1

68 7 1
                                    

Minggu, 18 Maret 2007

Aku tersenyum menatapnya dari kejauhan. Sungguh lucu mengingat usiaku yang masih dini, namun sudah menyimpan rasa terhadapnya. Namanya Athar, lengkapnya Athar O. Matthew. O merupakan singkatan nama Ayahnya dan Matthew merupakan nama keluarganya. Aku tau dengan jelas karena Ayahku sudah lama bersahabat dengan Ayahnya, Oliver.

Bagiku, pria tertampan di sekolahku saat ini hanya Athar. Bulu mata lentik dan juga lesung pipit mungilnya yang hanya ada dipipi kanan menambah kesan tampannya. Hanya saja, lesung pipit itu dapat terlihat apabila Athar tersenyum. Namun kepribadian Athar yang tertutup dan pendiam membuat senyum jarang terlihat diwajahnya.

Tak bisa kubayangkan dimasa yang akan datang, aka nada lebih banyak perempuan di luar sana yang mendambakan senyum Athar selain aku. Aku tertunduk lesu membayangkannya. Tidak, senyum Athar hanya untuk Athala. Ya, aku Athala.

Aku hampir lupa memperkenalkan diriku. Namaku Athala Samirah Steph. Orang terdekatku memanggilku Atha dan teman-teman di sekolahku memanggilku Thala. Namun, aku lebih menyukai Atha mengingat Athar memanggilku dengan nama itu dan juga Atha hamper mirip dengan namanya, cukup menambahkan huruf R di akhirnya. Atha dan Athar, sempurna bukan? Memikirkannya membuatku semakin gila.

Ah, sebesar itukah cintaku untuk Athar? Ck.

Bel berbunyi, pertanda jam istirahat berakhir. Aku menghela napas bosan, hilang sudah pemandangan indah yang sedari tadi kutatap dengan tenang. Pemandangan Athar yang tengah duduk dipinggiran kelas sambil bercerita dengan temannya. Hanya saat-saat seperti ini aku bisa melihat lesung pipitnya.

Aku berdiri dan menghentakan rokku, semoga saja taka da tanah maupun pasir yang menempel mengingat aku terduduk di taman depan kelasku. Saat ini aku berada di kelas IV SD sedangkan Athar kelas V SD. Padahal, kami itu seumuran. Hanya saja aku terlambat masuk sekolah karna suatu hal yang akan kuceritakan nanti.

Pelajaran kali ini membuatku bosan, tapi mengingat Athar yang pintar dan selalu juara di kelas membuatku mau tidak mau harus belajar dengan giat agar nantinya aku pantar bersanding di samping Athar. Astaga. Gila. Apa anak seusiaku sudah memikirkan hal yang sama denganku?.

"Ssstttt.."

Suara itu mengganggu konsentrasiku, aku berbalik dan menemukan Amel, sahabatku.

Dengan senyum tanpa dosa Amel berkata "Ntar sore main ke taman lagi yuk?"

Aku ternganga mendengarnya. Apa dipikiran Amel hanya tentang bermain?.

Aku mengabaikan pertanyaannya dan kembali menatap Guru yang sedang menjelaskan. Namun, Amel tak juga berhenti. Kali ini sasarannya yaitu menarik rambutku. Kesal, aku meletakkan pulpen secara kasar dan berbalik menatapnya garang walau sebenarnya tak ada tampang garang diwajahku.

"Kenapa sih Amel?" Tanpa kusadari, pergerakanku dan nada suaraku meninggi sehingga aku menjadi pusat perhatian sekarang. Teman sekelasku menatapku bingung, aku menutup mata malu dan kembali menatap ke depan, dan aku menemukan tatapan bu Guru. Kali ini dengan wajah Tanya, aku tersenyum kecut dan berkata "Maaf bu, gak sengaja hehe." Bu Lita tampak kesal dan mengacak pinggangnya, "Kamu tau kan Thala, Ibu gak suka gangguan kalau sedang menjelaskan".

Aku menunduk dalam sembari menjawab "I-iiya Bu, Maaf." Namun keberuntungan sedang tidak berpihak padaku, kalimat Bu Lita selanjutnya berhasil membuat kesal dan berjanji akan membalas Amel nantinya "Yaudah kalau gitu, kamu kerjain tugas di buku halaman 98 sekarang di depan."

Awas kamu Amela....

***

Setelah perjuangan menyelesaikan soal tadi, bel pulang berbunyi.

Aku membereskan alat menulisku dan menyandang tasku. Seseorang merangkul lenganku, yang tanpa menolehpun aku sudah tau siapa.

"Ayolah Thala, jangan ngambek ya? Bercanda doang tadi mah." Kata Amel. Si biang kerok kesialanku hari ini.

Aku berhenti dan menatapnya kesal "Untung aku ngerti cara ngerjain soalnya, kalau aja aku gak ngerti gimana? Malu tau. Apalagi kalau sampai Athar tau kalau calon pacarnya bego." Jawabku kesal dan semakin kesal mendengar gelak tawa Amel.

"Hahahahaha" tawanya terpingkal, "Yaampun Thala, harapanmu buat jadi pacar Athar gede banget ya?" lanjutnya.

Aku berdecak "Ck, yaiyalah. Orang Papaku sama Papanya Athar sahabatan kok, jadi gak ada yang gak mungkin. Kali aja Papa ngejodohin kita, kan seneng aku." Kataku sambil tersenyum membayangkannya.

Senyumku buyar karena pukulan Amel di bahuku. Aku kesal dan kembali membalasnya kemudian berlari kencang. Sambil tertawa kami saling mengejar.

Saat itu, kami bahagia. Tanpa tau di masa yang akan datang justru lukaku berasal darinya. Seperih dan sekejam itu takdir padaku. Dulu, hingga sekarang.

Let Me InTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang