5

36 6 0
                                    

Terbangun dengan kondisi mata bengkak sudah menjadi hal biasa, selalu seperti ini jika lagi dan lagi dihadapkan pada kenyataan bahwa hubunganku dengan Athar bukannya membaik malah menjadi asing.

Aku terduduk memeluk lututku dan menenggelamkan wajahku di sana. Mengapa begitu berat rasanya untuk melalui hari? Aku menengadah, mencegah air mata sialan kembali luruh. It's okay, gumamku pelan.

Mengambil ponsel aku mengirimkan pesan singkat ke Amel,

Athala Samirah : gak ngantor deh gue, hendle dlu yak!

Aku menaruh ponsel dan bergegas mandi, hari ini aku ingin menghabiskan waktu bersama Papa. Sehari tanpa memikirkan Athar mungkin mudah, hanya saja aku tak pernah mencoba sebelumnya.

Selesai mandi aku mendapat balasan pesan dari Amel yang menanyakan alasan bolosku kerja yang hanya kubalas dengan kata "KEPO" dan dengan kesal Amel kembali membalas pesan dengan emotikon jari tengah.

Aku tertawa, lalu menuju ruang makan. Sudah ada Papa di sana,

"Atha gak ke kantor?" Tanya Papa ketika aku menghampirinya dengan kecupan di pipi kanannya.

Aku nyengir dan menjawab "Sehari bolos gapapa ya Pa? pengen sama Papa aja hari ini."

Aku lalu menyantap sarapan dengan Papa yang sibuk berceloteh bahwa ini yang terakhir kalinya aku bolos.

***

Kami, aku dan Papa tengah duduk di taman sembari menikmati the dan juga camilan. Aku menoleh, menatap wajah Papa yang tampak berbeda hari ini.

Entah perasaanku saja atau memang Papa tengah menyembunyikan sesuatu dariku. Seakan sadar sedang kutatap Papa membalas tatapanku dan memasang senyum yang sangat kuyakini adalah senyum palsu.

"Papa kenapa?" tanyaku langsung. Sejenak kutangkap keterkejutan di wajahnya.

Papa berdehem sejenak sebelum menjawab "Hubungan Atha sama Athar baik-baik ajakan?"

Mendengar pertanyaan itu membuatku tersenyum miris, namun buru-buru kututupi dengan tawa kecil "Ya baik-baik aja dong Pa. "

"Lalu kenapa sampai sekarang Athar belum jengukin Papa? Padahal sudah hampir seminggu tiba di Indonesia." Kalimat papa selanjutnya spontan membuatku membeku. Bagaimana bisa aku melupakan hal itu.

Aku lagi dan lagi memaksakan senyum "Tenang aja Pa, Athar udah ada rencana mau jenguk Papa Cuma lagi sibuk aja soalnya kan bentar lagi dia bakal ngurusin resto." Aku meringis dan berdiri canggung "Atha ke toilet dulu ya, Papa tunggu di sini." Kataku.

"Gak usah, Papa capek mau istirahat aja." Tersenyum aku lalu memanggil suster untuk membawa Papa kembali ke kamar.

Sepeninggal Papa aku kembali duduk, menatap hamparan bunga di hadapanku. Pertanyaan Papa tadi benar-benar memukulku telak, bagaimana bisa Athar tak berinisiatif untuk menjenguk Papa? Sebenci-bencinya ia padaku, tak seharusnya Athar memperlakukan Papa seperti itu.

Tanpa berpikir panjang aku mengirimkan pesan ke Athar,

Athala Samirah : aku mau ketemu, kutunggu di kafe apartemen kmu.

Athar O. Matthew : sibuk

Butuh waktu satu jam untuk Athar membalas pesanku. Sebaris kata itu benar-benar membuatku muak.

Athala Samirah : aku tunggu sampai gak sibuk, aku bakal tetep di sana

Balasku tak kalah keras kepala. Sudah cukup Athar menghindariku ini harus dibahas sebelum Papa semakin curiga dengan hubungan kami.

Tanpa menunggu balasannya aku bergegas ke sana. Masa bodoh jika Athar benar-benar tak menemuiku, aku masih punya rencana terakhir.

Sudah hampir dua jam aku menunggu kedatangan Athar, suasana kafe yang tengah sepi pengunjung benar-benar membuatku semakin melankolis. Jika saja Athar benar-benar tak kunjung datang, maka mau tak mau aku akan menemui orang tuanya.

Lelah sudah mulai terasa, aku memijit keningku pelan, tiba-tiba saja kepalaku berdenyut. Setelahnya aku kembali menatap pintu masuk berharap Athar tiba di sana secara tiba-tiba. Dan ya, Athar benar-benar ada di sana. Aku melambaikan tangan, Athar menatapku sekilas dan berjalan ke arahku.

Aku memasang senyum termanis yang kupunya walau Athar tetap pada wajah datar dan dinginnya, tak apa.

"Mau pesan apa?" tanyaku setelah Athar duduk di kursi seberang.

Athar menatapku jengah "Gak usah, langsung aja kamu mau ngomong apa?"

Aku lagi dan lagi tersenyum, cih! Memangnya aku bisa apa selain tersenyum? Batinku mengejek.

"Sibuk banget ya kamu?" tanyaku lagi yang di balas gumaman malas olehnya.

Athar tetap sibuk dengan ponselnya, jika melihatnya mengotak-atik ponsel seperti sekarang kadang membuatku bertanya, mengapa butuh bermenit-menit bahkan berjam-jam untuk Athar membalas pesanku?

Aku menggeleng pelan, bukan saatnya!

"Papa nanyain kamu, kenapa belum jenguk katanya?" sangat terlihat jelas bukan bahwa hanya aku yang aktif dalam komunikasi kami.

Kudapati gurat kejut di wajahnya sekilas dan berdehem pelan. Athar memperbaiki letak duduknya sebelum menjawab "Lupa, mungkin besok kalau ada waktu."

Senyum mendadak hilang dari wajahku dan kuyakini kini wajahku memucat. Jawaban Athar sangat tidak kuharapkan. Bagaimana bisa ia melupakan orang tuaku disaat aku selalu mengingat dan memperlakukan dengan baik orangtuanya? Sungguh miris, hingga tak kusadari air mataku sudah menetes.

Aku menghapusnya pelan, dengan tangan gemetar aku berusaha menyeruput minumanku walau hasilnya tak memuaskan.

Aku kembali menatapnya "Kamu boleh aja benci aku Athar, tapi kumohon tidak dengan Papa."

Athar menatapku tajam seolah kata-kataku barusan membuatnya tersinggung. Athar meletakkan ponselnya kasar dan berkata "Apa yang kamu dapatkan dengan hubungan ini?" tanyanya

Dan tanpa menunggu aku menjawab "Kamu," aku menatapnya lembut "Aku dapat kamu." Jelasku kembali.

Athar tersenyum sinis "Kamu egois Atha, seolah-olah dunia hanya berpusat di kamu. Tanpa kamu mikirin gimana saya, perasaan saya dan tentunya orang-orang yang saya sayangi," Athar menggeleng-geleng lalu melanjutkan "Se egois itu kamu, sehingga jangankan buat saya cinta sama kamu nyamanpun saya gak bisa." Tutupnya.

Aku menggigit bibirku dalam menahan isakan tangis, tidak! Jangan menangis di sini Atha!!

Aku memejamkan mata terlebih dahulu menenangkan diri "Maaf," aku membuka mata dan menatapnya "Maaf kalau aku egois, tapi itu semua karena aku cinta kamu. Aku mau hidup sama kamu." Lanjutku.

"Tapi saya enggak Atha. Hingga detik ini pun gak pernah terlintas dalam pikiran saya untuk hidup dengan kamu. Tidak akan pernah." Jawabnya lalu berdiri dan meninggalkanku sendiri.

Ya Tuhan! Sesakit ini rasanya. Tanpa bisa kutahan aku menangis, sembari menepuk dadaku agar aku bisa bernapas dengan benar. Sesak, sangat sesak di sini. Aku terus menangis. Di sini, ada banyak pengunjung, tapi mengapa aku merasa sendiri?

Serumit ini, namun bukannya menyerah aku tetap pada keegoisanku.

Setidaknya untuk beberapa waktu, biarkan aku menikmati luka-luka ini.

Let Me InTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang