Merah

2 0 0
                                    


Rean yang masih diselimuti keterkejutannya akan kalimat tegas sang penyelam yang maish memakai pakaian selam dan kacamata membuat Rean merasa ngeri.

Rean semakin menjauh dari penyelam itu sampai-sampai tubuhnya menubruk tubuh pohon yang menjulang, ia sentak mendongak.

Gawat, aku terhimpit, bagaimana aku bisa lari dari orang asing itu?
"Kenapa kau takut denganku?" tanya sang penyelam yang maish belum membuka penutup matanya.

"Ka-kamu jangan berani mendekatiku!" sontak Rean berteriak di penghujung kalimatnya.

Apa yang ada di dalam hati Rean adlaah ketakutan yang amat hingga tubuhnya gemetar. Rean rak dapat mengingkari bahwa ia sangat ingin keluar dari raganya dan terbebas dari manuasi yang baginya merupakan ancamannya skearang ini.

Ketika penyelam itu semakin mendekatinya Rean berteriak sekencang-kencangnnya.

Penyelam itu berjengit, kontan membekap mulut Rean dan lebih mendekati Rean.

Kini keduanya berjarak sepersekian senti, wajah mereka saling hampir terpisahkan dengan sehelai kain tipis.

"Tenanglah, aku tidak ingin menyakitimu, aku ingin menolongmu, aku megeluarkanmu dari danau itu tadi. Kau hampir mati jika tidak diselamatkan."

***

Rean yang sebelumnya memberontak di saat pemuda yang masih berbalut pakaian selam di hadapannya, kini mulai tenang, ia berusaha mengatur napasnya.

Ketika diras Rean sudah mulai tenang, penyelam itu melepas telapak tangannya yang membekap mulut Rean.

"Kamu ... siapa?" Rean bertanya dengan nada yang lemah seakan dirinya akan sekarat.

"Tenagkan dirimu, salah satu tangan penyelam yang tadinya mengalungkan bahu Rean, kini mulai melapaskan tubuh Rean dan penyelam itu menyandarkan tubuh rean di tubuh pohon yang kokoh di belakang gadis bersurai gelombang dan pirang. Manik mata safirnya kini meredup karena bayangan pohon."

"Aku akan memberikan pilihan pertama untuk pertanyaanku tadi kepadamu."

Kenapa dia yang memilih, batin Rean, sekarang Rean malah menaruh rasa aneh kepad pemuda di hadapannya.

Pemuda itu melepas kacamata dan pakaian menyelamnya di bagian kepala hingga ke lehernya.

Surainya panjang hampir menyentuh pundaknya yang bidang, ia tidak gemuk, tetapi tubuhnya kekar, tidak terlalu tinggi.

"Winter ..."

Kata-katanya sangat lembut di telinga Rean, sang pemuda mengurlurkan tangan. Ketika tengah mengulurkan tangannya. Ia kembali ke tempat yang sama dan pemuda yang berada di hadapannya menghilang bak kelebat yang seperti tidak apaa-apa sekarang. Seperti butiran-butiran pasir yang tersapu angin.

Rean meraba tubuhnya yang kering, bajunya pun tidak kotor ataupun tidak tergores sedikitpun, ia menarik rambutnya hingga ke ujung dan biasa-biasa saja, tidak terjadi apa-apa.Namun, padangannya terhadap laki-laki yang sbelumnya baru saja ia temui. Akan tetapi, lelaki itu kini tidak ada lagi. Hanya dirinya dan raung putih yang sama.

"Apa ini? Aku di mana? AKU MAU KEUAR SKEARANG JUGA!" tukik mRean sekuat tenaga.

"Oke, oke Re, kamu harus tenang, kamu bisa mneghadapinya, ini hanya mimpi oke, ini hanya mimpi."

Rean melihat sesuatu yang tebang, berbolak balik arah, seperti kelopak bunga sakura atau seperti daun yang tertiup angin. Rean memperhatikan jatuhnya helaian benda serba putih itu dari kejauhan.

"Itu? Tisukah?"

Benda itu jauh cukup jauh dari posisi Rean berdiri. Rean mengambil langkah ragu, meski begitu rasa penasaran yang begitu besar mengalahkan keraguannya hingga tanpa sadar dirinya telah mendekati benda serba putih itu.

Seperti dugaan Rean pada awalnya, bahwa itu dalah sehelai tisu yang jatuh entah dari mana asalnya.

Ketika Rean menjumput ujungnya, Rean tidak menaruh curiga pada benda tersebut, hingga sesuatu yang aneh terjadi: tisu itu mengeluarkan sautu warna yang berbeda dari warna awal. Awalnya hanya seperti pendaran.

"Apa ini?"

Ketika beberapa saat kemudian, pendaran itu telah berubah menjadi bercak, dan kemudia meletup menjadi genangan merah kental dalam kepalan tangan Rean.

Rean mengusap dadanya, mulutnya menganga dan lekas ia mneatuhkan tisu yang bercampur gumpalan darah. Rean mengambil langkah mundur sambil kontan berteriak kencang.

Rean menyugar rambut dna kemudian memegang keplaanya. Ia menjambak rambutnya sejadi mungkin. Ia berpikir iaterlalu banyak berhalusinasi akhir-akhir ini.

"Apakah ini hanya mimpi dari tidur panjangku?"

"Apakah ini hanya ilusi semata, atau ... apakah ini nyata, tidak, tidak mungkin, ini bukan nyata, aku saja tak tahu, ini di mana?" Rean menyapu pandang dengan lesat dan dalam hitungan sepersekian detik ia menggeleng.

Tisu yang bercampur dengan darah itu masih berada di posisi yang sama saat Rean melempar tisu tersebut.



kata: 606

wga_academy

ReanterWhere stories live. Discover now