BAGIAN 2

116 11 0
                                    

"Heaaa...!" Ki Jalanta yang ternyata mempunyai julukan si Lutung Aneh telah menggebah kudanya kuat-kuat, meninggalkan bangunan tua yang tadi dikunjunginya.
"Hm.... Mudah-mudahan tak ada pihak pesanggrahan yang mengikutiku," gumam laki-laki tua ini sambil memperhatikan keadaan sekeliling. Si Lutung Aneh semakin jauh berkuda. Kini bangunan tua yang porak-poranda itu pun tidak kelihatan lagi. Dan sejauh ini perjalanannya aman-aman saja. Namun....
"Hooop...!"
Ki Jalanta menarik tali kekang kudanya, ketika tiba-tiba pada jarak sepuluh tombak melompat satu bayangan hitam dari balik pepohonan hutan kecil itu dan langsung berdiri menghadang. Untungnya, si Lutung Aneh ini cukup tangkas mengendalikan kudanya yang langsung berubah liar dengan mengangkat dua kaki depannya tinggi-tinggi. Maka sebentar kemudian kudanya telah bisa ditenangkan kembali.
"Kisanak, menepilah! Kau menghalangi jalanku..." desis Ki Jalanta, dingin.
"Aku memang sengaja menghambatmu di sini, Ki Jalanta," sahut sosok bayangan hitam itu dingin seraya berbalik.
"Oh! Kau rupanya, Capung Hitam!" seru Ki Jalanta.
Pada mulanya, si Lutung Aneh agak kaget. Tapi setelah mengenali penghadangnya, wajahnya tampak berseri. Sebuah wajah yang sudah sangat dikenalnya. Seorang laki-laki berjubah hitam. Kepalanya besar dengan mata besar pula. Badannya tegap, terbungkus pakaian serba hitam.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ki Jalanta, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
"Membawa perintah Ketua!" jawab sosok berpakaian serba hitam yang dipanggil Capung Hitam.
"Hmmm.... Agaknya kita sama-sama dipercaya Sang Ketua mengemban amanatnya...."
"Mungkin juga. Apa perintah Ketua untukmu?"
"Mengawasi si Sangkaran. Dan kau?"
"Membereskan pengkhianat!" sahut si Capung Hitam dengan suara dingin.
"Pengkhianat?! Astaga! Siapa pengkhianat di tubuh kelompok kita?!" tanya Ki Jalanta, pura-pura kaget.
"Hahaha...!" Si Capung Hitam terbahak-bahak.
"Tahukah kau, hukuman apa yang diinginkan Sang Ketua kepada pengkhianat? Penggal kepala! Dan aku akan melaksanakan hukuman itu...!" lanjut Capung Hitam, mendesis.
"Tentu saja, tentu saja...! Pengkhianat memang harus dihukum berat. Tapi ngomong-ngomong, siapa sebenarnya pengkhianat itu, Sobat?" sahut Ki Jalanta, masih coba mengatur nafasnya. Dan bibirnya masih menyungging senyum.
"Kau sungguh-sungguh ingin tahu?"
"Tentu saja! Sebagai anggota pesanggrahan, tentu saja aku ikut merasa bertanggung jawab atas pengkhianatan yang dilakukan salah seorang anggota kita."
"Hahaha...! Kau tak perlu repot-repot, Jalanta. Pengkhianat itu tepat berdiri di depanku!"
"Apa maksudmu?"
"Ya, kau sendirilah orangnya!"
"Aku?! Kau menuding ku sebagai pengkhianat?!" Ki Jalanta menunjuk dirinya dengan wajah tak percaya. "Jangan bergurau, Sobat!"
"Ha..ha..ha...! Kau kira aku tengah bergurau? Kalau begitu kau tidak mengenalku dengan baik."
Tiba-tiba wajah si Capung Hitam berubah kembali. Sepasang matanya memandang tajam, seperti hendak menghujam jantung si Lutung Aneh.
"Aku tidak bergurau, Jalanta! Dan karena pengkhianatanmu, maka kau akan mati sekarang juga!" desis laki-laki berpakaian serba hitam ini.
"Hm.... Kalau Ketua tahu kelakuanmu, maka kau pun akan mengalami hal yang sama!" balas si Lutung Aneh.
"Kau kira siapa yang mengutusku untuk membunuhmu?" tukas si Capung Hitam.
"Kau tentu berdusta bila mengatakan Ketua yang mengutusmu! Beliau seorang yang bijaksana dan amat mempercayaiku. Jadi, tak mungkin menuduhku pengkhianat."
"Syukur kau mengetahui kalau beliau seorang yang bijaksana. Maka, mestinya kau menyadari kalau beliau mencurigaimu. Dan kecurigaan itu ternyata beralasan. Kau mata-mata si Sangkaran yang diselundupkan ke pesanggrahan. Aku mengikutimu sejak kau pergi dari pesanggrahan. Dan aku mencuri dengar pembicaraan kalian. Apakah kau hendak menyangkal?!"
Si Lutung Aneh terhenyak. Diam-diam dia memuji kehebatan ilmu meringankan tubuh si Capung Hitam. Dia mampu mengikuti dan mendengar pembicaraan mereka. Padahal di tempat Ki Sangkaran banyak terdapat tokoh persilatan berilmu tinggi. Mendengar pengkhianatannya ditelanjangi, si Lutung Aneh tak mampu berdalih lagi selain tertawa kecut.
"Hehehe...! Lalu apa yang bisa kau lakukan terhadapku sekarang? Membunuhku? Sebaiknya urungkan niatmu, Sobat," tantang si Lutung Aneh.
"Menganggap enteng padaku, Jalanta? Kau akan temui malaikat maut sebentar lagi!" ancam si Capung Hitam.
"Bukan begitu. Maksudku, Sangkaran butuh orang sepertimu. Dan dia berani membayar mahal untukmu."
"Hahaha...!"
"Kenapa kau tertawa? Kau kira dia tak bisa membayarmu dua kali lipat daripada yang kau terima dari Ketua? Dia bahkan juga bisa menjadikanmu orang kepercayaannya yang bisa diandalkan," lanjut Ki Jalanta.
"Dan kau sendiri?" tanya si Capung Hitam, tapi nadanya melecehkan.
"Aku? Tentu saja bisa jadi kawan dekatmu."
"Kalau begitu biar kusingkarkan dulu dirimu. Paling tidak, nanti aku bisa mendapat kedudukan yang lebih tinggi ketimbang kedudukanmu saat ini di sana!" dengus si Capung Hitam.
"Heaaa...!"
Selesai bicara begitu, tubuh si Capung Hitam berkelebat cepat. Dan tahu-tahu, kedua kakinya yang panjang mencelat ke arah Ki Jalanta.
Si Lutung Aneh mengegos ke kiri. Seketika dia balas menyerang lewat sodokan kepalan tangan.
Wut!
"Hup!"
Si Capung Hitam dengan tangkas memutar tubuhnya di udara. Sehingga, sodokan itu menghantam angin. Bahkan mendadak dua kakinya menyambar batok kepala si Lutung Aneh.
"Uts!"
Dengan gerakan gesit Ki Jalanta membawa tubuhnya ke bawah dengan kaki merentang sehingga pantatnya menyentuh tanah. Tepat ketika si Capung Hitam mendarat, tubuhnya digulirkan ke samping dengan kaki kanan mengincar pinggang bagian belakang.
Wut!
Namun tubuh si Capung Hitam yang seringan bulu tiba-tiba saja telah mencelat ke atas. Sebelah kakinya menahan serangan, sedang sebelah lagi menghantam ke tengkuk.
Plak! Duk!
"Uhh...!"
Telak sekali hantaman kaki si Capung Hitam mendarat di tengkuk si Lutung Aneh. Ki Jalanta kontan mengeluh tertahan dengan terhuyung-huyung ke depan. Pandangannya sedikit kabur, serta kepalanya berdenyut-denyut. Sambil mengatur keseimbangannya, dia berbalik menghadapi si Capung Hitam.
"Hanya segitukah kemampuanmu, Lutung Buluk?" ejek si Capung Hitam, tepat berdiri lima langkah di depan si Lutung Aneh.
"Setan! Kau kira bisa mempecundangi aku, Hah?!" dengus Ki Jalanta.
"Bukti yang bicara!"
"Huh! Hadapi rangkaian jurus Lutung Mabuk ku...!" Ki Jalanta langsung membuka jurus baru yang di beri nama Lutung Mabuk. Gerakannya liar dan tidak teratur. Ini merupakan jurus awal yang amat dibanggakannya.
"Heaaakh...!"
Dengan teriakan seperti seekor lutung marah, si Lutung Aneh melompat menerkam. Kedua tangan membentuk cakar. Kesepuluh jari kakinya pun dalam keadaan tertekuk. Kedua puluh kukunya siap digunakan untuk membeset tubuh si Capung Hitam.
Bet! Bet!
Kedua tangan Ki Jalanta menyambar ke muka, dada lalu ke perut. Namun si Capung Hitam lebih cepat melenting ke belakang. Si Lutung Aneh mengejar dengan kedua kaki bergerak menghajar. Begitu mendarat, si Capung Hitam memiringkan tubuhnya ke kanan, sehingga kedua kaki lawan nyeplos menyambar angin.
"Kreaaakh...!"
Begitu mendarat di tanah, si Lutung Aneh berbalik dan berguling cepat. Saat mendekat ke arah si Capung Hitam yang juga sudah berbalik, dua tangan dan kakinya bergerak cepat menyerang secara bergantian pada bagian yang berbeda di tubuh laki-laki berjubah hitam itu. Si Capung Hitam terkejut. Seketika tubuhnya melesat ke atas, namun si Lutung Aneh terus mengejar.
"Hiaaat...!"
Di udara si Capung Hitam melepaskan ikatan jubahnya yang sejak tadi digunakan untuk menjaga keseimbangan saat mengapung di udara. Seketika jubah itu meluruk ke arah Ki Jalanta. Dan....
Plup!
"Setan!"
Si Lutung Aneh memaki geram karena dalam sekejap tubuhnya terbungkus jubah yang mampu bergerak cepat bagai anak panah. Secepat itu dia meluruk kembali ke tanah. Dan dengan susah-payah, dia berusaha melepaskan diri. Tepat ketika jubah itu tersingkap, bersamaan dengan itu, tubuh si Capung Hitam telah meluruk cepat dengan sebuah tendangan menggeledek. Dan....
Duk!
"Aaakh...!"
Si Lutung Aneh menjerit tertahan ketika tendangan si Capung Hitam mendarat telak di dada kirinya. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang disertai muntahan darah segar. Dan sebelum dia mampu menguasai diri, si Capung Hitam telah berkelebat cepat sekali.
"Heaaaa...!"
Begitu dekat ke arah sasaran, telapak tangan si Capung Hitam menghantam ke tengkuk. Sedangkan kuku-kuku tangan kirinya menyabet ke leher. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Desss! Crasss!
"Aaa...!"
Si Lutung Aneh terjajar ke belakang disertai pekikan panjang. Dari lehernya yang koyak, mengucur darah segar. Sebentar tubuhnya sempoyongan, lalu ambruk tak bergerak lagi. Mati dengan leher nyaris putus!
"Sayang, kau salah perhitungan Lutung Buduk! Kau terlalu membanggakan kepandaianmu...," desis si Capung Hitam, sambil berdiri tegak mengawasi dengan bibir tersenyum dingin.

***

210. Pendekar Rajawali Sakti : Misteri Wanita BertopengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang