𝑮𝒐

876 179 1
                                    

Kembali ke rumah dalam keadaan gamang. Louisa menyadari satu hal, mengungkap kematian Julian sama saja menghadiri hidupnya sendiri. Walter jelas sudah mengetahui jika dia memiliki hubungan dengan Wanita di masa lalu mereka. Penyesalan berduri melit-lilit dada, setiap inci hati tertancap luka. Andai kata dia mendengarkan permintaan Julian untuk mengati pakaian, bukanya mempertahankan pikirannya sendiri yang jelas tidak waras.

Rumah ini begitu bisu, bahkan tikus tamu di dapur enggan bercicit. Angin pun memilih bungkam. Kesunyian ini makin menenggelamkan pikiran Louisa dalam ketidak pastian.

“Kau baru berkencan dengan vampire, Lou? Pucat sekali.” Julian muncul di depan pintu masuk. Louisa terlalu larut dalam cerita sang ibu hingga lupa tokoh utama dalam cerita bersama mereka.

“Aku luar biasa baik.” Louisa menembus tubuh Julian, berbalik lagi menutup pintu, lalu berjalan sempoyongan ke ruangan tengah dan melemparkan dirinya di sana.

Lorong panjang mendentumkan gema langkah berat Louisa. Di sofa ruangan tengah, dia mengempaskan diri. Kain pelapis sofa dingin menjadi alas pipi. Matanya mengarah pada tungku api. Bara-bara merah mengkilap disela arang abu-abu. Asap putih tipis meliuk-liuk sebentar sebelum menghilang.

Tubuh Louisa berdiri dalam satu entakkan. Dia mendekati tungku, mengambil besi membubarkan tumpukan arang. Api jelas baru padam sekitar belasan menit sebelum mereka kembali, mustahil dia berangkat cukup pagi.

Kain jendela pada bagian samping sudah terbuka. Seingat Louisa dia tidak membuka satu kain pun. Buru-buru dia berjalan ke depan dan menemukan tirai sudah merapat ke sisi jendela.

Louisa berlari menuju dapur. Rumah ini menjadi begitu asing, setiap bagian kabur dari ingatan.

Ada tambahan gelas kotor di wastafel, debu tepung putih bertebaran di lantai. Suara-suara samar terdengar dari arah depan.

“Kamar Julian! … di mana dia?” Louisa memindai ruangan mencari sang hantu dan memanggil dengan suara pelan. Tidak ada tanggapan sama sekali. Louisa menyambar pisau di meja, menggenggamnya erat.

Louisa melepaskan sepatu. Telapak kaki menempel di lantai marmer cokelat. Detak jantung berdentum. Kedua tangan bersembunyi di balik punggung bergetar hebat. Pipi Louisa mengembung, memblokir udara sementara waktu.

“Kau sangat berani, Lou!”

Pintu kamar Julian terlihat. Setengah terbuka, denyut jantung makin menggebu, berdentum-dentum mirip bola jatuh pada lorong panjang.

Akhirnya, Louisa mencapai pintu. Dia memberikan dorongan pelan dan pintu membuka lebar. Seseorang berdiri di jendela, menatap keluar.

Ketegangan di pundak Louisa melompat, begitu pula seluruh tulang di dalam tubuh. Pisau di tangan jatuh terpelanting ke lantai. Sosok di jendela berbalik, benar seperti dugaan Louisa hanya saja, dia yang ada di sana sekarang dan dia yang pernah bersamanya di sini berbeda.

Mata biru menawan, terapaku pada Louisa. Sam melebarkan senyuman di bibir merahnya. Rupa pemuda biasa yang pernah datang mengantar makanan di depan pintu rumah ini, kini berdiri gagah mirip pangeran muda dalam pakaian kebesaran.

“Ms. Peterson,” sapa Sam.

Kerinduan selama ini membuncah di kepala. Terlalu banyak ungkapan bahagia sekaligus tanya, hingga tidak satu pun berhasil menjelma menjadi suara. Louisa hanya bisa mencengkeram tepian pintu dengan tangan kiri dan tangan kanan menekan dada.

Sam memacu kaki mendekati Louisa memberikan sebuah pelukan hangat. Pancaran wajah teduhnya cukup untuk mengatakan dia juga merasakan kerinduan teramat dalam.

Louisa melepaskan diri setelah beberapa menit.  “Kau bisa pulang sekarang. Sudah cukup bagiku melihat keadaanmu baik-baik saja.”

“Sungguh?” Mata Sam membuka lebar. “Aku masih merindukan kau dan rumah ini, juga tentu saja Paman Julian.”

“Ah, sekarang kau memanggilnya paman?” Louisa menekan jidatnya dengan tangan kanan. “Kau sudah menerobos masuk seperti pencuri!”

“Kejutan. Aku sudah menunggu sejak pagi. Aku tahu kau tidak suka keramaian jadi aku meminta sopirku untuk pulang saja dulu dan menunggumu. Aku mendapatkan izin masuk dari Paman jadi … di sini lah aku.”

“Bar, bar,” komentar Louisa. Ekor matanya akhirnya menemukan sosok Julian di balik punggung Sam tersenyum penuh kemenangan.

“Sesuatu pasti terjadi padamu.” Mata Sam menyapu pelan wajah Louisa.

“Hanya kurang tidur.”

“Kau pembohong yang payah, Lou.”

“Pikiranku kacau, hanya itu, jangan diambil hati.” Louisa berjalan meninggalkan kamar Julian ke ruangan tengah diikuti Sam dari belakang.  Louisa membuka pintu samping menuju taman, menatap ke luar, dia meraih kursi besi di beranda dan duduk. Sam lagi-lagi hanya mengikuti.

Senyuman kecut terpajang di wajah Sam. “Ah, aku memiliki tujuan lain berkunjung kemari. Aku ingin mengundangmu makan malam.”

“Makan malam?” Louisa tahu jawabannya adalah penolakan, dia tidak perlu mengulur waktu untuk mengatakannya.

“Yah, Mom dan Dad merayakan ulang tahun pernikahan mereka besok malam. Mereka secara khusus memintamu datang. Kau tahu sebenarnya Mom bersikeras ingin datang sendiri saja. Tetapi aku memohon pada mereka, biar aku sendiri saja.”

“Aku ….” Louisa memiliki segudang alasan. Tetapi harapan besar menggantung pada tatapan Sam, merosotkan keteguhan.

“Dia akan pergi, beri tahu saja alamatnya.” Julian muncul di tengah-tengah mereka berdua.

“Aku tidak memiliki pakaian untuk itu,” kilah Louisa.

“Beli baru,” timpal Julian.

“Aku belanjakan untukmu,” tambah Sam.

Tawaran mereka memang menggiurkan. Malam kelam seusai acara makan malam di rumah Meri Mason melintas di kepala. Jatuh ke lubang yang sama untuk kali kedua adalah hal memalukan. Louisa menarik napas lalu menceritakan kejadian yang sudah menimpanya dulu.

Rupa Sam dari awal cerita Louisa hingga itu berakhir sama, terperangah tak percaya.

“Kau paham sekarang. Lebih baik bagiku untuk diam di rumah.”

Sam menatap ke luar jendela. “Aku sangat ingin kau ikut, Lou.”

Julian mendelik ke arah Louisa.

“Akan aku usahakan,” ucap Louisa akhirnya.

“Sungguh?” Sam berbalik. “Aku berjanji, kau akan di jemput dan dikawal pulang.”

Louisa mengaguk. “Diaval tidak akan ikut kan?”

Sam menoleh pada Julian.

Louisa segera menyadari kebodohan ucapannya barusan. Mengapa dia mendadak mengingat  Diaval? Lupakan Lou, lupakan dia.

“Ada yang ingin aku ceritakan mengenai Diaval, Lou.” Sam menunduk lalu menatap deretan pohon brich di kejauhan.  “Tapi sebelumnya … kau mencintai Diaval kan, Lou?”

Louisa mengibas tanganya diudara, mulutnya menyuarakan tawa. “Konyol sekali, kau juga melihat sendiri dia mencium ….” Gambaran itu meruyak di kepala, menyesakkan dada. Keseksian kali helaan napas panjang berembus.

“Dia aku yakin juga sama.” Sam kini mengepalkan tangannya di pangkuan.

“Katakan saja, Sam.” Louisa meraih bahu Sam. Tampang itu tidak mengisyaratkan kabar baik.

“Ini akan melukaimu lebih dalam lagi.”

“Aku mungkin akan pingsan sebentar,” canda Louisa. Senyuman di bibir perlahan meredup, ini semakin tidak nyaman.

“Diaval adalah suruhan Walter Mason ….”

Napas Louisa tertahan, dadanya kembali mendapatkan pukulan berat. Tetapi dia menahan ujung senyuman agar tidak hilang. “Lantas?”

“Sebenarnya Edgard yang melakukan tugas itu, mereka ingin menyingkirkanmu dari rumah ini.  Diaval … dia tidak melakukannya sampai malam dia mencoba melamarmu.  Diaval berusaha menggunakan cara lembut padamu, Lou.” 









𝒯𝒽ℯ ℳ𝒶𝒾𝒹 𝒪𝒻 𝒢𝒽ℴ𝓈𝓉Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang