Pesawat dengan keliran merah yang mewarnai tubuhnya, seperti tato tengah melesat dengan hebat, bak burung elang yang sedang memburu mangsanya dnegan ketinggian yang tak bisa dibayangkan oleh pandangan mata manusia.
Di dalam pesawat beberapa orang tersengat serangan hawa dingin seperti tusukan jarum yang terus menyelusuri sekujur tubuhnya. Lagi dan lagi, hawa dingin kemudian menyelimuti tubuh hingga ke ujung rambut, napas mereka mulai sesak, tersedak beberapa kali hingga mereka menepuk dada beberapa kali.
"Kecepatannya 350 knot, ini kembali stabil. Semoga kita dapat menuju pendaratan yang aman," kata seorang pak tua yang tersengal dan terbatuk, seorang pramugari memberikan arahan untuknya agar kembali tenang dan mengatur napasnya secara berkala, tetapi pria tua itu malah semakin tersengal hebat, terbatuk sambil mengucap 'tolong' pun pesawat kembali tidak normal.
Pria tua itu tersungkur dan terjatuh dari kursinya sementara pesawat mulai oleng dan tergelincir hingga meliuk di udara.
Tamapk di kejauhan sebuah pegunungan indah yang berselimut kabut tipis dan semakin menebal di tengah antara pegunungan yang saling merangkup dengan ribuan pepohonan cemara dan beberapa jenis lainnya yang berdiri dengan kokoh seperti jajaran prajurit perang.
Angin mulai menebas pesawat yang melesat dan meliuk itu, semua yang berada di lambungnya ikut terguncang, porak-poranda. Beberapa anak merintih dan menangis ketakutan, beberapa wanita berteriak dan ada yang berbisik mengucapkan kalimat doa-doa.
***
Sssst ...
Kelebat bening membangunkan seorang remaja yang tengah tertidur, ia tersentak dan mengerjap.
"Rean, Rean bangunlah!"
Rean seketika membuka kelopak matanya yang ternyata sahabatnya tengah memanggilnya. Entah itu adlaah panggilan yang keberapa kalinya, tetapi Rean menyadari bahwa yang ada di hadapannya kini adalah sahabatnya beranama Elena.
"Ah, El, sejak kapan kau berapa di sini?" tanya Rean sambil menyugar rambut pirangnya. Matanya mengerjap, silau dengan pancaran sinar matahari yang menusuk manik matanya beberapa kali. Ia menggeleng beberapa kali, menengok dan melihat ke sekitar.
"Harusnya aku yang menanyakan padamu, sejak kapan kau tertidur di sini?"
"Aku? Tertidur? Kapan aku tertidur di sini?"
"Kau malah balik bertanya padaku, mana aku tahu, ayo, segera kita berkumpul dnegan yang lain, mereka sudah lama menunggu, aku mencarimu wahai puan tidur."
"Aku merasa aku tidak tidur."
"Iya, aku tidak tidur, tapi terlelap, yoklah segera kita kumpul, kau tidak mau kena marah, Pak Jenif, kan?"
"Iya, ayo ke sana."
"Rean ... Rean..."
Rean mengehentikan langkahnya ketika mendengar suara bisikan seperti angin lembut tersebut. Ia tergugu, mencoba melirik ke belakang meski keraguan menjalar di seluruh tubuhnya.
"Rean ... Rean..."
Lagi, suara itu berbisik, kini semakin jelas bahwa yang dipanggil adalah dirinya, Rean kemudian meengok arah dengan cepat pandangan matanya menyapu dan betapa tersentaknya ia.
"K-kamu ...."
Kata: 513