3

36 7 0
                                    

Setibanya di rumah aku langsung menuju kamar Papa. Mengetuk pintunya sekali dan membuka pintunya pelan agar tak mengganggu istirahatnya.

Aku mendekat dan pemandangan Papa yang kini terlelap dengan cairan infus yang tergantung tepat disisinya serta aroma obat-obatan begitu menguar. Aku memandangi wajahnya lama, sangat lama. Tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya, sosok yang begitu kuat mendapingiku dan membesarkanku seorang diri kini terbaring lemah.

Penyakit jantung yang Papa derita selama bertahun-tahun, namun aku begitu bodoh tak mengetahuinya dan tak menyadari bahwa Papa tersiksa selama ini.

Astaga,

Mengapa aku selalu saja menjadi beban bagi orang disekitarku?

Kini tubuh lemah Papa tepat dihadapanku dan dengan egoisnya aku kembali memaksa Papa untuk sembuh tanpa tau bahwa selama ini Papa menangung sakitnya seorang diri.

Aku memutuskan untuk keluar kamar sebelum tangisku mengganggu waktu istirahat Papa.

Aku menepi ke balkon menatap jauh ke halaman yang dulu selalu diisi dengan tawaku dan Papa. Dan kini halaman itu terasa suram, tak ada lagi tawaku dan Papa. Semuanya berakhir sejak Athar pergi, sejak aku memaksa Papa untuk menyatukan aku dan Athar.

Semua karena keinginanku, dan untuk itu aku memutuskan untuk tetap bertahan hingga kini. Agar apa yang Papa telah perjuangkan untukku tak sia-sia. Ya, setidaknya kali ini untuk Papa.

Getaran ponsel mengalihkan lamunanku.

Amel is calling ...

Aku menatap ponsel lama sebelum menjawab panggilan "Halo ..."

"Thalaaaaa ..." teriaknya, aku spontan menjuhkan ponsel demi kesehatan telingaku.

"Jangan teriak bisa kali Mel, kenapa?" tanyaku.

"Lo dimana? Kok gak balik ke kantor sih Thaaa." Jawabnya kesal.

Aku tersenyum tipis sebelum menjawab "Gue gak balik nih, kamu handle dlu ya soalnya mau jagain Papa."

Tanpa menunggu persetujuan Amel aku mengakhiri panggilan. Menghela napas sebelum kembali ke kamar mengistirahatkan tubuh, pikiran dan juga hatiku.

***

Tak mau menunggu lebih lama, maka aku memutuskan untuk menemui Athar. Kini, aku berdiri menatap kosong pintu lift apartmen Athar. Sejenak berpikir untuk membatalkan niat namun, lagi dan lagi hati dan pikiranku tak sejalan. Aku merindukannya, sangat.

Maka dari itu, aku kembali menguatkan diriku. Apapun hasilnya nanti setidaknya aku sudah berusaha bukan? Hmm.

Aku berdiri tepat di depan pintu nomor 351, lama merenung sebelum menekan bel. Mungkin ini menyedihkan, tapi aku sama sekali tak punya akses untuk masuk ke apartemen Athar. Tunangan yang sangat menyedihkan! Batinku mengolok.

Sudah kesekian kalinya aku menekan bel namun tak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Heran dan cemas aku memutuskan untuk menghubungi Athar.

Tuut tuut tuut

Tak ada jawaban.

Sekali lagi Atha! Batinku

Namun lagi dan lagi tak ada jawaban.

Kemana Athar? Bukankah katanya tadi Ia ingin istirahat? Lalu, di mana Ia sekarang?

Aku memilih bersandar di dinding samping pintu, menghela napas lelah. Mengapa sesulit ini hanya untuk bertemu Athar, rasanya semesta selalu saja tak mengizinkan aku untuk menemuinya.

Tanpa sadar sudah satu jam aku menunggu Athar, lelah! Aku terduduk, mendongakkan kepalaku sembari memejamkan mata.

"Ngapain kamu?" pertanyaan itu spontan membuatku tersentak

Terkejut dengan kehadiran Athar yang begitu tiba-tiba. Seketika aku berdiri dan membuatku meringis, berapa lama aku terduduk hingga kakiku terasa keram sekarang? Lupakan.

Aku tersenyum menatap Athar yang kini memandangku jengah seakan tak suka dengan kehadiranku di sini "Aku khawatir sama kamu makanya aku kesini," aku mendekat ke arahnya "Sekalian bawain kamu makan malam." Lanjutku sembari mengangkat rantang makanan yang kubuat tadi.

"Saya gak butuh. Kamu bawa balik aja." Jawabnya sembari berlalu membuka pintu apartemennya. Setelah menekan pin Athar berbalik menatapku dan berkata "Kamu sudah pasti tau, apapun yang kamu lakukan gak akan merubah sedikitpun perasaan saya untuk kamu."

Setelahnya kutatap nanar pintu apartemen Athar yang tertutup rapat serapat hatinya. Aku memijit pelan keningku, merasakan pusing dan mual secara bersamaan. Sudah kuduga akan begini dan akan selalu begini. Tapi kenapa? Kenapa dengan bodohnya aku tetap bertahan di sini dengan segala luka yang diberikan Athar.

Aku berbalik melangkah menjauh dengan goyah, tak apa, masih ada hari esok dan esoknya lagi. Aku yakin Athar akan berubah, pasti!

Let Me InTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang