4

45 8 1
                                    

Pusing. Sejak kemarin pusingku belum juga redah, aku bersandar sejenak mengalihkan perhatianku pada laporan yang sedari tadi kubaca. Memijit pelan keningku dan kembali meringis saat pusing itu datang lagi. Ada yang tidak beres, batinku.

Aku membuka laci dan mengambil obat lalu meminumnya. Sudah biasa, asam lambungku pasti kumat. Setelah memejamkan mata sejenak, aku menatap ruang kerjaku. Aku lupa mengatakan kalau sekarang aku yang mengambil alih perusahaan Papa. Melihat kondisinya membuatku tak mampu menolak saat Papa menyuruhku untuk mengambil alih perusahaan. Padahal, aku sangat ingin menjadi Guru. Entah mengapa, sejak kecil cita-citaku untuk menjadi guru tak pernah berubah.

Lamunanku buyar dengan suara ketukan "Masuk." Teriakku.

Amel muncul dan melangkah mendekat.

"Kenapa?" tanyaku

Amel berdiri tak jauh dariku sembari menatapku intens "Lo sakit?" tanyanya

"Hm, biasalah asam lambung gue kumat ini." Jawabku sembari menujuk obat yang kuminum tadi.

Amel berdecak sembari bersedekap "Lo tuh ya, dibilangin jangan telat makan masih aja ngeyel." Omelnya yang seketika membuatku kesal.

"Udah deh, bentar lagi juga baikan ini. Sekarang lo ngapain ke sini?" lebih baik mengalihkan topic daripada mendengar omelan Amel.

Amel segera menyodorkan undangan yang kutebak undangan pernikahan. Aku mengambil dan membacanya sejenak.

"Anak pak Susanto rekan kerja kita yang udah lama banget sekaligus sahabat bokap lo," Amel kemudian meletakkan beberapa dokumen "Ini juga lo periksa dan tanda tangan secepatnya ya, Oh iya, Pak Susanto pesan katanya lo harus datang dan bawa tunangan lo." Lanjutnya.

Mataku membulat "Serius lo?"

Amel memutar bola mata kesal "Ya iyalah, masa gue becanda. Penting lho ini Tha. Gue pamit."

Amel berbalik dan menghilang di balik pintu.

Aku meringis menatap undangan tersebut, perlahan aku mengambil dan memotretnya.

Kukirim hasil foto undangan tadi ke Athar.

Athala Samirah : mengirim foto

Athala Samirah : undangan dari rekan kerja Papa, kamu bisa kan?

Athar tak kunjung membalas pesanku. Aku meletakkan ponsel dan kembali fokus untuk bekerja. Mungkin Athar sibuk, pikirku.

***

Aku meletakkan tas kerjaku ke meja rias dan merebahkan diri di kasur. Notifikasi ponsel membutku bangkit. Ternyata pesan dari Athar, segera kubuka dan baca.

Athar O. Matthew : kenapa saya harus bisa?

Aku memejamkan mata sejenak menahan kesal. Terlalu malas untuk mengetik maka aku memutuskan untuk menelfon Athar.

"Kenapa?" jawabnya

"Pak Susanto rekan kerja sekaligus sahabat Papa, beliau mau aku hadir dan bawa tunangan. Makanya aku Tanya kamu bisa kan?" jelasku

"Kamu bisa cari alasan, saya gak suka ke acara seperti itu." Tolaknya

Aku sudah hampir mengumpat kesal, namun dengan cepat aku menggeleng. Tidak, jangan sekarang!

"Aku mohon, sekali ini aja. Cuma sebentar kok, ya?" tawarku kembali.

Kudengar Athar menghela napas kasar "Yasudah, tapi ingat Cuma sebentar." Tekannya.

Aku spontan tersenyum "Hm, janji Cuma sebentar. Makasih ya." Baru saja aku ingin bertanya namun Athar sudah mengakhiri panggilan. Aku menatap nanar ponselku.

Mendengar suaranya saja walau Cuma sebentar benar-benar berhasil membuat mood-ku membaik. Sebesar itu pengaruh Athar pada hatiku.

Aku meletakkan ponsel dan bersiap untuk mandi. Aku butuh istirahat agar rencana untuk pergi bersama Athar berjalan lancar.

***

"Gimana perasaan Papa hari ini?" tanyaku pada Papa yang kini bersandar di kepala ranjang.

Papa memasang senyum walau matanya begitu sayu, "Bahagia," Papa memandangku sejenak sebelum melanjutkan "Selama Atha-nya Papa bahagia, Papa akan selalu bahagia."

Jawaban Papa begitu menusuk dadaku. Aku tersenyum miris, omong kosong tentang diriku yang saat ini sudah bahagia dengan status tunangan Athar. Yang ada, aku semakin sakit, semakin terluka. Athar jauh lebih pendiam, Athar semakin begitu jauh untuk kugapai.

Setetes air mataku turun, aku menunduk dan segera menghapusnya. Papa menggenggam tanganku erat "Atha harus bahagia. Atha harus bisa cari kebahagiaan Atha sendiri, jangan terbebankan dengan kondisi Papa."

Tidak, Papa salah paham. Aku menangis bukan karena itu, aku hanya meratapi nasib percintaanku.

Aku menggeleng dan mengelus tangan Papa "Tak pernah sedikitpun Atha terbebankan dengan kondisi Papa. Jadi, Papa gak boleh ngomong kayak gitu lagi." Aku lalu memeluknya erat. Sangat erat berharap sedihku bisa berkurang. Pelukan Papa selalu menjadi tempat ternyamanku. Selalu.

Sore itu kuhabiskan dengan berbincang-bincang dengan Papa. Melihatnya kembali tersenyum membuatku lega. Tak pernah bisa kubayangkan bagaimana hidupku jika Papa pergi. Hanya Papa tempatku menangis, hanya pundaknya yang selalu siap untuk menopangku saat senang maupun sedih.

Tuhan, aku tau akan selalu ada perpisahan. Hanya saja, aku memohon jangan ambil Papa dariku disaat aku belum menemukan bahu untuk bersandar.

Let Me InTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang