11. Ikut!

2 3 0
                                    

Sudah tiga minggu semenjak awal semester kenaikan kelas dimulai. Berarti sudah terlewat 21 hari bagi murid-murid kelas XI menginjakkan kaki di SMA Raya Angkasa. Rasanya seperti baru kemarin mengurus berkas untuk pendaftaran, sekarang tidak terasa tinggal dua tahun saja untuk bersekolah di tingkat terakhir dunia pendidikan sekolah. Masing-masing kelas pertengahan SMA tersebut memiliki cara masing-masing, tetapi delapan puluh persen masih santai menikmati masa putih abu-abu dan cenderung belum memikirkan masa depan setelah lulus dari sana.

Ulvi menatap jendela luar dari lantai enam Festival City Bandung, tempat minggu lalu di mana dirinya meninggalkan sahabat-sahabatnya untuk menemui Dantel. Dalam hatinya, ia memutuskan untuk tidak terlalu fokus belajar. Toh tahun lalu saat ambisius mengerjakan tugas-tugas yang tidak dikerjakan teman-teman sekelasnya pun, akhirnya Ulvi tidak dapat rangking lima besar. Bukannya ia sadar bahwa rangking tidak penting, cuma dirinya sedang tidak diselimuti malaikat baik yang membisikkan kata-kata positif.

"Bengong mulu, Ulvi!" tegur Sia mengunyah mi dalam mulutnya, kemudian membersihkan bibirnya dengan tisu. "Harusnya kita yang ngerasa kepaksa, bukan lo."

Aida menimpali, "Keknya cuma gue yang enggak ada alasan logis buat enggak jalan sama kalian."

Ulvi hanya menatap mereka tanpa minat menanggapi. Sementara di depan Ulvi, ada Acha yang tidak memesan apa pun justru sibuk main handphone saja.

"Tahu gini mending sama Kak Jeno aja," celetuk Sia dingin. Ia mengetuk meja guna membangunkan kesadaran Acha dari ponselnya. "Apa, sih yang lo suka dari Marcin?"

Acha sama sekali tidak terkejut, senjata untuknya malah dimakan Ulvi yang sedang melamun. Dengan santai Acha menjawab, "Lo enggak bakal ngerti, dia tuh manis, romantis, perhatian, sopan, idaman banget!"

"Cih, anak mami kek gitu mana bisa nafkahin lo nanti!" sahut Sia cepat-cepat sebelum Aida membalas. "Kak Jeno nih udah punya bisnis, ya walaupun kecil, tapi masa depannya jelas! Orang tuanya juga ya, lumayan bisa nyeimbanginlah."

"Lo kedengernya kayak orang mattre, Sia!" Aida yang menyeletuk langsung dihadiahi tatapan tajam Sia. Acha dan Ulvi hanya menanggapinya dengan kekehan kecil tanpa memindahkan pikiran mereka.

Setelah sudah bosan duduk di restoran Asia itu, mereka mengelilingi gedung untuk berfoto bersama. Tanpa mengabaikan rasa malunya, Ulvi dengan girang bergabung. Mereka bahkan membuat video dengan gaya geng versi mereka. Tentunya sebelum kamera DSLR milik Acha dinyalakan, lebih dulu mereka berdiskusi dengan mencoba-coba gerakan yang belum pernah mereka lihat lalu menyambungkannya dengan instrumen musik. Hasilnya dari belasan video, hanya satu yang akan di-upload ke YouTube mereka yang bernama New Star Blink yang dipegang Aida. Subscribers-nya ada 500 akun, ya lumayan sekali posting ditonton sekitar 100 kali, disukai 15 orang. Asalkan ada kenangan yang bisa mereka simpan meskipun dikalahkan ruang dan waktu. Seringnya, mereka membuat konten di rumah Acha, Aida, rooftop sekolah atau Festival Bandung Citylink ini.

Sambil berjalan malas, Sia mengedit video mereka melalui ponselnya. Aida dan Acha sedang memakirkan motor, Ulvi bersiap naik pada jok motor Aida seperti berangkat tadi. Namun, Sia lebih cepat menduduki tujuannya. "Gue di mana?" tanya Ulvi kebingungan, Acha langsung melambaikan tangan.

"Biasain aja, orang enggak jelas emang nyusahin!" sosor Acha melihat Sia tak menatapnya sekalipun semenjak keluar tadi. "Kita ke mana?"

Aida mengusulkan, "Indomaret dulu aja deh. Mau beli boba." Acha mengacungkan tangan sebagai driver.

Saat Aida sedang menunggu minuman fenomenal Korea-nya di depan Indomaret, ketiga sahabatnya duduk menunggu di teras Indomaret. "Habis ini ke rumah Aida aja, kuy! Belum selesai, nih editnya."

PAST ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang