𝑩𝒆𝒇𝒐𝒓𝒆 𝑻𝒉𝒆 𝑫𝒂𝒓𝒌𝒏𝒆𝒔𝒔

913 158 1
                                    

Sam menjadi satu-satunya alasan Louisa menginjakkan kaki di rumah Colin Mason. Sedikit tambahan dari Julian. “Kau datang ke sana, anggap saja kau mewakili aku.”

Mendekati musim semi, hawa dingin belum menguap sedikit pun. Louisa menayangi uangnya jika harus dipakai untuk membeli gaun khusus musim dingin. Jadi dia sengaja membeli satu gaun musim semi untuk acara malam ini, sebuah gaun putih sutera dengan warna ungu lavender bagian bawah. Bahunya terbuka. Rambutnya sudah di potong, bagian-bagian yang dulunya bekas perwara rambut dipangkas habis menyisihkan warna natural rambutnya, cokelat pekat mendekati hitam, panjangnya satu senti di bawa bahu.  Kali ini dia memilih mendandani dirinya sendiri, polesan tipis saja, agar tidak terlihat pucat. Dulu semasa di hotel, dia seorang pesolek.

Sam juga memenuhi janjinya untuk mengutus sopir khusus untuk menjemputnya lalu memastikannya pulang dan sampai ke rumah dalam keadaan selamat.

Sepanjang mobil melaju, dada Louisa sesak oleh kegelisahan. Dua hal, pertama benarkah keputusannya untuk hadir dan kedua bagaimana dia harus bertingkah jika bertemu dengan Diaval. Louisa tipe orang yang tidak bisa memainkan seni peran, apa lagi kategori mendustai isi hati.

Roda-roda mobil mendecit sedikit begitu berhenti. Sang sopir turun lebih dahulu membukan pintu untuk Louisa, meski sedari tadi dia sudah mengatakan untuk tidak perlu memperlakukannya secara terhormat, dia hanya seorang pelayan.

Louisa termenung sebentar setelah turun dari mobil. Matanya memindai keadaan sekitar dan menemukan Sam sedang berjalan bolak-balik di depan pintu antik lebar. Cahaya lampu terang benderang menyoroti tempat itu, hingga tertangkap jelas ukiran-ukiran klasik di sisi pintu. Tempat ini tidak jauh beda dengan tuanya tempat Julian. Dia tampak luar biasa. Jas putih lengkap dengan dasi. Tantanan rambut klimis dan sepatu berkelas.

“Good evening, charming,” sapa Louisa anggun.

Sam menoleh pada Louisa. Roman kegelisahan yang sedetik lalu hinggap di wajahnya, menguap hilang. “Lou, aku hampir mengira kau membatalkan janji.”

“Sebenarnya ….”

“Tunda alasanmu. Ayo aku kenalkan kau pada Mom. Kalian belum pernah bertemu kan? Dan kau tampak anggun sekali. Harusnya setiap hari kau bisa begini.

Louisa memberikan galengan singkat. “Terima kasih untuk pujianmu, Mr. Mason Jr. Sungguh? Kau kira aku akan berdandan untuk membersihkan rumah? Membuang banyak hal.”

Sam terkikik. “Ayolah.” Dia menggerakkan tangan mempersilakan Louisa untuk masuk. Mereka melewati lorong panjang, temboknya hijau lumut dan karpet merah di bawah. Timbul keinginan Louisa untuk melepaskan sepatu dan merasakan sendiri bagaimana lembutnya karpet di bawah.  Mereka tiba pada ruangan lain, aula dansa. Mata Louisa menyapu keadaan, bentuk ruangan ini lingkaran, bagian tengah begitu tinggi, lengkap dengan mozaik aneka warna. Lampu-lampu gantung mengkilap berada di beberapa bagian. Cat dinding putih, dengan bagian tiang-tiang diberi sentuhan warna emas. Mewah.



Perkiraan Louisa mengenai tamu undangan lain dalam kemewahan benar-benar terjadi, dan beruntung malam ini dia tahu bagaimana cara untuk tidak menarik perhatian adalah dengan tetap diam. Gaun yang dia kenakan pun tidak menarik perhatian.

Colin Mason menyadari kedatangan Louisa. Dia mendekati mereka tergopoh-gopoh. Wajahnya kelihatan jauh lebih muda dan bersemangat dibandingkan terakhir kali mereka bertemu. Dia menyalami tangan Louisa dan memberikan kecupan hangat pada kedua pipi.

“Jadi anakku berhasil menyakinanmu untuk datang, dia memiliki bakat rupanya,” ucap Colin tanpa melepaskan jabatan tangan.

Louisa tersenyum. “Sayang sekali aku tidak bisa menolak wajah melasnya.”

“Di mana Mom?” tanya Sam.. matanya mencari-cari di antara kerumunan.

“Di sana.” Colin Mason menyingkir sebentar dari hadapan Louisa, dia melambai,

Mata Louisa mengikuti ke arah mana Ayah Sam memanggil. Begitu sampai, dia segera memindahkan jangkauan pandang ke tempat lain. Diaval Mason ada di sana. Pandangan mereka bertemu, dan pria jangkung itu yang lebih dahulu beralih ke tempat lain, acuh.

Seorang wanita berkulit cokelat, rambut hitam dan gaun merah tenang melangkah mendekati mereka. Senyuman kian melebar saat dia melangkah menampilkan deretan gigi putih nan rapi.

“Istriku, Eleanor,” Colin Mason memperkenalkan.

“Louisa Peterson?” dia menatap Louisa.

Anggukan tipis Louis berikan. Segera, dia menarik tubuh Louisa membawanya dalam pelukan. “Senang bisa berjumpa denganmu, Louisa. Aku sangat ingin bertemu langsung denganmu sejak lama, tetapi malam itu kau cepat pergi dan setelahnya aku harus berkunjung ke Spanyol menemui Ibuku.”

“Senang berjumpa denganmu.”

“Oh, panggil aku Eleanor saja.”

“Yah. Selamat untuk ulang tahun pernikahan kalian berd … aku tidak membawa ….” Louisa menggigit bibir menyadari keteledorannya sendiri.

“Jangan kawatir, Dear,” ucap Colin Mason pelan.

“Yah, aku sudah membawa hal paling berharga kami kembali.” Eleanor memeluk pudak Sam menepuknya sayang.

Bahu Louisa lemas, dia begitu nyaman dengan semua keramahan ini.

“Kau ingin meminum sesuatu?”

Louisa melirik ke pelayan pembawa nampan, semua beralkohol. Dia tidak ingin muntah di sini. “Mungkin nanti.”

“Baik lah. Ah aku akan ke belakang sebentar,” pamit Eleanor.

“Mr. Mason, bisa kita bicara sebentar.”

“Tentu, masih banyak waktu sebelum acara dimulai.”

Louisa membasahi bibir. Jarinya mulai terjalin. Sekujur tubuh bergetar pelan, haruskah dia menanyakan ini?

“Katakan saja.”

“Tidak kurasa, mungkin tidak sekarang.”

“Ayolah, Lou kau membuatku penasaran.”

“Julian Mason.” Louisa mengulum bibir. Detik-detik menunggu jawaban Colin kan menegangkan. Senyuman mendadak hilang, dia menjadi sendu.

“Aku sedang berada di New York ketika itu terjadi.” Colin menunduk. Kepedihan serta penyesalan syarat dalam nada bicaranya. “Bahkan mereka tidak menantiku saat acara pemakan berlangsung.”

“Maaf, maaf. Sudah kuduga, sebaiknya kita memang tidak membicarakan hal ini!” Tangan Louisa mendarat di jidatnya sendiri. lagi sebuah kesalahan terjadi.

“Tidak, Lou. Semua orang berhak untuk tahu. Kau berada di rumah Julian sepanjang waktu dan ….”

“Sam mengatakannya padamu? Semua kebodohan kami?”

Colin Mason tersenyum. Dia memberikan tepukan pelan pada bahu Louisa. “Berhati-hati saja, Lou. Kau bisa menanyakan pada Mom ….” Mata Colin menerawang ke tempat lain. “Acaranya hampir dimulai. Aku permisi sebentar Lou, nikmati pestanya dan anggap ini rumahmu sendiri kau sangat diterima di sini.”

Louisa tersenyum dan mengangguk kaku.

Sam menyolek lengan Louisa. “Jadi, bagaimana perkembangan pencarianmu?”

“Tidak begitu baik.”

“Ayolah lupakan sejenak. Ah ayo ke sana, kau jelas tidak akan berdiri sepanjang malam kan?”

“Tentu.”

Sam kembali menuntun jalan menemukan tempat bagi mereka untuk duduk di pojok depan lengkap dengan meja bulat bertaplak putih, lilin dan mawar putih bertengger di sana. Meri Mason dan anak-anaknya ada di meja paling depan.  Tidak berapa lama, Colin dan Eleanor memanggil anak mereka untuk ikut ke depan. Louisa mengikuti langkah Sam, lagi matanya bertabrakan dengan Diaval Mason. Mereka duduk searah dan posisi saling menatap. Lagi dia mengalihkan pandangan seakan tidak sudi Louisa menjadi bagian dari jangkauan jarak pandangnya. Rupa Diaval tidak bisa terbaca sama sekali.

Mungkin dia sudah melupakan Louisa, bagaimana pun juga hubungan mereka sangat singkat, atau memang dia mengabaikannya karena sudah sewajarnya seorang pelayan tidak masuk dalam hitungan kenalan. Louisa meremas tangan dibawa meja, memejamkan mata sekilas, berusaha sekuat mungkin menenangkan pikiran mengganggu, yang tumpah ruah di kepala.

Acara dimulai dengan pembawa acara, sambutan dari sang penyelenggara pesta, potong kue ulang tahun yang tinggi lengkap dengan hiasan mawar putih lambang cinta sejati.

“Lihat siapa yang datang.”  Edgard menempati kursi kosong sebelah Louisa, tempat Sam tadi.

“Hanya aku, tentu saja bukan rumah pamanmu,” kelakar Louisa canggung.

“Atlas akan minder jika kau memang melakukannya.”

“Konyol,” bagaimana mungkin dia berniat menyaingi Titan terkuat, tangan kanan Kronos yang dikutuk untuk memikul bumi itu.

Edgard masih tersenyum. “Kau makin cantik Ms. Peterson.”

Senyuman Louisa melebar mendengar pujian tulus Edgard. “Senyumanmu juga makin menawan.”

“Oh, aku hanya melebarkannya sedikit sampai bibirku sakit. Percaya padaku.”

“Dan siapakah gadis beruntung yang sudah membuatmu makin menawan?”

Edgard memiringkan kepala, lalu melambai pelan pada sisi lain meja, tempat Diaval duduk. Dia memang tidak begitu memperhatikan mereka dari tadi. Ada Lorena dan seorang gadis lain. Dia menoleh, tersenyum manis.

“Luna.”

Louisa terperangah, gadis itu adalah sang pemberi semprotan merica di toko aksesoris natal. Tetapi malam ini dia luar biasa cantik, dalam balutan gaun biru berpotongan terbuka. Sedangkan Lorena memaki gaun hitam ketat mengikuti lekuk tubuh dan potongan bahu rendah, serupa dengan warna pakaian kekasihnya.

“Oh, kalian saling mengenal?”

“Lebih dari itu.”

Luna berdiri mendekati mereka. Dia menjabat tangan Louisa. “Aku melihatmu dari tadi.”

“Terima kasih sekali lagi atas bantuanmu malam itu,” ucap Louisa.

Luna meraih tangan Louisa menggenggamnya erat. “Sejujurnya, malam itu aku tidak begitu menyadari apa yang terjadi. Ada suara yang terus berbisik padaku, mirip dengan suara Grandma, aku sendiri tidak pernah menyiapkan semprotan merica begitu.”

Ucapan Luna mengalir, memercik sedikit mirip sengatan listrik. Namun, Louisa ingat ucapan Julian, “dia sudah mendapatkan apa yang pantas dia dapatkan.”

Pembawa acara mengumumkan acara selanjutnya, berdansa.

Orkestra mulai  melantunkan musik tenang, mencuri semua mata kepada mereka. musik menghanyutkan sekaligus memanggil para insan untuk menari. Edgard mengulurkan tangan pada Luna, mengajaknya menari di lantai dasa. Di depan mereka Lorena meraih tangan Diaval.

Sekali lagi mata Louisa menabrak mata Elang Diaval. Mendapati dirinya berada dalam ketidak nyamanan dan rasa sakit mendadak memukul bagian dalam dirinya, Louisa berdiri dia akan mencari toilet, mendinginkan kepala dan jiwanya yang terbakar rasa cemburu.

Louisa akhirnya berhasil menemukan toilet setelah bertanya berulang kali pada para pelayan. Dia hanya berdiri memandangi pantulan dirinya di cermin selama beberapa menit, lalu mulai mengatur pernapasan. Menghirup udara panjang, menahannya sebentar lalu dilepakan hingga sesak berserta rasa sakit di dalam terkuras sedikit. “Lupakan Lou, kau sudah menolak lamaran palsunya. Kau tidak ditakdirkan untuk bersama Diaval.”

Beberapa menit setelahnya, Louisa merasa lebih baik. Dia memutuskan untuk keluar. Kembali ke tempat pesta, suasana malah lebih buruk, tepat sekali dia muncul, Diaval dan Lorena sedang berciuman mesra.

Usahanya untuk menenangkan diri puluhan menit dalam kamar mandi berakhir gagal. Rasa sakit di dada kembali melak berkali-kali lipat dari sebelumnya. pemandangan di depan Louisa menjadi campuran warna samar. Dia berbalik, bersama air mata mengalir di pipi. Louisa membongkar tas tangannya, mengambil tisu, menepuk jejak air mata buru-buru. Kegelapan pada sudut ini memberikan keberuntungan bagi Louisa, menyembunyikan kesedihannya. dia berbalik kembali, mencari tempat lain untuk didiami sementara waktu.

Louisa menyelip di antara kerumunan orang yang tengah melihat pasangan lain berdansa. Dia diam bersandar di sisi jendela tinggi. Bajunya seputih dinding dan tirai. Kamuflase patah hati.

Pelayan berkemeja putih dan dasi kupu-kupu hitam datang membawa nampan gelas. Louisa mengisyaratkan tanya. Dia payah dalam hal minuman.

“Vodka,” ucap sang pelayan.

“Oh!” Louisa mengulurkan tangan menyambar gelas. Sekali ini persetan dia akan muntah atau terkapar lemas di jalanan, mungkin lebih buruk bergabung bersama Julian. “Terima kasih.”

Sang pelayan mengangguk lalu pergi.

Louisa mendekatkan gelas ke hidung, mencoba menghirup aromanya. Sengatannya menusuk sampai ke ulu hati. Dia dan gelas vodka mirip dua makhluk asing dari dua planet yang terpisah ribuan cahaya bertemu untuk pertama kali.

“Untuk hidupmu yang menyedihkan,” ucap Louisa. Tanganya cepat hendak meneguk isi gelas. Namun, begitu mendekati bibir, gelas tersambar, isinya tumpah sebagian menciprat wajah dan baju Louisa.

“Apa yang Anda lakukan?” Louisa mendongak.

“Aku yang bertanya, apa yang kau lakukan?” Diaval menatapnya tajam. Dia meneguk sisa gelas kaca mungil itu sampai habis.

“Anda bisa mengambil langsung pada … stupid Lou, kau juga pelayan!” Louisa menepuk jidatnya sendiri. “Permisi.” Louisa berbalik, dia mendekati seorang pelayan, dia kana menanyakan di mana dapur berada. Sebelum mencapai sang pelayan, dia berbalik lagi ke arah Diaval. “Aku hanya ingin minum.”

“Membunuh dirimu sendiri?” alis Diaval berada dalam posisi miring, yang kiri meninggi, kanan merendah. Menghina.

“Bukan urusanmu, kalau aku mati. Mengacaukan pesta ini tapi tetap saja, siapa peduli.”

“Aku peduli.” Diaval menekankan nada suaranya.

“Setelah kau mencium kekasihmu di depan orang banyak?” Louisa memelankan suaranya.

Ujung bibir Diaval tertarik, memperlihatkan sedikit giginya. “Kau merindukanku.”

“Kenapa aku? Hentikan, kau akan menempatkan aku sebagai perusak hubunganmu dengan Lorena. Aku tidak ingin berdebat. Kita sudah selesai bukan? Bahkan kita memang tidak pernah mulai.” Louisa berbalik menatap tembok. “Fuck! Kenapa aku harus jatuh cinta pada pria yang jelas tidak bisa aku dapatkan! Semua orang benar tentang itu.”

Louisa menangkap keadaan sekeliling dan melihat Meri Mason berjalan dituntun oleh Sam ke arah lain, menjauhi  tempat pesat tanpa melihat Diaval lagi, Louisa berlari mengejar mereka. dia berhasil mencapai tempat Sam dalam keadaan napas tersengal.

Sam berbalik. “Astaga, aku hampir melupakanmu.”

“Bagus, sebaiknya aku pulang.”

“Aku bercanda!” Sam menjulurkan lidah.

“Dasar anak nakal. Mrs. Mason, boleh kita bicara sebentar.”

Mata keriput Meri Mason berkedip cepat, bibir berpoles warna ungu muda membentuk senyuman kaku. Dia kemudian mengangguk pelan. “Mengenai apa Lou? Tambahan gaji? Kau sudah pantas mendapatkan kenaikan.”

Louisa melambaikan telapak tanganya bersamaan ke udara. “Bukan, bukan itu maksudku Mam.”

“Lantas?”

“Julian.”

“Oh,” suara Meri kehilangan tenaga. “Kau ingin membicarakan pakaiannya lagi?”

Louisa kembali menggeleng.

Bibir Meri bergetar. “Lantas apa lagi? Dia sudah tiada Lou.”

“Tapi, Anda pernah bersama dia, aku ingat.”

Meri Mason membuang muka. “Ikut aku, Lou. Sebaiknya memang kau tahu.”

Louisa mengikuti wanita tua itu. Mereka berjalan, beriringan. Makin jauh, Louisa bisa merasakan mereka makin jauh dari tempat pesta sebab suara musik makin jauh menghilang. Mereka tiba di sebuah ruangan lain. Setengah lingkaran, cat putih dengan sofa merah tua tanpa sandaran mengikuti lekuk ruangan. Crystal Chandeliers menggantung di langit-langit.

Meri menatap ke luar jendela, sedangkan Louisa memilih duduk perlahan di sofa.

“Aku tahu, kau ingin membantu dia, aku tahu Lou. Hanya saja, kita sama-sama tidak tahu bagaimana.”

“Aku sedang mencarinya Mam. Mungkin Anda bisa menjelaskan padaku.”

“Tentu, tentu. Tunggulah di sini, aku akan mengambilkan sesuatu. Aku tahu Colin menyimpan satu.”

Louisa mengangguk saja.

Masih ditemani Sam, Meri Mason meninggalkan ruangan.

Kesunyian mengambil alih. Louisa bangkit perlahan, mendekati dinding lain, memainkan jemarinya di sana.

“Lou, kau harus pergi sekarang!” Diaval menarik pundak Louisa.

Mata Diaval makin tajam, rahangnya mengeras, dia menggigit bibir. “Ok!” Louisa mendapatkan tekanan keras dari tampang Diaval.

Retakan terdengar, Louisa menoleh ke arah kaca. Retakan panjang pada kaca melikuk seperti ular. Suara retakan makin keras. Diaval memutar tubuh Louisa, membawanya ke alam pelukan, bersama dengan lontaran kaca memenuhi udara.

Keheningan terajut setelah semua kaca jatuh ke lantai. Louisa melepaskan diri dari pelukan Diaval. Sosok kekar berpakaian hitam muncul dari balik bingkai jendela. Dia mengangkat tongkatnya tinggi ke udara siap menghantam Diaval. Louisa mendorong tubuh Diaval, menjadikan punggungnya sebagai penerima pukulan. Seluruh tulang Louisa retak, kepalanya berputar, pandangan kabur, sebelum semua menjadi gelap.


𝒯𝒽ℯ ℳ𝒶𝒾𝒹 𝒪𝒻 𝒢𝒽ℴ𝓈𝓉Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang