BAGIAN 8

126 10 1
                                    

Si Capung Hitam tercengang begitu sampai didepan. Beberapa anak buahnya tampak bergelimpangan menjadi mayat. Di dekatnya terdapat bangkai hewan seperti anjing, babi hutan, burung-burung kecil dan ular. Kemudian tidak jauh dari pintu depan terlihat seorang laki-laki kurus bertelanjang dada tengah berdiri tersenyum-senyum. Orang itu memakai sorban putih dan memakai cawat yang terbuat dari selendang putih yang dililit sedemikian rupa. Di sekelilingnya terlihat segala jenis binatang.
"Kurang ajar! Apa yang kau perbuat di sini?!" Hardik si Capung Hitam.
"Monyet busuk! Jangan banyak bicara kau! Panggil ketuamu ke sini!" balas laki-laki bersorban yang mengaku bernama Banghadur Gupta!
"Setan! Setelah apa yang kau perbuat, kau masih pentang bacot di sini! Huh! Nyawamu ada di tanganku, Cacing Busuk!"
Baru saja Ki Anjer selesai membentak, Banghadur Gupta telah mengibaskan tangan kanan. Seketika serangkum angin kencang menerpa kuat ke arahnya.
"Hup! Kurang ajar!" Namun orang kepercayaan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati itu cepat melompat ke atas menghindarinya.
Krakkk!
Akibatnya, sebatang pilar yang ada dibelakang si Capung Hitam roboh dalam keadaan hancur. Namun bahaya lain mengintai Ki Anjer. Dua ekor serigala tiba-tiba menerkam gesit dari dua arah yang berlawanan. Secepatnya Ki Anjer mencelat keatas. Tubuhnya berputaran di udara. Lalu meluruk sambil menghantam salah satu serigala.
Plak!
"Kaing!"
Seekor serigala berhasil ditewaskan. Sementara yang seekor lagi berhasil dihindari si Capung Hitam dengan menjatuhkan diri. Namun begitu Ki Anjer bangkit berdiri, Banghadur Gupta telah mengibaskan tangannya. Seketika dari telapak tangannya melesat sinar berwarna kuning keemasan.
Jdegg!
"Aaakh...!"
Si Capung Hitam terpental beberapa langkah sambil menjerit kesakitan ketika sinar kuning menghantam tubuhnya. Dari mulutnya menyembur darah segar. Sebelah tangannya mendekap dada.
"Hihihi...! Hanya seginikah kemampuan orang andalanmu, Malini?! Ayo, keluarlah! Jangan sembunyi terus di dalam!" teriak Banghadur Gupta.
"Keparat!" Si Capung Hitam menggeram, seraya berusaha hendak bangkit. Tanpa menghiraukan rasa sakit yang diderita, dia bermaksud menyerang kembali, namun....
"Tahan!"
Terdengar seruan seseorang dari belakang.
Cepat si Capung Hitam berbalik.
"Oh, Ketua!"
"Hihihi...! Akhirnya kau keluar juga, Anak Bengal!" seru laki-laki ceking dan berkulit hitam itu melihat kemunculan Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati. Perempuan bertopeng itu memandang sekilas. Lalu perhatiannya dialihkan pada si Capung Hitam.
"Berapa lama waktu yang kau perlukan untuk memanggil gurumu ke sini?" tanya wanita bertopeng hitam yang dipanggil Malini.
"Apa maksud, Ketua?!" tanya Ki Anjer.
"Berapa lama kataku?!"
"Oh! Tapi..., tapi...."
"Jawab, Ki Anjer!"
"Baiklah. Mungkin sekitar sepenanakan nasi...."
"Hmm! Kalau begitu, dia tak jauh dari sini."
"Sebaliknya, Ketua. Aku bahkan tak tahu, seberapa jauh dia dari sini. Tapi aku punya cara untuk menghubunginya agar dia segera ke sini. Dan baginya jarak bukanlah persoalan sulit. Begitu pesanku diterima, maka dalam sekejap dia akan ke sini!" jelas Ki Anjer.
"Kalau begitu, lekas panggil dia!"
"Tapi, Ketua...."
"Aku tak peduli dengan syarat-syarat yang diajukannya! Lekas! Pergilah kau lewat jalan belakang, setelah aku berurusan dengan laki-laki kurus ini. Katakan pada gurumu, dia harus menyelamatkanku dari laki-laki kurus ini!" perintah Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati.
"Tapi, Ketua...."
Perempuan itu tak menjawab, dan terus melangkah mendekati laki-laki kurus berkulit hitam itu.
"Hehehe...! Malini! Bagaimanapun kau bersembunyi, mana mungkin bisa lari dariku. Apalagi dengan mengenakan topeng buruk itu! Hehehe...!" oceh Banghadur Gupta.
"Ayah! Terimalah sembah hormat anakmu...!" ujar Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati sambil berlutut di hadapan laki-laki kurus berkulit hitam itu.
"Hihihi...! Bagus, bagus! Ini baru namanya anak yang berbakti!" seru Banghadur Gupta. "Tapi bukan berarti aku mengampunimu, Malini!"
Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati yang memang Malini, menggigil tubuhnya mendengar kata-kata Banghadur Gupta.
"Kau telah lari dariku dengan membawa benda-benda berharga yang selama ini kusimpan bertahun-tahun!" desis Banghadur Gupta.
"Tapi, Ayah.... Bukankah Ayah telah lihat hasilnya? Lihat pesanggrahan ini! Indah, bukan? Ini kubangun khusus untuk Ayah. Kalau menunggu Ayah berbuat, sampai kapan akan terwujud?" kilah Malini.
"Hihihi...! Kau mewarisi kepintaran berkelit dariku rupanya. Tapi jangan kira aku tak mengetahuinya. Kau akan tetap dapat hukuman atas kelancanganmu!" ancam laki-laki kurus, ayahnya Malini.
"Tapi, Ayah...!"
"Nanti malam akan datang ke sini seorang hartawan kaya raya. Kau harus melayaninya selama dua hari dua malam!"
"Ayah...?!"
"Keputusanku tak bisa ditawar-tawar!" tukas Banghadur Gupta. "Perintahkan anak buahmu yang tersisa untuk membereskan bangkai-bangkai ini sekarang juga. Dan kau! Berdandanlah yang rapi! Buka topeng bulukan yang melekat di mukamu itu!"
Malini tak berani membantah sepatah kata pun titah Banghadur Gupta. Namun untuk bangkit pun, rasanya tak kuat. Rasanya kekuatannya dihimpit oleh perasaan yang berkecamuk di hati atas perintah yang ditimpakan Banghadur Gupta kepadanya.
Namun sebelum Malini bersuara, muncul seorang pemuda berompi putih di halaman depan bangunan pesanggrahan.
"Banghadur Gupta! Maafkan! Anakmu harus menyelesaikan urusannya padaku!" kata pemuda yang tak lain Pendekar Rajawali Sakti.
"Hei!"
Banghadur Gupta cepat menoleh. Bibirnya langsung tersenyum-senyum ketika mengenali pemuda itu.
"Kau rupanya, Bocah! Hehehe...! Dunia ternyata hanya sedaun kelor. Dan tak kusangka kita akan bertemu lagi di sini."
"Kakang Rangga...!" desis Malini. Gadis ini baru saja hendak bangkit menghampiri, namun....
"Diam di tempatmu!" bentak Banghadur Gupta, nyaring.
Langkah Malini kontan terpaku.
"Ohh...!" Seperti dilolosi tulang-belulangnya, tubuh Malini ambruk tak berdaya.
"Mentang-mentang ada gendakmu di sini, kau kira bisa berbuat seenaknya?!" dengus Banghadur Gupta.
"Banghadur Gupta! Kau boleh berbuat apa saja terhadapnya. Tapi kuharap, jangan ikut campur dalam urusan kami!" tangkis Pendekar Rajawali Sakti.
"Hihihi...! Kau kira bisa menolongnya dalam cengkeramanku, Bocah? Dia putri ku. Dan kau tak berhak ikut campur! Kalau tidak, jangan salahkan kalau aku menurunkan tangan jahat padamu!" ancam Banghadur Gupta tertawa mengejek.
"Meski rajawali raksasa itu kau perintahkan untuk melawanku, jangan kira kali ini aku tak mampu mempengaruhinya untuk membunuhmu!" (Banghadur Gupta pernah bertemu Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Memburu Rajawali)
"Aku tak perlu sahabatku untuk menghajarmu! Aku saja sudah cukup!"
"Hehehe...! Bocah sombong! Dengan mengandalkan apa kau ingin menghadapiku?"
"Aku tak mengandalkan apa-apa...," sahut Rangga datar.
"Jangan sok merendah! Aku punya banyak cara untuk melumpuhkanmu, tahu?! Salah satunya ini!" Begitu habis kata-katanya, Banghadur Gupta mengibaskan tangan. Maka saat itu juga tiga ekor serigala dan empat ekor elang menyerang Pendekar Rajawali Sakti dari segala penjuru.
"Hehehe...! Kalau ini bukan sihir, Bocah! Kau boleh hadapi mereka dulu sebelum aku turun tangan!"
"Hup!"
Rangga mundur dua langkah langsung memasang kuda-kuda kokoh. Kedua telapak tangannya merapat di depan dada. Lalu tiba-tiba....
"Aji 'Bayu Bajra'...!" Disertai bentakan nyaring Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan kedua tangannya kesegala penjuru. Seketika dari kedua telapaknya melesat angin keras bagai badai topan.
Wuuurr...!
"Kaing...!"
Angin kencang laksana badai topan kontan menyapu binatang-binatang yang hendak menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Binatang-binatang itu beterbangan jauh tak tentu arah.
"Heaaa...!"
Begitu menutup ajiannya, Rangga bertindak tidak kepalang tanggung. Seketika tubuhnya berkelebat cepat bagai kilat dengan rangkaian jurus-jurus 'Rajawali Sakti' menyerang Banghadur Gupta.
"Hihihi...! Dasar bocah dungu! Kau akan mati di tanganku!" leceh laki-laki kurus kering itu.
Plas!
Saat itu juga Banghadur Gupta menghilang membuat serangan Rangga hanya menyambar-nyambar angin. Pendekar Rajawali Sakti jadi celingukan ketika terdengar tawa laki-laki kurus itu.
"Hmm!"
Rangga menggumam tak jelas. Dia tak sudi terpancing oleh tipu muslihat lawan. Secepat itu matanya dipejamkan. Kini dia mengandalkan tenaga batin serta pendengarannya.
"Hahaha...! Ayo, serang aku lagi! Ayo, serang, Bocah Tolol!" seru Banghadur Gupta yang kasat mata.
"Yeaaa...!"
Rangga bergerak ke kanan, seraya mengibaskan tangannya yang berisi tenaga dalam tinggi. Kemudian dia melompat tiga langkah ke depan, lalu terus mengejar ke samping kiri empat langkah. Tak terdengar suara tawa Banghadur Gupta yang terdengar malah seruan kaget.
"Sialan!" maki suara tanpa wujud.
"Tak perlu memaki, Orang Asing!"
"Ternyata kehebatanmu boleh juga. Tapi aku punya kejutan untukmu, Bocah Edan!" Banghadur Gupta yang kembali menampakkan wujud kasarnya, bergerak menjauh. Dan sebelum Rangga sempat menyerang, dia memutar telunjuk kanan beberapa kali.
Wusss...!
Terdengar angin halus bertiup pelan. Namun mendadak berubah cepat, menimbulkan suara gemuruh seperti badai topan. Suara pasir bergerak, daun-daun bergemerisik. Dan sesekali diiringi suara guntur.
"Hm.... Apa yang tengah diperbuatnya?" gumam Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga termangu. Dan sesaat dia tak tahu harus berbuat apa. Pada saat yang sama terdengar suara tawa Banghadur Gupta dari segala penjuru.
"Hihihi...! Ayo, kerahkan segala kemampuanmu untuk menghadapi permainan ini, Bocah Dungu! Ayo, kerahkan seluruh kehebatanmu! Hihihi...!"
Rangga jadi ragu sendiri. Apakah semua ini sihir atau kesaktian laki-laki kurus itu.
"Kalau kubuka mataku, jangan-jangan aku akan terus terperangkap ke dalam sihirnya. Tapi kalau tidak kubuka, keadaanku akan semakin payah.... Apa yang mesti kuperbuat?"
Belum lagi Rangga menentukan keputusan, mendadak terasa dua desir angin dari arah depan dan belakang yang bergerak ke arahnya. Cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas dengan mata masih terpejam. Lalu....
Jdaggg!
"Aaakh...!"
Tak disangka-sangka, satu hantaman telak menggedor dada Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kontan terlempar ke belakang sambil menjerit tertahan. Sebelah tangannya mendekap dada. Meski begitu, dia masih sempat menguasai diri dengan berputaran diudara. Lalu kakinya mendarat empuk di tanah.
"Aku akan patahkan kedua tangan dan kakimu sebagai tanda mata dariku!" teriak Banghadur Gupta.
Rangga bertindak nekat. Sambil membuka mata dan menunduk ke bawah, dia mencabut pedang.
Sring!
Begitu pedang tercabut, pada saat itu terdengar suara bergemuruh. Rangga tersentak kaget demikian pula Banghadur Gupta!
"Hahaha...! Ada gadis cantik menungguku! Dan aku sudah tak sabar hendak merangkulnya!"
Siuttt!
"Oh, Ayaaah...! Kakang Ranggaaa...!"
"Malini...?!"
Rangga dan Banghadur Gupta sama-sama berseru kaget. Kejadian ini berlangsung demikian cepat. Tadi mereka sempat melihat kelebatan bayangan yang bergerak amat cepat membawa satu sosok tubuh. Bahkan Rangga sendiri melihatnya samar-samar. Kemudian jeritan Malini terdengar. Lalu bayangan itu lenyap bersamanya.
"Iblis terkutuk! Kau kira bisa lari begitu saja dariku?!" teriak Banghadur Gupta, kalap.
Secepatnya, laki-laki tua kurus berkulit hitam itu mengejar dengan mengerahkan segenap ilmu meringankan tubuhnya. Semula Rangga ingin ikut mengejar. Tapi setelah berpikir sesaat, niatnya diurungkan. Pedangnya yang memancarkan sinar biru berkilau telah kembali ke dalam warangkanya.
"Aku tengah terluka. Dan..., tak ada untungnya aku mengejarnya. Buat apa? Menyelamatkannya? Kurasa tak perlu. Karena, toh dia pun bermaksud buruk padaku.... Dan lagi, aku yakin ayahnya bisa menyelamatkannya...," gumam Pendekar Rajawali Sakti dalam hati.
Dengan langkah lesu, Rangga meninggalkan tempat itu. Namun....
"Tuan...! Tuan, tunggu.. !"
Rangga berbalik saat mendengar seruan dari belakang. Tampak seorang perempuan muda tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Tuan, tunggu sebentar! Jangan pergi dulu!" cegah perempuan ini.
"Siapa kau?" tanya Rangga.
"Aku..., aku abdi setia Ketua...," sahut perempuan muda itu dengan napas terengah-engah.
"Namaku..., namaku Nganinten."
"Hm. Maksudmu, Malini? Lalu apa maksudmu menghentikan langkahku?" tanya Rangga lagi.
"Aku..., aku ingin minta pertolonganmu, Tuan...."
"Pertolongan apa?"
"Tuan...! Kudengar kau seorang pendekar budiman. Maka kau tentu bersedia menolongku...."
"Pertolongan apa yang bisa kuberikan padamu?"
"Tapi, tentu Tuan berjanji melakukannya, bukan?"
"Nganinten! Aku tak tahu pertolongan apa yang kau inginkan. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa mengabulkannya?"
"Tolonglah Ketua, Tuan...."
"Hmm! Kalau itu tidak bisa!" sahut Rangga tegas.
"Tuan, tolonglah Tuan! Tolonglah dia...!" seru Nganinten seraya menubruk dan memeluk sebelah kaki pemuda itu erat-erat.
"Tolong, Nganinten. Jangan cegah aku. Lepaskanlah kakiku," ujar Rangga halus.
"Aku tak akan melepaskannya sebelum Tuan mengabulkan permintaanku!" tegas Nganinten.
"Aku tak akan menolong orang yang telah mengecewakanku. Bahkan dia bermaksud membunuhku...!"
"Membunuhmu? Tidak! Itu tidak benar! Ketua tidak pernah punya maksud membunuhmu, Tuan!" sanggah Nganinten.
"Apa yang kau tahu soal itu?" sahut Rangga datar. "Beberapa orangnya datang menyergapku, lalu meringkusku setelah majikanmu memberi ajian pelumpuh raga dalam minuman ku!"
"Tuan! Kau salah sangka! Majikanku sama sekali tak bermaksud membunuhmu!" seru Nganinten
"Kalau tidak, tak perlu dia menggunakan cara seperti itu!"
"Dia hanya tak ingin jati dirinya diketahui..., oleh Tuan...!"
"Hmm!"
Rangga berpikir sebentar. Dan Rangga teringat kalau Malini menerangkan bahwa Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati adalah kawannya. Padahal sebenarnya gadis itu sendiri. Dan para penyergap Pendekar Rajawali Sakti dipimpin oleh anak buah pemimpin pesanggrahan itu. Paling tidak agar timbul seolah-olah pemimpin pesanggrahan itu yang bermaksud meringkusnya. Dan saat mereka menyerang, sama sekali tak bermaksud membunuhnya.
Apalagi saat mendengar umpatan kekesalan dua orang pengeroyok yang tengah mengikatnya. Mereka begitu geram hendak membunuhnya, namun terhalang oleh perintah majikan Pesanggrahan Kembang Melati. Dan yang belakangan baru diketahui, ternyata Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati itu adalah Malini sendiri. Tapi apa maksudnya berbuat seperti itu?
"Bagaimana? Tuan tentu mau menolongnya, bukan?" desak Nganinten.
"Siapa sebenarnya orang itu...?" tanya Rangga.
"Aku tak sengaja menguping pembicaraan beliau dengan Ki Anjer...," jelas Nganinten.
"Ki Anjer?"
"Si Capung Hitam! Ketua telah memperhitungkan kalau Tuan bakal datang dan menghajarnya. Oleh karenanya, dia bersiap-siap. Disuruhnya si Golok Terbang mencari jago silat yang mampu menandingi Tuan. Belakangan si Capung Hitam menawarkan diri dan bermaksud memanggil gurunya. Tapi tabiat gurunya itu aneh. Dan itulah yang aku takutkan. Menurut si Capung Hitam, gurunya gila perempuan!"
Rangga kembali terdiam. Entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini.
"Aku tak bisa menjanjikan karena aku pun ada urusan lain yang mesti kuselesaikan. Tapi kalau kesempatan itu ada, aku akan berusaha menolongnya..."
Setelah berkata begitu, Rangga berkelebat cepat sekali diikuti pandangan kosong Nganinten.

***

TAMAT

🎉 Kamu telah selesai membaca 210. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Wanita Bertopeng 🎉
210. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Wanita BertopengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang