BAGIAN 3

122 9 0
                                    

Matahari baru saja berada di ubun-ubun ketika si Capung Hitam tiba di Pesanggrahan Kembang Melati. Dari depan terlihat keramaian tamu-tamu di rumah makan. Laki-laki berjubah hitam ini menyelinap, masuk ke dalam lewat jalan belakang untuk tidak menarik perhatian tamu-tamu yang tengah makan. Si Capung Hitam tak mempedulikan keadaan di sekelilingnya. Dia terus saja memasuki sebuah ruangan yang dijaga dua orang pengawal.
"Aku harus ketemu Ketua!" kata laki-laki berjubah hitam ini dengan suara dingin.
Kedua pengawal yang tampaknya telah mengenal si Capung Hitam mempersilakan masuk. Begitu sampai di dalam si Capung Hitam rupanya telah ditunggu oleh seorang bertubuh ramping memakai jubah hitam. Rambutnya tergerai hingga pinggang. Hitam dan lebat. Ketika berbalik, terlihat wajahnya ditutupi sehelai topeng hitam terbuat dari kain sutera. Dan hanya menyisakan dua buah lubang untuk melihat.
"Aku menghadap, Ketua!" kata si Capung Hitam sedikit membungkukkan badan.
"Kenapa lama sekali kau muncul?" tanya sosok ramping yang jelas seorang wanita ini.
"Aku harus balik lagi ke sana untuk melihat keadaan...," jelas si Capung Hitam.
"Lalu?" tuntut wanita yang dipanggil Ketua ini.
"Kelihatannya mereka hendak memata-matai kita di sini, atau mungkin juga menyerang."
"Bagaimana si Lutung Aneh?"
"Dia sudah berangkat ke neraka!"
"Hmm.... Orang itu memang tak bisa dipercaya...."
"Orang itu memang sengaja bekerja pada Sangkaran dan disusupkan ke sini."
"Dia pantas menerima akibatnya!" sambar wanita bertopeng itu, mendengus.
"Hanya saja yang tak dapat kuterima, kenapa dia mesti bekerja pada si Sangkaran terkutuk itu? Mestinya dia bisa menghargai niat baikku...."
Dari nada suaranya, jelas kalau wanita bertopeng itu menyesali sikap si Lutung Aneh.
"Buat apa menyesali segala? Orang itu amat licik dan patut menerima akibatnya!" tukas si Capung Hitam.
"Ya, kau benar!" wanita itu mengangguk.
"Siapkan anak buahmu. Kita akan meringkus si keparat Sangkaran sekarang juga sebelum kabur."
"Beres! Dalam sekejap kami telah siap. Tapi sebaiknya tidak usah membawa semua kekuatan. Sisakan untuk menjaga pesanggrahan ini," kata si Capung Hitam seraya mengusulkan.
"Aku juga berpikir begitu. Kerjakanlah!"
Si Capung Hitam memberi hormat, kemudian bergegas keluar.
"Huh! Kau akan terima balasan dariku, Sangkaran terkutuk!" desis wanita bertopeng dengan sinar mata membiaskan kebencian mendalam. Kedua tangannya terkepal, menimbulkan suara berkerotokan. Beberapa saat kemudian, wanita bertopeng ini keluar dari kamarnya.

***

Sebuah tandu diusung oleh empat orang pemuda bertubuh kekar. Di sampingnya, berkuda laki-laki berjubah hitam berkepala besar dan bermata besar. Siapa lagi kalau bukan si Capung Hitam? Di belakang tandu, berjalan lebih dari dua puluh orang berpakaian serba hitam. Di pinggang masing-masing terselip sebilah golok. Rombongan itu telah melintasi jalan utama Desa Sangit dan terus bergerak ke utara.
"Berapa lama kita tiba di sana, Capung Hitam?" Terdengar sebuah pertanyaan dari dalam tandu pada si Capung Hitam yang berkuda di dekatnya.
"Mudah-mudahan sebelum sore kita telah tiba di sana, Ketua," sahut si Capung Hitam.
"Hm, cukup jauh juga perjalanan ini!"
"Tempat itu memang jauh dan, eh?! Apa itu...?"
Mendadak saja dari kejauhan terdengar gesekan rebab yang mengalun pelan dan mendayu-dayu. Suaranya tak terlalu keras, namun dimainkan lewat pengerahan tenaga dalam mengagumkan. Sehingga membuat semua rombongan ini tertegun.
"Siapa kira-kira yang memainkan rebab itu?" tanya suara dari dalam tandu lagi. Suara itu tak lain dan mulut wanita berjubah hitam dan bertopeng kain hitam, majikan si Capung Hitam. Seorang wanita yang menguasai Pesanggrahan Kembang Melati.
"Entahlah.... Rasa-rasanya aku pernah ingat... Sebentar! Hm.... Mungkin si Raja Penyair," duga si Capung Hitam.
"Raja Penyair? Hebatkah dia?" tanya wanita bertopeng hitam itu.
"Kata orang-orang dia termasuk tokoh langka. Namun aku belum pernah bentrok dengannya."
"Waspada saja! Siapa tahu dia kaki tangan si Sangkaran!"
"Sangkaran tak akan mampu membeli dirinya, Ketua!" tegas si Capung Hitam.
"Kenapa kau bisa berkata begitu?" tanya wanita itu.
"Harga dirinya kelewat tinggi untuk tunduk pada perintah orang lain."
"Meski begitu, tetap kita mesti waspada."
"Baik, Ketua!"
Baru saja tak ada yang bicara lagi dari arah berlawanan tampak seseorang bertubuh ramping seperti wanita. Rambutnya yang panjang sepinggang agak kemerahan, dibiarkan lepas begitu saja tanpa pengikat. Wajahnya ditutupi topeng kayu berbentuk wajah seorang wanita bergincu amat merah dan berbedak tebal. Hidung topeng dibuat lebar. Tangan kirinya memegang rebab. Sementara tangan kanannya memegang penggesek. Tanpa mempedulikan keadaan di sekeliling, dia menggesek rebab. Begitu menikmati sambil bersyair.

210. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Wanita BertopengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang