24.

2 2 0
                                    

Seorang cewek berambut lurus menghapus air mata yang sedikit tumpah di kelopak matanya. Ulvi hanya menunduk sepanjang jalan yang digenangi air hujan. Dalam heningnya Kota Bandung sore itu, setiba di rumahnya langsung terdengar riuh suara barang-barang yang bertubrukan kemudian hancur. Selama beberapa detik, Ulvi hanye mematung di depan pintu utama, berpikir sejenak. Kemudian, ia mantapkan langkahnya membuka pintu sampai di kamarnya. Sebelum itu Ulvi melirik kamar tepat di sebelah kamarnya, kamar yang sebelumnya dengan begitu mudah cewek itu masuki, kini seakan ada yang menahannya untuk ke sana. Seakan-akan dunia tidak ingin Lovandra Maulvi merasakan keluarga yang bahagia sedetik saja, selalu ada yang menggantikan masalah lama dengan masalah baru yang begitu mengejutkannya. Sebelumnya Ulvi tidak pernah melihat kakaknya sekeras itu sampai mengorbankan barang-barang, bahkan kemarin malam pun baik-baik saja.

Ulvi menggeleng-geleng mengusir lamunannya dan masuk kamar. Samar-samar Ulvi mendengar Lio mengumpat sangat kasar dengan keras membuat Ulvi ketakutan langsung menutup kamarnya dengan keras. Bodo amat. Sumpah, Ulvi tidak peduli Lio sekarang mara kepadanya yang melawan suaranya, Ulvi ingin kakaknya berhenti bertingkah seolah-olah menggantikan orang tuanya yang baru. Semua perilakunya seakan berpindah entah ke mana Lio yang dahulu, sekarang hanya ada Ulla dan Caesar yang menyatu pada membentuk Lio yang dibawa emosi hanya karena cewek? Harus diakui Ulvi kalau masalah cinta memang rumit, ia pun mengalaminya lebih dulu, it’s ok kalau kakaknya diputusin saat Lio sudah akan meminta restu orang tua, tapi bukankah ini berlebihan?

“Bang, gue kangen lo yang dulu, lo yang selalu ada buat gue, yang bisa lindungin gue. Sekarang lo yang bikin gue nangis begini,” lirih Ulvi terkurap di kasurnya masih memakai sandal yang basah. Hidupnya kembali berantakan setelah bertemu Lia, rasa bersalahnya selalu menghantui. Ulvi tidak tahu dengan cara apalagi Lia bisa memaafkannya dan kembali menjadi Lia yang dulu? Lia yang riang dan selalu bersemangat jalan-jalan dan Ralna yang sering disebut Queen adalah sahabat yang pendiam, tapi peduli. Ralna tidak main-main saat memutuskan punya sahabat, ia seakan mempertaruhkan segalanya untuk orang yang dipercayai. Seperti Aida yang mau saja diconteki bahkan oleh Sia yang masih rangking satu kelas. Ulvi tercengang sebentar, kok jadi ke ranah Aida?

Sampai sekarang Ulvi masih tidak ada rasa bersalah yang berarti yang sampai ke ulu hatinya sampai ia tak berniat meminta maaf langsung kepadanya. Ah, paling Acha dan Sia sudah mendengarkan ceritanya dan mendukungnya. Sudahlah, tidak ada harapan untuk keempat sahabat yang dulu pernah bersatu itu. New Blink is lost. Dan Ulvi tidak peduli lagi, urusannya lebih berat dari ketiga sahabatnya. Mulai dari Acha yang hidupnya ramai-ramai aja, Sia yang kaya raya dan orang tuanya membebaskannya, dan Aida yang dipedulikan banyak orang. Enak ya, dapat perhatian dari siapa pun, Ulvi iri. Sebenarnya Ulvi masih belum sadar satu hal lagi, para cewek sesekolahan juga iri kepadanya yang dapat menarik hati si Jorok Gagan alias Gagal Ganteng dan dirinya juga belum tahu julukan itu karena hanya para korban yang pernah jadi korban Dantel yang rajin menyumpah-nyerapahinya, kecuali dua adik Chery.

Ulvi membuka room chat WhatsApp-nya berharap ada pesan baru dari Dantel Cavero. Dan ... tentu saja Dantel mengirim pesan baru, tapi sudah beberapa jam yang lalu. Sekarang pukul 18.30 sedangkan Dantel mengajaknya jalan-jalan sejak jam 16.00, jangan-jangan tawarannya sudah kadaluarsa. Ulvi menanyakan jadi-tidaknya, kemudian langsung muncul jawaban ‘Jadi, makan es krim yuk!’ yang ditambah emot lidah yang miring yang artinya lezat.

“MAU DONG MAU, SAYANG!” jawab Ulvi tanpa sadar sudah teriak, ia menggoyang-goyangkan badannya di kasur empuknya setelah sempat duduk serius membaca pesan Dantel. “OKE, LOVE ADA KESEMPATAN BUAT LO SAMA DANTEL, FIGHTING!

Setelah mandi, Ulvi berniat menutup goden yang terbuka sejak pagi. Sosok Dantel dengan gaya cool-nya duduk di motor besar. “Wah, gila! Mana bisa gue duduk di sana?” runtuk Ulvi dalam hati menyesali sudah menyetujui rencana Dantel tanpa tahu motor apa yang dibawanya. Dikira motor metic yang biasa dipakainya. Ulvi langsung bersiap tanpa jadi menutup gorden, apalagi sekadar ngomong kalau ia mau pergi ke kakaknya. Buru-buru sampai saat belok dari kamarnya hampir terjatuh.

Dari kejauhan Dantel memandanginya sambil ketawa-ketiwi enggak jelas karena pintu tidak ditutup, Ulvi menatapnya datar saat sudah sampai di hadapan pacarnya. “Kenapa katawa gila gitu?”

“Oh kamu gitu ya, mulai ngomong ‘gila’ ke calon suami sendiri? Durhaka tahu!” timpal Dantel menyodorkan helmnya. “Mau dipakein?”

Ulvi membuang muka, lalu menatapnya kembali sambil menahan napas. “Aku tuh enggak suka nebeng di motor kek gitu, paham enggak, sih?!”

Dantel sedikit termundur, kaget dengan reaksi Ulvi. “Ya udah aku pulang dulu ya, nanti jangan jalan sama cowok lain.”

Kemudian Ulvi langsung menahan lengannya dan mengambil helm itu tanpa dipakai. Cewek itu berusaha berkali-kali agar pantatnya sampai di jok. Padahal badannya sudah sangat kurus, tapi Ulvi memang belum pernah naik motor besar karena dilarang mama juga membuatnya takut, joknya sempit.

“Udah belum?” tanya Dantel melirik di spion. “Aku pulang dulu aja ya biar kamu nyaman.”

Ulvi yang sedang mencoba kelima kalinya berdecak dan bergumam, tapi ia tetap mencoba dengan menahan pegangan di belakang jok. “Awas jalannya, ati-ati!”

Dantel diam saja belum juga menyalakan mesinnya, sedangkan Ulvi sudah menunggu sedari tadi. “Buruan jalan!”

“Helm belum kamu pake, Love,” ingat Dantel malah tersenyum menggemaskan. Muka cewek di belakangnya jadi blushing dengan detak jantung tak karuan. Malu.

Pada saat Ulvi sedang memakai helm, bersamaan datang Fachry yang dengan girang menghampiri mereka padahal berlawanan arah. Fachry jalan kaki dan menatap mereka seakan menemukan harta karun. “Woi, lo pasti Love, ‘kan? Jangan nanya kenapa gue bisa tahu, kan gue jodoh lo!”

Dantel sampai meludah mendengarnya. “Udah ya, Cry! Nangis aja sono!”

FIRST NIH, LO BAWA CEWEK, GUE FOTO YA BUAT SEJARAH!” teriak Fachry yang sudah menjauh dari penglihatan sejoli itu, cowok yang lumayan ganteng itu memfoto punggung mereka melalui ponsel.

“Gue enggak nyangka lo tunjukkin kalau lo sakti juga!” monolog Fachry berdecak kagum melihat hasil potretnya.

Sementara Ulvi mendekatkan mulutnya di telinga Dantel. “Tadi siapa, sih? Pasti kamu yang ngasih tahu soal aku ya? Harusnya jangan, walaupun nama itu juga privasi, aku enggak suka digituin.”

Dantel masih fokus menyetir, lalu menjawab, “Lo tuh unik ya, di mana-mana cowok yang ngelindungin cewek kalau masalah privasi, gue loh yang seharusnya ngasih tahu temen-temen gue biar enggak kenal lo, tapi sebaliknya. Lo jaga diri lo sendiri sampe gue juga susah nyari celahnya, alhamdulillah sekarang bisa.”

Ulvi meneguk ludahnya lumat-lumat, ia ingin menanyakan juga soal cowok tadi yang memakai baju futsal, rasanya enggak asing dan ada gambaran di kepalanya di mana Fachry dan Dantel berjalan berdampingan. Namun, Ulvi lupa malah hanyut dalam pujian Dantel.

Seorang Ulvi malah salting saat masih perjalanan, semi mengusir rasa bapernya, ia mengingatkan dengan gaya ngegas, “Ati-ati dong, pelanin!”

PAST ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang