berharap nggak akan ketemu mbak-mbak kemeja putih tadi, hasilnya sekarang malah gue dan dia duduk di tempat yang sama, berhadapan, dan makan makanan yang sama. Gue nggak bisa menyalahkan Mekdi Simpang Dago yang saat ini ramai dipadati oleh pengunjung yang sedang makan siang, tapi gue cuma heran, dari sekian ribu atau berapapun jumlah rakyat Bandung, kenapa harus dia. Gue nggak menyalahkan dia, tapi justru gue yang merasa bersalah di sini. Nggak tahu deh dia gimana ke gue, tapi kalau memang dia masih sebel sama gue ya, biar jadi urusan dia. Apapun rasa bersalah gue juga biar jadi urusan gue.

Nggak ada pembicaraan apapun dari gue dan dia selain dia yang meminta izin untuk duduk bareng gue dan nitip makanan sama tasnya waktu dia ke toilet barusan. Sama sekali nggak ada. Tapi jujur, gue juga ngerasa sungkan sih sama nih mbak-mbak. Kira-kira, kalau tiba-tiba gue ajak ngomong dia, aneh nggak ya? Maybe its just a small talk like.. “Jalan-jalan juga di Bandung?” atau “Mbaknya sendirian ya?”. Ah tapi dia jelas-jelas sendirian dan ngapain gue nanya ya. Ya tapi gue rasa much better sih dari pada gue tiba-tiba nanya “Mbaknya suka makan kadal nggak?” to be honest.. itu nggak lucu. Sama sekali nggak lucu apalagi untuk gue yang hitungannya habis ngelakuin kesalahan. But, okay. Let me try.

Solo trip juga ya, Mbak ke Bandung?” astaga gue nanya nya gini amat ya.

Kinda. Taking some fresh air aja, Mas.” katanya. Okay, ternyata kalau didengar dari nada bicaranya, dia orang yang kalem + to the point.

Gue pun mencoba menanggapi lagi untuk menyambung obrolan, “I see. I guess you have an interest sama motret or something karena saya lihat mbak nya beneran bawa kamera sama dua lensa. Hehe.”

Duh gue kok kayak sok tahu ya.

“Eh, sorry if I jumping into conclusion.” kata gue lagi sambil menggarung tengkuk gue yang sebenarnya nggak gatel-gatel amat. Lagian gimana ya, gue bingung habisnya. Takut dia risih. Haha, lucu lo Arga.

“Hahaha, iya gapapa kok. Yes, I can't say I'm a photographer sih, saya demen motret sama nge-vlog aja sih sebenernya. Eh keterusan jadi hobi, dan sekarang malah sering dapet panggilan tiba-tiba kalau ada yang minta tolong.” kata dia. Oh, gue bisa bilang, mungkin dia fotografer lepas kali ya. Berawal dari kesukaan dia motret dan nge-vlog terus jadi keterusan begini. Ya, gue akui hebat sih. Jarang ada orang yang bisa konsisten kayak gini.

“Wow, hebat!” jawab gue.

“Hebat dari mananya coba? But thank you, anyway. I appreciate.“

I don't know, saya cuma berfikir aja kalau mbak hebat bisa konsisten sama hobinya bahkan sampai sering dimintain tolong.” kata gue.

“Hmm, emangnya ada orang yang nggak konsisten sama hobinya ya?” tanya dia sambil mukanya mendekat ke arah gue.

“Hmm, mungkin lebih ke yang jarang ngelakuin lagi sih.”

“Hahaha ada-ada aja.” kata dia.

Setelah itu nggak ada obrolan kami yang penting lagi karena cuma diisi sama obrolan biasa tentang Bandung, Mekdi, dan Tebing Keraton tadi. Sampai akhirnya, dia masang raut muka yang gue bisa bilang, kesel, bete, atau semacamnya. Hampir mirip mukanya waktu gue minta tolong tadi pagi, tapi serius, kali ini lebih serem. Gue bingung harus apa, sampai gue ngikutin arah mata dia. Hingga akhirnya gue bisa menebak alasannya.

Iya, ternyata hujan di luar sana. Hujan deras malah.

“Eh ujan deres ternyata. Hehe.” ucap gue yang sepertinya malah terdengar aneh.

“Iya.. padahal mau balik.” kata dia. Seriously, muka dia sekarang bener-bener yang sama sekali nggak bisa gue definisiin. Gue ikut bingung jadinya. Masalahnya ini hujan juga deres banget.

“Buru-buru banget, Mbak baliknya?” tanya gue akhirnya.

“Iya, soalnya nanti malem saya harus pulang ke Jakarta. Keretanya malem. Ini masih deres banget, belum packing juga.” jawab dia. Masih dengan muka yang bete.

Lalu entah perintah dari mana, sampai akhirnya, gue nekat ngasih solusi.

“Mau nebeng saya aja? Saya bawa mobil kebetulan.” ucap gue nekat.

“Oh, nggak usah Mas. Nanti ngerepotin. Gapapa. Naik taksi online aja kayaknya.” jawab dia. Tapi gue nggak tega sebenernya, mengingat kalau hujan deres begini biasanya jarang ada taksi online yang mau nge-pick up penumpang.

“Gapapa ayo kalau mau nebeng. Saya juga nggak kemana-mana kok. Ini kalau deres banget takutnya malah nggak ada taksi yang mau nge-pick up,”

“Iya juga ya. Tapi beneran gapapa, Mas?” tanya dia lagi.

“Gapapa, Mbak. Santai aja. Yuk.” kata gue.

“Yaudah saya beres-beres dulu ya bentar...” kata dia.

“Oke.” kata gue sambil duduk dan menunggu dia merapikan barang-barangnya.

Lalu tiba-tiba, “Hah...loh!” ucap dia kaget. Kenapa tuh?

“HP saya ngga ada mas, duh kemana ya?” ucap dia panik sambil mengeluarkan semua isi tas, merohgoh saku celana, dan nengok bawah meja. Astaga. ada-ada aja deh mbak satu ini.

“Coba dicari lagi, sini saya bantu.”

“Udah.. tapi nggak ada mas..” asli deh dia ngomong gitu sambil mukanya yang panik banget kayak mau nangis. Gue beneran nggak tega liatnya. Sampai akhirnya gue nawarin ponsel gue buat bantu nge-misscall ponsel dia.

“Yaudah ini coba pake ponsel saya dulu. Telpon gih nomornya mbak. Kali aja ada yang nemuin.” kata gue.

Dengan tangan yang gemeteran, dia pun akhirnya mengambil ponsel gue sambil coba menelpon ponselnya yang tadi nggak ada. Pada deringan ketiga, ponsel tersebut pun ada yang ngangkat.

“Halo, maaf mas. Ini ponsel saya yang hilang. Ini siapa ya? Boleh saya tahu?” kata dia masih pake nada yang panik.

“Hah? Oh iya.. iya..”

“Iya..”

“Saya di atas pojok pake kemeja putih lagi berdiri.. iya.”

Kata dia barusan, yang entah ditujukkan ke siapa. Gue pun nggak tau.

Sampai akhirnya ada pegawai Mekdi yang naik ke atas, menghampiri meja kami dan ngasih ponsel mbak ini. Oalah berarti tadi jatuh atau ketinggalan kali ya di suatu tempat.

“Ini ya, Teh hp nya. Tadi ada orang yang dari toilet terus ngasih ini ke saya. Nggak ada yang nelpon terus tiba-tiba ada yang nelpon. Ini ya, Teh.” kata mas tadi.

“Haduh, makasih banyak ya Mas. Makasih banget. Saya ini nyariin dari tadi.” kata dia. Bener kan, ternyata ketinggalan di toilet.

“Gimana Mbak?” tanya gue.

“Iya, tadi kayaknya ketinggalan pas saya ke toilet. Terus nggak nyadar kalo ketinggalan.”

“Oalah. Yaudah udah ketemu kan sekarang. Yaudah yuk pulang. Nanti kasih tau ya nginepnya dimana.” kata gue waktu ngajak dia pulang.

Lalu gue dan dia pun turun dari lantai 2 Mekdi Simpang Dago. Gue sengaja nyuruh dia buat nunggu di depan Mekdi dan nungguin gue ngambil mobil biar dia nggak kehujanan. Haha, udah bisa disebut gentle belum kalau gini?















TERLALU . MANIS
fridaycheese 2 0 2 2

Terlalu ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang