BAGIAN 1

271 10 0
                                    

"Heaaa...!"
Dua orang mengendarai kudanya membelah udara malam yang pekat. Hawa dingin yang menggigit seakan tak dipedulikan. Tubuh mereka terguncang-guncang di atas punggung kuda yang berlari bagai kesetanan.
"Sebentar lagi kita sampai di Desa Sangit, Gopala!" teriak laki-laki yang berkuda di sebelah kanan. Suaranya seolah hendak mengalahkan deru angin yang begitu keras menerpa telinga.
"Banyak hal-hal menarik di sana."
"Kau kelihatan senang sekali membicarakan tempat itu, Sengkala? Ada apa sebenarnya?" tanya laki-laki yang berkuda di sebelah kiri.
"Apakah kau tidak tahu?!" tukas laki-laki yang dipanggil Sengkala.
Laki-laki bernama Gopala menggeleng. Kepalanya menoleh ke arah Sengkala dengan wajah sungguh-sungguh.
"Kita bisa singgah di Pesanggrahan Kembang Melati." kata Sengkala agak meninggi. Berharap kalau Gopala cuma pura-pura lupa. Namun dia sedikit kecewa karena melihat wajah Gopala malah semakin bingung.
"Kau sungguh-sungguh tak tahu?" tanya Sengkala.
"Tidak. Ada apa sebenarnya?" sahut Gopala.
"Di tempat itu banyak wanita cantik segala macam rupa dan bentuk!" jelas Sengkala terkekeh lagi, menyangka Gopala pun akan tergelak.
"O..., cuma itu?" sahut Gopala tanpa terkejut.
"Cuma itu katamu?! Tempat itu amat istimewa! Orang-orang dari segala penjuru datang ke sana. Dan kau cuma mengatakan begitu?!" tukas Sengkala, kecewa.
"Aku mesti bilang apa?" tanya Gopala, seraya memperlambat jalannya kuda.
"Kita ke sana. Dan kau akan melihat betapa hebatnya tempat itu!" jelas Sengkala bersemangat, namun juga memperlambat jalannya kuda. Sepertinya dia ingin benar-benar meyakinkan Gopala.
"Kita sedang dalam tugas dan harus tiba secepatnya ke istana untuk melaporkan hasil penyelidikan," sergah Gopala, mengingatkan.
"Alaaah! Kau ini seperti yang bukan laki-laki saja! Tugas bisa ditunda. Tapi kesempatan ini jarang ada duanya. Apalagi pada awal-awal bulan seperti sekarang! Pesanggrahan itu menyediakan banyak wanita muda yang cantik-cantik! Kau pasti akan tertarik!" bujuk Sengkala, tak putus asa.
Gopala menarik napas panjang. Kudanya makin diperlambat, sehingga seperti berjalan biasa. Demikian pula Sengkala.
"Bagaimana? Atau barangkali kau tak tertarik pada wanita?" cetus Sengkala lagi.
"Bila Gusti Prabu tahu kita melalaikan tugas, maka kita akan dijatuhi hukuman berat...," keluh Gopala, mulai goyah pendiriannya.
"Kita tak berseragam. Dan cuma segelintir orang yang tahu kalau kita prajurit kerajaan! Lantas, apa yang mesti ditakutkan? Bahkan bila prajurit-prajurit lain ke sini, belum tentu mereka mengenali kita."
Gopala masih terdiam, menimbang rayuan temannya.
"Ayolah! Apalagi yang kau pikirkan? Atau..., dugaanku tadi benar? Sebenarnya kau bukan takut dipergoki, tapi..., takut kalau rahasia terbesarmu ketahuan!"
"Jangan meledek, kau!"
Sangkolo tersenyum mengejek.
"Tidak! Aku bicara sesungguhnya. Dan akan bertambah yakin kalau kau terus menolak. Laki-laki mana yang menolak pada wanita cantik?!" Sengkala terus memanasi kawannya.
"Aku tidak seperti yang kau tuduhkan...," kilah Gopala.
"Lalu apa?"
"Kita tengah menjalankan tugas...."
"Itu tidak masuk akal! Kau pasti hanya tak mampu. Kalau mampu, buktikan bersamaku di sana!" tantang Sengkala.
Gopala menghela napas. Selain khawatir karena telah melalaikan tugas, juga karena didesak terus Oleh Sengkala.
"Bagaimana?"
"Berapa kau berani taruhan?"
"Bagus!" teriak Sengkala girang dan menunjukkan jempol.
"Berapa kau berani taruhan?" tantang Gopala agak kesal.
"Sekeping perak!"
"Tambahkan empat keping, jadi lima!"
"Gila! Itu sama dengan harga di sana."
"Hitung-hitung kau mengongkosi aku!" kelit Gopala sambil terkekeh.
"Kampret!"
"Eeee, tidak jadi?!"
"Yaaa, apa boleh buat...?" sahut Sengkala lesu. "Yang penting tunjukkan padaku bahwa kau laki-laki perkasa. Dan..., hitung-hitung juga aku punya kawan. Jadi tidak kelewat canggung."
"Kau sering ke sana, jadi kenapa mesti canggung?"
"Tidak juga. Aku hanya dengar dari orang-orang. Baru sekarang ingin menjajalnya...," sahut Sengkala tersipu.
"Kampret! Kukira kau sudah sering ke sana!"
Sengkala cekakakan.
"Ayolah, cepat! Aku sudah tak sabar membuktikan cerita orang-orang!"
"Heaaa...!"

***

Seorang laki-laki setengah tua menyambut Sengkala dan Gopala di pintu gerbang dengan ramah. Dipanggilnya seseorang untuk mengurus kuda-kuda tamu yang baru datang ini.
"Silakan, Tuan-tuan...! Jangan sungkan-sungkan" Ucap laki-laki tua itu.
"Mari ke sini, Tuan...!" panggil seorang wanita setengah baya berdandanan menyolok. Wajahnya tebal oleh bedak. Bibirnya merah menyala. Dan pakaian yang membungkus tubuhnya terlihat tipis, amat ketat. Wanita itu membawa kedua laki-laki tadi ke dalam sebuah ruangan luas yang mirip kedai. Di dalamnya terdapat beberapa laki-laki yang tengah mabuk atau setengah mabuk yang masing-masing ditemani seorang gadis.
Dua gadis mendekat dengan senyum lebar. Sengkala ikut-ikutan tersenyum. Sebaliknya Gopala malah tersenyum kecut dengan dahi berkerut. Agaknya laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun ini hendak memperlihatkan keengganannya kepada dua gadis itu. Sementara wanita setengah baya itu cepat bertindak dengan memanggil seorang gadis lainnya. Barulah kelihatan Gopala tersenyum-senyum senang.
"Mari kutemani, Tuan!" ajak gadis yang baru menghampiri tadi.
Sementara Sengkala telah berlalu ke sebuah meja bersama seorang gadis pilihannya. Dan Gopala pun mengambil tempat yang tidak seberapa jauh. Kini dua gadis itu menyuguhkan arak pilihan sambil bercakap-cakap. Namun hal yang dibicarakan lebih banyak menjurus pada kemaksiatan. Dan tanpa disadari, kedua prajurit yang sebenarnya juga telik sandi ini terus disuguhkan minuman sampai mulai mabuk.
"Cukup! Cukup! Jangan sampai mabuk! Hehehe...! Bisa kita mulai sekarang?" tanya Sengkala sambil menolak suguhan arak yang hendak dituangkan gadis pendampingnya.
"Tuan hendak mulai sekarang?" sahut gadis bertubuh padat itu dengan senyum genit.
"Hehehe...! Aku sudah tak tahan lagi. Melihat bentuk tubuhmu yang aduhai, dan suaramu yang merdu, benar-benar membuatku mabuk kepayang. Ayolah.... Apalagi yang ditunggu? Bawa aku ke sorga yang tadi kau ceritakan. Hehehe...!" oceh Sengkala.
"Kenapa tidak? Mari!" tantang gadis ini, membuat gairah Sengkala kian terpacu.
Dengan setengah memapah, gadis itu melingkarkan sebelah lengan Sengkala ke belakang leher dan mengajaknya masuk ke dalam sebuah kamar yang ada di belakang rumah ini. Bersamaan dengan mereka, banyak pasangan lain yang mengikuti dari belakang, lalu menuju kamar masing-masing yang banyak berjejer di sepanjang lorong menuju ke belakang.
Sementara di sebuah ruangan lain di pesanggrahan ini, terlihat dua laki-laki bertubuh besar masuk ke sebuah kamar. Begitu pintu ditutup, mereka menjura hormat pada seseorang berjubah hitam yang berdiri membelakangi.
"Hormat kami, Ketua!" ucap kedua laki-laki bertubuh besar ini.
"Apa yang kalian dapatkan?" tanya sosok berjubah hitam yang dipanggil Ketua tanpa berbalik.
"Banyak hal, Ketua. Namun di antaranya mungkin ada yang membuat Ketua gembira."
"Katakan! Apa yang membuatku gembira?" tuntut sosok berjubah hitam ini.
"Dua prajurit telik sandi kerajaan singgah di pesanggrahan kita," jelas salah seorang laki-laki itu.
"Lalu apa yang membuatmu merasa yakin kalau aku gembira mendengar kabar ini?"
"Gadis-gadis itu memberitahu bahwa mereka berdua mengemban tugas mengintai seseorang. Dan orang itu tak lain dari.., Sangkaran!"
Mendengar nama itu disebutkan, sosok berjubah hitam itu berbalik. Dan terlihatlah seraut wajah yang seluruhnya tertutup kain hitam. Dari sepasang lubang yang digunakan untuk melihat, kelihatan kalau sepasang bola matanya berbinar-binar. Senang campur gembira!
"Sangkaran keparat! Akhirnya kutemukan juga kau!" desisnya dengan senyum lebar.
"Apa yang kami lakukan sekarang, Ketua?" tanya laki-laki bertubuh tinggi besar itu.
"Siapkan orang-orang kita!" ujar sosok yang dipanggil Ketua ini, tegas.
"Kita menuju ke sana?"
"Sudah lama kesempatan ini kutunggu-tunggu. Dan aku tak mau menundanya barang sekejap pun!"
"Tapi..., ada suatu hal yang agaknya perlu dipertimbangkan, Ketua...."
"Pertimbangkan apa yang kalian maksudkan?"
"Menurut mereka. Sangkaran kini dikelilingi tokoh-tokoh persilatan berkepandaian tinggi. Kita tidak bisa gegabah ke sana."
Sosok bertopeng berjubah hitam yang jelas seorang wanita itu mendongak ke atas. Dari mulutnya mengeluarkan suara mengikik.
"Hihihi...! Kalian terlalu meremehkan kekuatan kita. Apakah tidak kalian sadari bahwa kekuatan kita saat ini mampu menghancurkan sebuah kerajaan hingga rata dengan tanah?"
"Aku tahu hal itu, Ketua. Tapi...."
"Pergilah! Dan siapkan pasukan! Kita menuju ke sana sekarang juga!" perintah wanita berjubah hitam ini, tandas.
"Kalau Ketua berkehendak begitu tentu saja akan kami jalankan sebaik-baiknya."
"Bagus!"
Dari balik topengnya, wanita berjubah hitam yang bertubuh padat sempurna ini tersenyum lebar ketika dua orang itu telah berlalu. Dia mondar-mandir dalam ruangan ini bagai seorang gadis yang tak sabar menunggu kehadiran kekasihnya.
Tok! Tok! Tok!
"Ketua, perkenankan hamba masuk!" Terdengar suara ketukan yang ditingkahi suara seseorang dari balik pintu.
"Kaukah itu, Ki Jalanta?" tanya wanita berjubah dan bertopeng hitam ini.
"Benar, Ketua."
"Hmm..., masuklah!"
Begitu pintu terbuka, muncul seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan agak tinggi. Rambutnya yang panjang dan telah memutih, dikuncir agak ke atas. Kumis dan jenggotnya yang berwarna sama dengan rambut, tumbuh liar tak terurus. Bajunya lusuh dengan celana pendek yang juga amat lusuh.
"Kudengar Ketua hendak mengadakan penyerbuan?" tanya laki-laki bernama Ki Jalanta, setelah menutup pintu.
"Iya" sahut wanita bertopeng ini.
"Dan kudengar pula si Sangkaran telah ditemukan?"
"Benar."
"Dia dikelilingi oleh orang-orang tangguh. Ceroboh namanya kalau kita menyerang tanpa mengetahui kekuatan lawan."
"Aku tidak bisa menunggu meski barang sekejap!"
"Hahaha...! Dendammu amat menggelegak, Ketua. Tapi sekadar dendam tanpa perhitungan, hanyalah kekonyolan yang mau kau dapat. Dan dendammu akan terkatung-katung. Malah akhirnya kau yang lebih dulu ke neraka."
"Apa maksudmu?" desis wanita itu, bertanya.
"Biar aku ke sana untuk menyelidiki kekuatan mereka. Setelah aku kembali, maka kita buat rencana jitu untuk menghancurkan mereka. Dengan begitu kemungkinan besar rencana kita akan berhasil, tidak sia-sia!" jelas Ki Jalanta.
Wanita berjubah hitam itu terdiam beberapa saat
"Bagaimana? Ketua setuju tentunya," usik laki-laki tua itu.
"Baiklah...."
"Nah! Perintahkan sekarang juga maka aku akan pergi menyelidikinya!"
"Pergilah sekarang juga!" Ki Jalanta terkekeh, lalu keluar dari ruangan itu.
Ki Jalanta memacu cepat kudanya meninggalkan pesanggrahan menuju utara.
"Heaaa...!"
Lelaki tua ini tidak merasakan kalau ada seseorang yang mengikuti dari belakang dan mengatur jarak dengan baik.
Sementara itu malam semakin larut. Namun cahaya bulan purnama yang memancarkan sinarnya ke mayapada, cukup untuk menerangi laki-laki tua itu dalam berkuda membelah jalan utama yang di kiri-kanannya hanya persawahan. Suara jangkrik dan hewan malam lainnya meningkahi derap kudanya yang berlari makin cepat.
Menjelang subuh ketika ayam jantan hutan mulai berkokok saling bersahutan, Ki Jalanta tiba di halaman sebuah bangunan tua yang tak terurus. Segera laki-laki tua ini turun dan menambatkan kudanya di sebuah pohon yang tumbuh di halaman bangunan tua itu. Matanya langsung beredar ke sekeliling. Yang terlihat hanya halaman tak terurus, penuh daun-daun kering dan ranting-ranting.
Bangunan tua itu sendiri pun bagaikan sarang hantu saja. Sebagian tiang penyangganya telah roboh. Genteng-gentengnya pun berpecahan. Sementara teras depan penuh oleh sampah dedaunan. Sejenak Ki Jalanta mengedarkan pandangan. Baru setelah merasa tak seorang pun mengetahui kehadirannya di sini, laki-laki tua itu segera melangkah ke pintu bangunan tua ini.
Tok! Tok! Tok!
"Siapa?"
Terdengar suara dari dalam, begitu pintu diketuk tiga kali.
"Aku si Lutung Aneh!" sahut Ki Jalanta setengah berbisik. Namun matanya jelalatan memandang keluar.
Tak lama, pintu terbuka. Dan laki-laki tua yang ternyata berjuluk Lutung Aneh ini buru-buru masuk sebelum pintu tertutup kembali. Tepat ketika tubuh si Lutung Aneh lenyap, sebuah bayangan hitam melesat bagai seekor burung. Dan dengan gerakan manis sekali, bayangan hitam itu melenting ke atas bangunan tua ini. Lalu....
Tap!
Seperti lintah, bayangan hitam itu langsung menempel di genteng. Dan dengan perlahan serta hati-hati sekali, dia menggeser sebuah genteng untuk melihat apa yang ada di dalam. Di bawah sana, bayangan ini melihat Ki Jalanta tengah berdiri berhadapan dengan seorang laki-laki bertubuh besar dan berperut gendut.
"Kau yakin kepergianmu tidak diketahui mereka?" tanya laki-laki berperut gendut itu.
"Apa kau meragukan kemampuanku, Sangkaran?!" desis si Lutung Aneh.
"Perempuan aneh itu punya banyak anak buah yang tak bisa dipandang enteng...."
"Jangan khawatir. Aku bisa jaga diri!"
"Apa yang kau bawa?" tanya laki-laki gendut berpakaian bagus ternyata bernama Sangkaran.
"Mereka mengetahui tempatmu di sini, Sangkaran!" sahut si Lutung Aneh. "Mulanya mereka akan menyerbu sekarang juga. Namun berhasil kucegah. Dan akhirnya, perempuan aneh itu menyuruhku untuk menyelidik ke sini."
"Kurang ajar! Siapa yang memberitahukannya itu pada mereka?!" bentak laki-laki setengah baya berperut gendut itu seraya menggebrak kursi.
"Kau tak perlu marah-marah, Sangkaran. Mungkin anak buahmu yang ceroboh, sehingga dua prajurit kerajaan mengetahuinya," kata Ki Jalanta.
"Dua prajurit kerajaan katamu, Jalanta?!"
"Mereka singgah di pesanggrahan. Dan perempuan-perempuan lacur di sana berhasil mengorek keterangan!" jelas Ki Jalanta.
"Keparat! Apakah mereka masih berada di sana?!" dengus Ki Sangkaran.
"Sekarang mungkin sudah pulang...."
"Kirim seekor merpati yang kuat untuk membawa surat, guna memberitahukan orang-orang kita yang ada di sana. Dan bunuh kedua prajurit itu!" perintah Ki Sangkaran.
"Eee, tidak usah buru-buru!" cegah Ki Jalanta.
"Apa maksudmu, Jalanta?"
"Sebelum ke sini, aku telah menitahkan dua anak buahku untuk membereskan mereka sepulang dari pesanggrahan. Kemudian, ku sebar desas-desus kalau mereka dibunuh orang-orang pesanggrahan. Dengan begitu...."
"Hahaha...!" Belum habis bicaranya, Ki Sangkaran tertawa keras sampai perutnya berguncang karena kegirangan. "Luar biasa! Luar biasa, Jalanta! Kau pantas kuangkat jadi penasihat bila aku bisa menduduki kursi kerajaan kelak!"
Ki Jalanta mesem-mesem. Cuping hidungnya kembang-kempis dipuji begitu. Tapi untuk tidak memperlihatkan perasaannya, sebelah tangan dikibaskan untuk menepis.
"Sudah! Sudah! Aku harus kembali secepatnya sebelum matahari ada di ubun-ubun. Dan jangan lupa! Awasi pesanggrahan itu terus. Begitu mereka lengah, kita bereskan seketika!"

***

210. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Wanita BertopengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang