𝑨𝒍𝒎𝒐𝒔𝒕

817 160 2
                                    

Serpihan debu melayang lembut ketika dia menghela napas. Di mana dia berada sekarang? Semu tenang untuk sesaat, begitu titik debu terakhir menimpa tumpukan lain, rasa sakit pada tengkuk akibat hantaman tongkat menjerit ngeri. Sakitnya menghangatkan pelupuk mata. Louisa menekan telapak tangannya ke lantai, membuat dirinya bangkit perlahan. Sekarang, sensasinya berbeda, seluruh tulang seakan meledak, sakitnya bukan main.

Mata Louisa menjelajah isi ruangan. Empat dinding kayu memagarinya dari dunia luar. Sebuah jendela kaca kecil kotor dengan tirai kain compang camping merapat pada dinding.  Tumpukan kayu bulat ditutupi selembar kain, di sisi pintu. Lalu ada skop dan garpu kebun berdiri di sudut tepi jendela. Sebuah lentera masih menyala kecil menggantung di sudut kanan.

Udara dingin menusuk punggung Louisa, dia berbalik dan mendapati dinding-dinding keropos, meniup angin dingin ke dalam. Louisa melepaskan sepatu. Gaun dengan bagian atas terbuka ini membuatnya tersiksa. Dalam hati dia berjanji tidak akan memakai pakaian serupa ini lagi.

Louisa meraih kain di atas tumpukan kayu. Rupanya selembar selimut wol. Dia mengebaskannya sedikit, berusaha tanpa suara. Dia benar-benar tidak tahu apa yang ada di luar sana menantinya saat mereka tahu dia sudah terjaga.

Embun beku menutupi jendela meski dia sudah membersihkan bagian dalam jendela. Hanya pemandangan kabur tempat bersalju dan pepohonan tinggi yang terlihat.

Dua sosok mendekat dari jauh. Susah payah Louisa kembali meletakan selimut wol dan kembali berbaring ke tempatnya semula. Beberapa menit setelah dia berbaring, pintu terbuka. Langkah kaki mendekat terburu-buru berdentum.

“Tertidur seperti bayi!” suara itu sangat dekat di telinga Louisa diikuti belaian kasar di pipinya.

“Hey, Dude! Jangan lakukan apa-apa sampai kita mendapatkan perintah lebih lanjut. Ingat bagaimana kalau Walter Mason marah?” suara lain terdengar.

“Aku tahu!” gesekan kain terdengar, pria di sissi Louisa berdiri dan ke luar, membating pintu.

Kelegaan mengaliri dada Louisa setelah detik-detik penuh siksaan bersama orang asing di sisinya berlalu. Menahan rasa saki, Louisa kembali bangun dan mendekat ke arah pintu. Mereka tidak boleh masuk ke sini lagi. Dia mendekati pintu menatapnya sungguh-sungguh dan mendapati, pintu bisa dia kunci dari dalam, ada kayu yang dipakukan ke dinding, saat diputar, potongan kayu berbentuk persegi panjang itu menahan pintu, ada dua bagian. Cukup menahan dua pria di luar masuk selagi dia membuat rencana menyelamatkan diri. Dia kembali mengintai ke luar. Dua sosok itu berdiri memunggunginya. Satu berbadan tinggi besar dan satunya lagi bertubuh kurus.

“Aku dengar pertama kali dari Walter Mason, kita biarkan dia mati lemas di dalam,” suara berat pria yang tadi mendekati Louisa terdengar.

“Pukulan keras di tengkuknya tidak begitu kuat kurasa, tetapi dia pingsan cukup lama. Kau tahu artinya dia sangat lemah dan mudah ditangani. Kita bisa menghabisinya sekarang. Tidak perlu menunggu terlalu lama.”

“Dengarkan instruksi Bos, Dude.  Aku tidak suka melihat wajah mengerikan Walter Mason, dia mirip sekali dengan iblis. Sudah lah, kita lepaskan gadis itu di dalam dulu, biarkan saja, aku yakin dia tidak bisa melakukan apa pun pun di dalam sana. Ayolah kembali ke kabin, udara sangat dingin di sini.”

“Jika Walter Mason mendapati kita berdua berdiam di dalam saat dia tiba untuk melihat kita melenyapkan gadis itu dengan mata kepalanya sendiri, dia akan menghabis kita dengan pembunuh bayaran lain.”

“Ya, ya. Aku ambilkan brendi.”

“Seharusnya dari tadi.”

Dada Louisa berdegup kencang. Tanpa sadar dan menggigit bibirnya cukup kencang, ketakutan merambati ujung jemari hingga membeku. Sebuah penantian mengerikan, para eksekutor menghabisi nyawanya. Tidak boleh, dia harus bisa meloloskan diri.

Louisa menjauhi jendela perlahan, tidak boleh bersuara. Mereka tidak boleh tahu dia sudah terjaga. Matanya kembali mengamati keadaan tempat sempit ini. Nihil baginya menemukan jalan keluar lain selain pintu.  Dia mendekati dinding reyot, merasakan tekstur kayu, masih terlalu keras untuk dihancurkan.

“Debu!” Louisa berlutut di lantai, dia mengambil lentera di dinding, memadamkan apinya. Lalu dia mengeluarkan kaca lentera. Bagaimana caranya supaya mereka tidak mendengarkan dia memecahkan kaca? Louisa membuka selimut, menahannya ke dinding lalau membenturkan kaca kuat. Kaca itu mungkin sudah sangat tua hingga satu benturan pecah terbelah dua. Memanfaatkan bagian tajamnya, Louisa memotong bagian  luar bagian bawah gaun yang dia kenalan. Setelahnya, Louisa berjalan berlutut mengumpulkan debu dari bagian ke bagian lantai gudang kecil ini.

Loisa kemudian memperhatikan seberapa jauh pintu terbuka. Dia mengambil garpu meletakkannya di lantai mirip adegan klasik sebuah film kartun.

“Ok, Lou, meski pun gagal kau sudah mencoba.” Louisa menarik napas, menekan dadanya  kuat.

“Walter Mason akan tiba sebentar lagi, kita sebaiknya mengecek gadis itu lagi,” suara dar luar.

“Akan aku lakukan,” suara si pria berat.

Louisa segera berdiri di bagian belakang pintu memegang skop.

“Hey, pintunya tidak terbuka!”

“Sial, dia pasti mengunci pintu dari dalam. Sudah aku katakan padamu untuk mencopot penahan pintu dari dalam. Dobrak saja minggir kau.”

Louisa menjauh dari pintu, dia membuka kedua kayu penahan cepat. Sebelum tubuh sang pria menghantam pintu, pintu lebih dahulu terbuka. Dalam keadaan bertenaga, pria itu melaju mengenai bagian bawah garpu. Batang garpu terangkat, tepat mengenai lehernya, dia menjerit ngeri, kaca pasti sudah menusuk kerongkongannya. Cepat-cepat Louisa berlari keluar dengan kain berdebu siap untuk disemburkan. Sang pria kurus sudah bersiap dengan tongkat pemukul, sebelum dia mengambil ancang-ancang Louisa menyebarkan debu dari dalam gulungan gaunnya.

Dia sudah berhasil ke luar, dari arah lain muncul orang-orang berjas. Tidak salah lagi Walter Mason sudah.

“Shit!” maki Louisa, dia menata keliling dan menemukan jalan setapak. Tanpa berpikir lagi dia memacu kakinya cepat. Langkah kaki lain menyusul dari belakang. 

Hutan berkabut di depan mata. Pepohonan lurus tanpa daun terpancang di sepanjang jalan.

Rintihan panjang keluar dari mulut Louisa, sesuatu telah menerobos kulit kaki, menembus begitu dalam. Dia terjatuh tersungkur menimpa tumpukan daun busuk. Langkah kaki lain makin mendekat, Louisa berdiri  mencoba berlari, tetapi kakinya sudah kehilangan rasa. Dia mengalah, duduk di tanah siap menerima takdir.

Sentuhan cepat menjalar ditubuh Louisa. Tubuhnya bergidik, memejamkan mata, siap menerima kenyataan. Bukan rasa sakit yang diterima, melainkan sebuah pelukan erat dan kecupan di kening.

“Lou!”





















𝒯𝒽ℯ ℳ𝒶𝒾𝒹 𝒪𝒻 𝒢𝒽ℴ𝓈𝓉Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang