12. 'Bintang Kehidupan'

6 4 0
                                    

"Hah?" beo Aida. Ia mengamati raut wajah takut Ulvi dengan saksama. Namun, Ulvi menghindarinya sampai Aida terburu-buru mengikuti langkahnya yang sekarang sudah keluar dari pintu utama.

"Mereka kenapa, deh?" tanya Acha mengernyitkan dahi pada Sia yang lagi-lagi kebingungan sendiri. "Sia, kita ikut pulang yuk!"

Meskipun Aida yang mengendarai motor, Ulvi yang lebih cekatan dari siapa pun sekarang. Ia sudah dipenuhi pikiran-pikiran negatif yang seakan menyambung dari hari demi hari menghasilkan kesimpulan terburuk yang dialaminya lagi. Hari di mana Dantel sudah bertingkah seakan tidak mencintainya lagi, kecemburuannya yang tidak masuk akal, dan hari-hari di mana keduanya-Aida dan Dantel-seakan melenyap dari bumi. Apa maksudnya semua ini? Apakah Dantel sedang membalas dendam? Namun, sewaktu Ulvi bersikap dingin kepadanya itu masih tidak memiliki hubungan khusus, sedangkan sekarang, apakah hanya dirinya yang menganggap ada hubungan istimewa di antara mereka? Terutama, Aida, orang yang menjadi alasan pacarnya menyakiti dirinya yang membuat kehidupan sadis ini.

"Buruan!" Ini sudah kelima belas kalinya Ulvi menyuruh Aida sambil menepuk bahunya.

"Ya, lo mau ke mana dulu? Pulang?" Juga ada Aida yang sudah menjawab kalimat yang sama kesepuluh kalinya dan terulang seperti sekarang, Ulvi tidak mengacuhkannya. Ia hanya melamun dengan mata lurus memandang jalanan.

Acha dan Sia yang berjarak lima meter dari merek, melambaikan tangan, meski bahkan tidak dilirik, apalagi dibalas baik oleh Aida maupun Ulvi. Acha dan Sia berbelok karena akan pulang walaupun sebelumnya terjadi perdebatan di panjang.

"Cha! Ngapain lo natap mereka terus! Bisa nabrak nanti, nyawa gue loh! Belum kawin lagi! Pelaninlah, biarin mereka selesaiin urusan mereka!" teriak Sia di tengah ramainya lalu lintas siang itu. Sudah siang, di hari Minggu lagi, daerah mana pun juga ramai.

Acha berusaha mencerna maksud Sia secepat mungkin. Ia mengangguk-angguk, lalu sedetik kemudian bertanya sedikit keras, "Lo tahu sesuatu ya?"

"YA ENGGAKLAH, GILA AJA EMANG GUE DUKUN!"

"TELINGA GUE, SIAL!"

"PULANG AJA!"

"TAPI--"

"GUE LONCAT, NIH! SERIUSAN!" ancam Sia sudah bersiap akan turun sebelum motornya berhenti, sama saja dengan bunuh diri. Beberapa motor dan mobil di belakangnya mengklakson. Acha justru semakin penasaran, tetapi dari spion ia melihat wajah yakin Sia yang di mana kakinya sudah bersiap mengayun.

"GUE JUGA BELUM KAWIN! ENGGAK MAU DIPENJARA! DADAH AIDA, ULVI!" teriak Acha ditemani lambain tangan Sia. Akan tetapi bukannya direspons dua sahabatnya itu malah dipandang benci oleh para pengendara lain.

Sia hanya bisa menghela napas mencoba sabar menanggung dua kali malunya orang biasa dari publik. Double karena Acha tidak tahu malu, di saat seperti ini pasti ia berpikiran ingin ikut campur masalah mereka.

"Kita udah kenal gimana Aida,'kan? Tiga tahun bukan waktu yang sebentar, Cha!" ujar Sia setelah mereka sampai di gang sehingga tidak perlu meninggikan suara lagi. Sebenarnya Sia sedang meyakinkan dirinya sendiri, setelah melihat bagaimana Aida terlihat bahagia setelah melihat Ulvi menangis tepat saat selesai melihat benda yang sama, ponsel Aida.

Sebenarnya ada apa? Itulah yang ada di kepala Acha dan Sia, terutama Ulvi sendiri yang masih sangat bingung.

Tidak kalah heran, Aida juga ditumbuhi banyak pertanyaan yang tidak kunjung mendapatkan jawabannya. Sedangkan sumber informasinya sendiri tidak berkata apa-apa lagi yang membantunya menduga segala macam yang terjadi.

Tiba-tiba Ulvi memintanya untuk berhenti, segera Aida mengerem. Ulvi menaruh helm pada kaca spion dan langsung pergi begitu saja di sebuah toko buku. Aida mengernyit untuk waktu sebentar. Kemudian ia yang buru-buru karena Dantel bilang tadi sudah menunggunya. Ia sudah tidak sabar, merapikan anak rambut yang menghalau matanya.

Sesampainya di sebuah taman, Aida dengan berhati-hati meletakkan helm setelah memarkirkan motornya. Ia sedikit terkejut saat melihat punggung Dantel yang menempel di bangku berwarna putih. Jadi, benar? Dantel mau menurutinya? Wah, saat ini adalah waktu langka yang mungkin hanya sekali dialaminya seumur hidup.

Dantel yang melihat sepatu putih di depannya mendongak. Ia langsung to the point bertanya, "Ada apa?"

Dengan lunglai Aida mendekati Dantel sembari mendorong kertas yang dibentuk love dari origami. Sontak, Dantel marah karena sudah tidak habis pikir. "Maksudnya apa?"

Namun, Aida diam saja, tetapi mukanya memucat. Dantel kembali menanyai maksud kertas itu dengan paksa hingga menarik tangan Aida, sedangkan Aida tidak fokus sama sekali.

Sementara itu, Ulvi menelan ludah berkali-kali di balik semak-semak tinggi yang membuatnya berani mendekati mereka. Ulvi terus membungkam mulutnya agar tidak menimbulkan suara terutama isak tangisnya. Biar saja air mata yang mengalir sebagai bukti kalau dirinya manusia biasa yang berperasaan, tidak seperti mereka yang bertemu di balik kebohongan.

Kalau saja Ulvi lebih pintar, lebih bisa memahami mereka, dan lebih tahu sifat asli mereka sebelum dirinya terjun ke dalamnya, pasti tidak ada yang namanya ditipu seperti ini. Mereka bersikap berlagak orang yang dibutuhkan Ulvi, nyatanya tidak lebih hanya ingin menghancurkannya.

Ulvi menatap nanar Dantel yang menatap Aida dengan tatapan kasian. Ternyata semuanya palsu, Ulvi tertawa dalam hatinya seraya air mata yang terus keluar. Ia sudah tidak sanggup, semakin tahu kebenarannya, semakin membuat waktu-waktunya pedih. Cewek dengan rambut terurai panjang itu membalikkan badan dan menghilang dari penglihatan Dantel yang ternyata baru sadar ada yang memerhatikan dirinya dan Aida.

"LOVE!" panggil Dantel berusaha mengejar Ulvi.

Jangan kira hal yang tidak terduga seperti kesalahpahaman hanya ada di cerita, takdir kadang membawa kondisi yang lebih buruk dari itu. Ulvi sudah jauh, sehigga Dantel kehilangan jejaknya.

Mau tak mau Dantel harus menemui Aida lagi, ia jadi merasa bersalah meninggalkannya sendirian. Namun, Dantel memandang jalan yang mengarah ke rumah Ulvi terlebih dahulu sebelum benar-benar menyusul Aida.

***

Setelah sampai di rumahnya, Ulvi meletakkan tasnya dan melepas sepatunya dahulu sebelum melanjutkan tangisnya yang mudah pecah. Ketidakpercayaannya sungguh membuatnya shock, ia sangat malas hanya untuk memegang handphone. Padahal Dantel sudah meneleponnya tiga kali, tetapi berdering saja tidak.

Dengan mata sembapnya, Ulvi merangkak dari kasur mengambil radio yang tertata di laci. Ia menekan tombol on dan tombol selanjutnya terus-menerus karena banyaknya lagu berlatar suasana happy. Butuh satu menit, tangannya berhenti menekan tombol, matanya melirik pada foto dirinya dengan Lio yang digantung di tali dinding. Lagu itu, Bintang Kehidupan yang masih menyimpan cerita abadi dalam pribadinya memiliki sisi istimewa yang mengingatkannya pada sosok kakaknya. Saking capeknya menangis disamari alunan lagu, Ulvi tertidur pulas.

PAST ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang