2

46 8 1
                                    

Rabu, 18 April 2007

"Atha mau satu sekolah sama Athar Papa."

Focus Papa yang tengah membaca Koran buyar. Papa menatapku heran seakan tak mengerti maksud perkataanku tadi.

"Maksud Atha, ntar kalau udah lulus SD, Atha mau SMPnya satu sekolah sama Athar." Aku menjelaskan maksud perkataanku tadi.

Papa tertawa dan berkata "Itu terserah Atha, dimanapun Atha mau sekolah Papa bakal dengan senang hati mendukung." Senyumnya sembari mengusap rambutku pelan, "Kamu segitu sukanya ya sama Athar?." Tanya Papa.

Aku tersenyum lebar dan berkata dengan semangat "Iya! Atha suka sama Athar, dimanapun ada Athar, harus ada Atha. Papa restuin Atha sama Athar kan?."

Tawa Papa pecah, Koran yang sejak tadi di bacanya kini sudah teronggok di meja "Memangnya kalian ada hubungan apa sampai minta restu? Kalian masih kecil sayang, tugas Atha sama Athar sekarang itu ya belajar, urusan cinta-cintaan nanti kalau Atha udah gede dan mengerti lebih dalam apa itu cinta". Kalimat Papa membuatku termenung, mengapa harus menunggu dewasa untuk cinta?

Lagi dan lagi aku tertawa mengingat kepolosanku saat itu.

Mengapa harus menunggu dewasa untuk mengenal cinta?

Bukankah cinta itu tak rumit? Mengapa menunggu dewasa untuk memahaminya?

Berbagai pertanyaan ini membuat bibirku kaku, merutuki kebodohanku dulu. Karena sejatinya, cinta tak akan rumit jika bukan hanya seorang yang memendam. Tak akan rumit jika cinta terbalaskan. Dan tak akan hancur, jika cinta menjadi tolak ukur untuk terus bersama.

***

18 september 2021

Aku berdiri tegap, menunjukkan pada siapapun yang menatapku bahwa aku kuat. Jauh lebih kuat dari sebelumnya. Mencoba tersenyum lebar walau kutau mataku tak bisa berbohong. Aku pernah protes pada Papa, mengapa mewariskan mata yang begitu mirip dengannya? Mengapa mewariskan mata yang tak bisa menyembunyikan perasaanku.

Aku menghela napas pelan, berjalan lambat agar kakiku tak goyah dan berhenti ditengah jalan. Tidak. Aku harus bisa sampai di sana dan tetap mempertahankan senyumku serta memastikan air mata tak luruh. Harus!

Athar menatapku jengah seakan lelah menghadapiku, padahal kami baru bertemu setelah berpisah sekitar 2 tahun.

"Saya sudah bilang gak usah dijemput!" kesalnya, ketika aku tiba dihadapannya.

Aku memasang senyum manisku "Ya kan aku kangen Athar." Kataku sembari memeluknya erat.

Kurasakan Athar yang tak nyaman kupeluk dan memaksaku melepas pelukan. Aku terkejut dengan perlakuannya. "Saya gak suka jadi bahan perhatian orang-orang, saya capek mau istirahat" Sahutnya jelas ketika menyadari raut tanya di wajahku, sembari melanjutkan jalan menuju mobil. Aku tersenyum dan mengekorinya.

Aku lupa menjelaskan bahwa kami, aku dan Athar sudah resmi bertunangan. Mengingat momen itu kembali membuatku tersenyum. Impianku untuk terus bersama Athar berakhir bahagia, Ya! Karena kini Athar telah menjadi milik Athala. Setelah bertunangan pada tahun 2019, Athar kemudian berangkat ke Jepang. Entah untuk apa, namun menurut Athar, ia ingin menetap di sana sementara sekaligus mencari pengalaman tentang bisnis Resto Jepang sebelum kembali ke Indonesia dan mulai mengambil alih bisnis keluarganya.

Keluarga Athar memiliki Resto dengan tema Jepang, yang sudah ada sejak 10 tahun yang lalu dan kini sudah membuka lebih dari 20 cabang di seluruh Indonesia. Karena itu merupakan keinginan Athar maka aku mau tak mau harus terima berpisah dengannya.

Kupikir kepergiannya tak lama. Ternyata Athar pergi selama 2 tahun dan tak pernah membiarkanku untuk menyusulnya. Pernah nekat untuk menyusul dan menjadi hal yang kusesali hingga kini. Kebodohanku untuk menyusul membuatku harus merasakan pedih yang tiada tara yang hingga kini masih kusimpan erat, tak kuceritakan pada siapapun.

Kami tiba di apartemen Athar, aku membuka seatbelt dan bergegas turun. Namun kalimat Athar membuatku berhenti dan membeku di tempat.

"Kamu gak usah mampir, sampai sini aja. Saya mau istirahat". Yang tanpa menunggu persetujuanku, Athar keluar dari mobil dan mengambil kopernya di bagasi dibantu Pak Ilham supirku.

Aku menatap kepergian Athar dengan getir. Menunduk dan tanpa bisa kutahan lagi, air mata yang sejak tadi kutahan kini lepas. Mengalir membanjiri wajahku hingga kurasakan kini mobil sudah kembali melaju yang tak kuketahui kemana arahnya. Aku terus menangis sesekali meremas jari jemariku untuk sekedar mengurangi rasa sakit dan sesak di dadaku.

"Neng Atha mau diantar kemana?". Pertanyaan Pak Ilham membuatku tersentak dan buru-buru menhapus air mataku.

"Aku nangis karena bahagia banget bisa ketemu Athar setelah sekian lama". Akuku berusaha meyakinkan Pak Ilham walau sebenarnya Pak Ilham juga tak ingin tahu mengapa aku menangis.

"Kita balik ke rumah aja pak, Atha kangen Papa". Lanjutku.

Siang itu, aku memandangi pemandangan jalan dengan perasaan kacau. Perjalanan pulang ke rumah kali ini terasa begitu lama. Aku menggigit bibir bawahku untuk menepis tangisku mengingat perlakuan Athar tadi.

Aku tau pasti, kepergian Athar bukan untuk keperluan bisnis keluarganya melainkan ingin menjauh dariku.

Dariku yang sejak dulu selalu menjadi beban baginya.

Yang sejak dulu memaksanya untuk tetap bersamaku.

Harusnya aku tak memaksa, hanya saja keinginanku untuk memilikinya jauh lebih besar.

Maaf,

Maaf untuk semuanya, tapi kuharap bertahan untuk sebentar. Hanya sebentar ....

Let Me InTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang