BAGIAN 6

96 10 0
                                    

Suasana jadi hening saat antara Rangga dan Malini tak ada yang bersuara. Gadis itu tersenyum malu dengan kepala tertunduk, menyembunyikan wajahnya yang memerah dadu. Sedangkan Rangga diam membisu, tak tahu mesti bicara apa.
"Seperti yang pernah kujanjikan, aku membawakannya untukmu...," kata Rangga, memecah keheningan sambil menunjuk Adipati Sangkaran.
"Kakang, aku tak tahu harus berkata apa! Kau..., kau baik sekali padaku," ucap gadis ini.
"Hanya ini yang bisa kulakukan padamu. Dia tak sadarkan diri. Dan terserah padamu, hukuman apa yang hendak kau jatuhkan padanya."
"Dia akan mendapat hukuman berat!" dengus Malini.
"Mestinya begitu."
"Tapi tidak sekarang...."
"Hmm!"
Gadis itu tersenyum lebar melihat Rangga mengerutkan dahi.
"Aku ingin pertemuan kita ini dirayakan meski hanya kecil-kecilan. Terakhir, Kakang cepat sekali berlalu..."
"Ah, ya! Aku sampai lupa. Bagaimana kabar ayahmu?" tanya Pendekar Rajawali Sakti.
Malini menarik napas lalu berpaling. Kemudian bangkit berdiri mendekati pintu. Dipanggilnya seorang pengawal untuk membawa keluar Ki Sangkaran.
"Tolong perketat penjagaan! Jangan sampai dia lolos!" ujar gadis ini, tegas.
Pengawal itu mengangguk, lalu membawa Adipati Sangkaran keluar. Setelah itu, Malini menutup pintu dan kembali duduk di dekat Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tak betah tinggal bersama Ayah...," desah Malini, lirih.
"Apakah dia galak?" tanya Rangga.
"Tidak."
"Lalu?"
Malini tak langsung menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam.
"Tak apa. Kalau memang berat menceritakannya, kita bisa bercerita hal-hal lain!" kata Rangga sambil tersenyum lebar.
"Tidak. Aku memang ingin menceritakannya. Telah lama kusimpan sendiri. Dan aku berharap suatu saat aku bisa berbagi duka denganmu, Kakang. Dan siapa nyana ternyata keinginanku terpenuhi. Maukah Kakang mendengarnya?" kata Malini, sedikit manja.
"Aku suka sekali! Tapi..., rasanya kita berada di tempat yang salah...," sahut Pendekar Rajawali Sakti seraya memperhatikan keadaan sekeliling ruangan ini.
"Kenapa? Kakang merasa tidak tenang di sini?"
"Entahlah...."
"Pemilik tempat ini baik. Dan dia kawan karib ku ketika aku masih kecil. Syukur dia mau menampungku di sini...," tutur Malini, menjelaskan tanpa diminta.
"Kau betah di sini?" tanya Rangga.
"Ya, ketimbang bersama ayahku. Yang beliau pikirkan hanya harta dan bagaimana menumpuknya. Aku tetap saja tak merasakan kasih sayang seorang Ayah. Belakangan, beliau malah tergila-gila dengan wanita. Aku bosan melihatnya. Maka aku memilih kabur," papar Malini, sendu.
"Kabur? Apakah kau punya tujuan?" Rangga tertarik mendengarnya.
Malini menggeleng lemah.
"Aku menuruti kemana kakiku melangkah saja. Dan..., pernah terlintas dalam benakku untuk mencarimu, Kakang.... Tapi kurasa kau pasti tak suka kuikuti seperti dulu."
Rangga terdiam. Dia memang tak suka diikuti. Apalagi oleh seorang gadis. Tapi untuk membenarkan kata-kata Malini tentu saja akan menyakiti hati gadis itu.
"Lalu aku bertemu Pemimpin Pesanggrahan Kembang Melati yang bersedia menampungku disini. Aku menceritakan kesulitanku. Juga, menceritakan tentang keinginanku meringkus si Sangkaran. Dan..., seperti yang Kakang lihat. Dia betul-betul baik dan rela berkorban segalanya untuk memenuhi keinginanku," papar Malini.
"Tanpa pamrih?" tanya Rangga.
Malini tersenyum sambil menggeleng.
Tok! Tok! Tok!
Pada saat itu terdengar ketukan dari luar. Gadis itu buru-buru bangkit. Begitu pintu dibuka, tampak seorang gadis berdiri di ambang pintu membawa nampan berisi makanan dan minuman. Lengkap dengan piring serta cangkir.
"Letakkan di meja. Dan kau boleh kembali ketempat mu!" ujar Malini.
Gadis itu melakukan apa yang diperintahkan tanpa menoleh pada Rangga. Sesudah memberi hormat, buru-buru dia keluar seraya menutup pintu.
"Mereka semua menghormatimu. Apa sebenarnya tugasmu di sini?" tanya Rangga ketika gadis itu menghidangkan secawan arak berbau harum padanya.
"Tugasku?" Malini tersenyum. "Aku tak punya tugas apa-apa."
"Hm.... Jarang ada seorang kawan sebaik itu!"
"Ya," sahut Malini mengangguk pasti. Entah dia tahu atau tidak kalau Rangga menyindir. Malini mengangkat cawan, langsung menyodorkan pada pemuda itu.
"Kakang, silakan!" kata Malini, halus.
"Terima kasih!" Tanpa menaruh curiga, Rangga menenggak arak. Dan begitu habis, Malini menuangkannya lagi
"Kakang.... Kau boleh menginap di sini kalau suka. Sebentar lagi malam...," kata Malini. Suaranya terdengar lirih dan berbisik.
"Aku tak bisa, Malini...," tolak Rangga halus.
"Sayang sekali...," keluh gadis ini dengan wajah kecewa
"Paling tidak, aku tak bisa menginap di tempat seperti ini."
"Kalau begitu, mengapa kita tidak cari tempat penginapan yang lain?!"
Rangga tersenyum melihat wajah gadis itu berbinar menawarkan usul.
"Tidak perlu...."
Lagi-lagi Malini cemberut.
"Yaaah, aku memang sudah menduga demikian. Kalau memang tak bisa, tak apa. Tapi paling tidak, Kakang telah menemaniku di sini barang sesaat. Itu pun sudah amat menggembirakanku...," desah Malini.
"Aku harus pergi, Malini...," kata Rangga seraya bangkit. Dan mendadak kepalanya terasa pusing bukan main.
"Begitu cepatkah? Sedangkan arak ini belum lagi habis," cegah Malini halus.
"Tidak. Aku tak boleh banyak-banyak minum arak."
Malini menunduk dengan wajah murung. Usahanya untuk menahan pemuda itu kembali menemui jalan buntu.
"Aku pergi sekarang. Sampaikan salamku pada kawanmu...," pamit Rangga sambil meninggalkan ruangan.
Dari kejauhan Pendekar Rajawali Sakti menoleh sekali lagi. Tampak Malini belum juga mengangkat kepala di depan bangunan pesanggrahan. Ditariknya napas dan menguatkan tekad. Tidak baik baginya berlama-lama di sini. Berdua dengan seorang gadis cantik dalam suasana seperti itu, rasanya Rangga tak ingin terburu. Apalagi sepertinya dia mengetahui hasrat hati gadis itu padanya. Kalau saja Pendekar Rajawali Sakti sedikit memberi perhatian lagi, maka sama artinya dengan memberi harapan.
Padahal itu tak diharapkannya. Ada bayangan Pandan Wangi yang cepat menyelinap dan mengingatkannya. Sejurus kemudian langkah Pendekar Rajawali Sakti kembali terayun tegar semakin jauh meninggalkan pesanggrahan. Sekilas langkahnya hanya satu-satu. Namun kenyataannya tubuhnya begitu cepat berkelebat. Sungguh suatu pameran ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi.
Namun ketika berada cukup jauh dari Desa Sangit, Pendekar Rajawali Sakti menghentikan langkahnya. Tepat di ujung tikungan jalan, telah berdiri lima sosok tubuh berpakaian serba hitam menghadang. Bahkan dua dari mereka sudah meluruk menyerang dengan sabetan pedang.
"Yeaaa...!"
"Sialan!"
Rangga memaki kesal, namun cepat meliuk-liukkan tubuhnya menghindari tebasan pedang. Begitu mendapat celah untuk menyerang, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke atas. Tubuhnya berputaran dua kali, dan mendadak kedua kakinya menghajar.
"Hiih!"
Desss...! Desss...!
"Aaakh...!"
Dua orang berbaju serba hitam itu kontan terjungkal ke belakang disertai pekik kesakitan. Tapi bersamaan dengan itu, tiga orang lainnya maju merangsek. Bahkan kemudian belasan orang lagi melompat dari balik semak-semak ikut menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!" Rangga lompat ke belakang beberapa langkah. Di pasangnya kuda-kuda kokoh, siap mengerahkan aji 'Bayu Bajra'. Namun....
"Ohh...! Ada apa ini? Kenapa kepalaku terasa berdenyut dan pusing sekali?!" keluh Rangga dalam hati. "Apakah Malini yang...."
"Yiaaa...!"
Tengah Pendekar Rajawali Sakti mengalami gejala aneh dalam dirinya serta memikirkan siapa orang yang mempengaruhi daya kerja tubuhnya, para pengeroyok telah menyerang semakin beringas.
"Hup!"
Pendekar Rajawali Sakti berniat melenting tinggi ke udara. Namun sedikit pun tubuhnya tak mampu bergerak.
"Gila! Tenagaku pun seperti cepat terkuras habis. Celaka! Apa yang telah terjadi padaku? Malinikah yang berbuat. Tapi rasanya...."
Desss!
"Aaakh...!"
Kata-kata Rangga terpenggal oleh satu tendangan yang mendarat di punggungnya. Tubuhnya terjajar ke depan beberapa langkah. Kesempatan itu digunakan salah seorang lawan untuk melepas hantaman keras dan bertenaga dalam tinggi.
Buk!
"Uhh!"
Rangga terhuyung-huyung sambil menekap dadanya
"Ayo, terus! Dia sudah hampir lemah...!" teriak seseorang.
"Lekas...!"
"Yeaaa...!"
Apa yang dikatakan orang itu memang benar. Keadaan Rangga saat ini benar-benar tidak menguntungkan. Kepala pusing dan berat, serta pandangan berkunang-kunang. Dan yang lebih mengkhawatirkan, tenaganya pelan-pelan terkuras tanpa bisa dicegah lagi.
Namun dalam hati Pendekar Rajawali Sakti yakin kalau keadaannya disebabkan oleh makanan dan minuman yang disediakan Malini, yang mungkin telah diberi ajian tertentu. Pada saat itu dua sabetan pedang berkelebat ke arah Rangga. Satu ke leher dan satu lagi ke pinggang. Pendekar Rajawali Sakti berusaha menghindar dengan susah payah. Tubuhnya berputar sambil membungkuk, lalu lompat ke belakang. Tapi begitu menjejak tanah....
Dess! Begkh!
"Aaakh...!"
Satu tonjokan di dada, dan tendangan geledek ke perut. Membuat pemuda itu kontan terpental beberapa langkah ke belakang dan jatuh berdebuk keras di tanah.
"Ringkus dia...!"
Srap!
"Uhh...!"
Begitu terdengar teriakan, pada kejap itu juga melayang sebuah jala yang membungkus tubuh Pendekar Rajawali Sakti sebelum sempat bangkit berdiri. Percuma saja Rangga berontak karena jala itu terbuat dari oyot-oyot yang amat alot. Apalagi tenaga dalamnya tak mampu dikerahkan. Maka Pendekar Rajawali Sakti seperti seekor ikan yang tak berdaya dalam jala.
"Hahaha...! Ternyata hanya cuma segini kehebatan Pendekar Rajawali Sakti!"
Rangga kembali berusaha berontak, namun tubuhnya terasa lemas sekali. Tulang-tulangnya terasa dilolosi, sehingga tak dapat bergerak.
"Hahaha...! Atau barangkali kita menangkap Pendekar Rajawali Sakti palsu?" timpal yang lain.
Semua pengeroyok tertawa terbahak-bahak. Sementara dua orang segera menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Mereka mengeluarkan tangan dan kaki Pendekar Rajawali Sakti dari celah-celah jala, lalu mengikatnya. Bahkan seluruh tubuh Rangga pun dibebat seperti seekor binatang buruan.
"Huh! Kalau saja tak ada perintah, akan kugorok lehernya sekarang juga!" dengus salah seorang.
"Aku juga! Sudah lama sekali aku menunggu saat seperti ini. Kalau sudah mampus, dia tak akan bisa bertingkah lagi!" timpal yang lain.
"Kita bawa dia sekarang!" teriak seseorang yang agaknya bertindak sebagai pimpinan kawanan ini.
"Huh!"
Dengan kasar kedua orang yang tadi mengikat segera memikul tubuh Pendekar Rajawali Sakti seperti membawa babi hutan hasil buruan. Dari sela-sela jala, dimasukkan sebatang bambu untuk memikul.
"Begini sudah lebih baik. Mestinya kita seret dia!" dengus salah seorang pemikul.
"Sudah! Jangan cerewet terus. Kita cuma menjalankan perintah Ketua. Jadi jangan bicara macam-macam!"
Mendengar bentakan, dua orang pemikul diam membisu. Kini mereka melanjutkan perjalanan dengan tenang. Namun belum lagi sampai di batas Desa Sangit, mendadak...
"Hm, si Raja Penyair!" dengus pemimpin kawanan ini, ketika mendengar suara gesekan rebab.
"Kebetulan bertemu di sini!"
"Kita hajar dia?" tanya kawannya.
Tak ada jawaban. Masing-masing telah mengepalkan kedua tangan dengan raut wajah terlihat memendam kegeraman. Dari arah berlawanan tampak pemain rebab yang dimaksud berjalan tenang seperti tak mempedulikan kehadiran mereka. Sosok itu memang Raja Penyair.
"Hei, Raja Penyair! Kebetulan kau berada di sini!" bentak laki-laki bertubuh kekar yang menjadi pemimpin. Tahu-tahu dia telah berdiri di depan Raja Penyair dengan golok besar dan panjang di tangan kanan.
Raja Penyair menghentikan langkahnya. Matanya memandang sekilas. Terlihat bola matanya bergerak-gerak di balik topeng yang dikenakannya. Namun seperti tak peduli, kembali kakinya melangkah sambil menggesek rebananya.
"Kurang ajar! Aku tengah bicara padamu. Dan kau harus mendengar!" bentak laki-laki kekar itu dengan tubuh menggigil menahan geram.
"Aku tak bicara dengan seekor kerbau tolol...!" sahut Raja Penyair seenaknya, dan terus melenggang melewati laki-laki kekar itu.
"Kurang ajar! Belum pernah ada orang yang bicara seperti itu pada Golok Terbang. Karena berarti kematian semakin dekat!" dengus laki-laki kekar berjuluk si Golok Terbang seraya membabatkan goloknya sambil melompat.
"Sekarang aku yang mengatakannya. Dan kau tak akan percaya kalau sebenarnya kematianmu yang begitu dekat!" sahut Raja Penyair tanpa menoleh.
Siut!
Sedikit lagi golok akan menebas leher, Raja Penyair membungkuk. Tubuhnya cepat berbalik sambil mengibaskan penggesek.
"Oh...?!" Si Golok Terbang berseru kaget. Gelagapan dia menangkis dengan tangan.
Pletak!
"Aaah.. !"
Kontan si Golok Terbang menjerit kesakitan seraya terjajar ke belakang. Pergelangan kakinya nyaris patah dengan rasa sakit tak terkira.
"Itu baru permulaan...!" ejek Raja Penyair tersenyum.
"Keparat! Kubunuh kau! Kubunuh kau, Penyair Busuk...!" bentak si Golok Terbang kalap. Dan dengan serta merta, laki-laki kekar itu melompat kembali. Goloknya diputar sedemikian rupa, hingga menimbulkan suara mendesing tajam.
"Permainan golokmu buruk. Dan kau sama sekali tak berbakat!" ejek Raja Penyair. Dengan tenang, Raja Penyair merendahkan tubuhnya. Penggeseknya dikibaskan, menangkis sambaran golok.
Trak!
Begitu si Golok Terbang terjajar, ujung penggesek Raja Penyair berputaran. Seketika terasa angin kencang bergulung-gulung kearah pelipis.
"Uhh...!"
Si Golok Terbang terkejut. Gerakannya terhambat. Dan sebelum dia menyadari apa yang terjadi, satu sabetan mendera punggungnya.
Plar!
"Aaakh...!"
Terdengar jeritan si Golok Terbang yang melengking. Kulit punggungnya robek dan berdarah. Wajahnya semakin geram saja melihat lawan yang tersenyum-senyum.
"Setan!"
Dengan mengumpat geram, si Golok Setan memberi isyarat pada anak buahnya. Belasan orang langsung bergerak serentak setelah mencabut senjata. Sikap mereka siap menyerang.
"Hehehe...! Hendak mengeroyokku? Kenapa tidak sejak tadi?!" ejek Raja Penyair.

***

210. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Wanita BertopengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang